merah dan memancarkan cahaya yang menyala, meninggi, dan memanjat gema-gema nada yang berdoa.
Oh, ternyata rindu tak mau beranjak. Penyair itu menutup wajahnya dengan jemari.
"Please, enyahlah!" berkali ia bergumam dalam geram.
Kini, aku terpaku di dalam gelap menatap pintu-pintu yang tertutup rapat.  Ilalang di sekitarku menggumam pelan seperti bersajak tentang rindunya kepada hujan. Ilalang itu bergoyang malu-malu saat kutatap dengan senyum tertahan.
"Lihatlah, aku masih saja tak bisa berhenti memikirkanmu," penyair itu bicara sendiri. Matanya terpejam. Berusaha menepis kenangan.
Ketika bayangan wajah itu muncul semakin nyata, ia nyaris bergelut dengan rasa.
"Jangan mencintaiku," ujarnya lirih.
"Kenapa?" bayang wajah perempuan itu memurung.
"Karena...aku ingin menjadi lelaki setia."
Ya, aku tak terbiasa bersedih hati...Kalaupun menangis, bukan di puisi ini. Aku kan meraung di ujung pelangi. Aku kan meratap di puncak gunung berapi. Kenapa? karena aku laki-laki Aku yakin, akan ada nilai dari harga sebuah kesetiaan kan terpaut jiwa di antara dua keping hati seperti Adam Hawa di Jabbal Rahmah lalu, kau dan aku, akan menulis kisah...
Penyair itu tertegun. Ia membaca bait terakhir puisinya.