Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100HariMenulisNovelFC] (#34) Sang Pelarian

2 Juni 2016   06:29 Diperbarui: 2 Juni 2016   07:50 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah sebelumnya http://fiksiana.kompasiana.com/elfat67/100harimenulisnovelfc-33-sang-pelarian_5748b147337b61da0d7fa80a

Galuh menemukan sebilah bambu kering tergeletak tak jauh dari pohon pisang yang tumbuh di tengah hutan. Dengan bersemangat ia menusuk-nusuk tandan pisang itu hingga menimbulkan beberapa sayatan pada tangkainya. Bruuk! Tandan pisang jatuh ke tanah. Gadis itu melembar bilah bambu begitu saja. Tangan mungilnya beralih meraih tandan pisang yang tergeletak dan membuang beberapa buahnya yang gerimpis dimakan codot. Dicomotnya satu buah yang ranum kekuningan. Ia tersenyum lega. Bunyi perut yang sejak tadi riuh untuk sementara kembali tenang. 

Seketika gadis itu teringat pada ibunya. Cukup lama ia meninggalkan perempuan itu di pondok. Serta merta diraihnya tandan pisang yang tak terlalu besar itu. Kakinya pun siap berlalu.

Tapi baru beberapa langkah ia terhenti. Di hadapannya muncul dua pemuda yang mengagetkannya.

"Kau?" gadis cantik itu berseru tertahan. Tandan pisang di tangannya terjatuh.

"Galuh?" salah satu dari pemuda itu melebarkan matanya. Ia tampak sama terkejutnya dengan gadis itu. 

***

Pertemuan tak terduga itu cukup mengharukan. Galuh tanpa sungkan berhambur memeluk salah satu pemuda yang memang dikenalnya. Panji Asmara. 

Sementara pemuda satunya lagi hanya berdiri mematung tak bereaksi.

Panji perlahan mulai bisa mengingat siapa sosok gadis yang kini tengah berurai air mata dalam pelukannya itu.

"Lorong waktu...telah membawa kita ke tempat aneh ini," Galuh sesenggukan. Panji mengangguk. 

"Maafkan aku, Galuh...."

"Apa yang telah terjadi padamu?" Galuh perlahan melepas pelukannya. Mata gadis itu masih memerah.

"Banyak hal yang telah kualami, Galuh. Bisakah kita mencari tempat yang nyaman?" Panji menatap gadis di hadapannya itu.

"Kita bicara di pondok saja!" seru pemuda yang sedari tadi berdiri mematung.

"Ah, ya, kamu benar, Bagaskara," Panji tersenyum. Di raihnya tangan Galuh.

"Pondok? Astaga! Aku meninggalkan ibu angkatku di sana!" Galuh menepiskan tangannya.

***

Gadis itu berjalan setengah berlari. Berkali-kali ia menggumam. Ia merasa sangat bersalah karena terlalu lama meninggalkan ibunya. 

Sementara kedua pemuda mengikutinya dari belakang.

Pondok tua mulai terlihat. Galuh mempercepat langkahnya. Ia menoleh sejenak ke arah Bagaskara yang telah berbaik hati membawakan tandan pisang yang hampir dilupakannya.

"Mami tentu sangat lapar," Galuh meraih tandan pisang dari tangan Bagaskara.

"Mami..maaf," gadis itu mendorong pintu pondok yang terbuka sedkit. Tak ada sahutan.

"Mamiii!" suara Galuh meninggi. Matanya nanar menatap sekeliling. 

Tetiba tubuh gadis itu gemetar. Ia tak melihat sosok ibunya. Pondok tua dalam keadaan kosong!

***

Galuh berbalik badan. Ia hampir bertabrakan dengan dua pemuda yang berdiri di ambang pintu.

"Mami menghilang! Bantu aku mencarinya!" gadis itu berseru panik. Tanpa menunggu jawaban, ia berlari mendahului meninggalkan pondok. Hatinya mulai diliputi oleh rasa was-was. Ah, semoga Mami tidak tertangkap oleh penjahat-penjahat itu.

***

Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kemana perginya istri dokter ahli bedah itu? 

Beberapa saat setelah kepergian Galuh, perempuan cantik berkulit putih itu sempat tertidur di dalam pondok karena kelelahan. Tapi itu tak berlangsung lama. Ia terbangun ketika mendengar suara orang bercakap-cakap.

"Kamu yakin mereka bersembunyi di dalam pondok ini?"

"Yakin sih, tidak. Tapi tidak ada salahnya kan, kita periksa pondok ini. Siapa tahu kita temukan gadis sialan itu!"

Lalu terdengar suara tawa berderai. 

Wajah istri Dokter Marwan seketika memucat. Ia mengenali suara mereka. Perempuan itu segera bangun dari duduknya. 

Pintu pondok terkuak dengan kasar. Dua laki-laki tegap berdiri menatap sekeliling. Mata mereka tertuju pada seonggok jerami di sudut ruangan. 

Kedua laki-laki itu saling berpandangan sembari mengumbar senyum licik. Lalu tanpa bersuara mereka berjalan mengendap-endap menuju sudut pondok dan siap membongkar onggokan jerami dengan gagang senapan!

Bersambung....

***

Malang, 02 Juni 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Karya ini diikutsertakan Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun