[caption caption="sumber:itqonmanager.wordpress.com"][/caption]#Bulan Kolaborasi RTC
No.15
Lilik Fatimah Azzahra with Keken Dfsfs
Â
Malam berkelindan dengan sunyi. Sesekali ditingkahi desah angin dan nyamuk terbang menguing.
Sementara waktu terus melaju. Tak bisa dihentikan.
Ah, sudah pukul 02.00 dini hari. Lampu temaram di kamar atas masih menyala. Penyair itu masih terjaga. Pada layar laptop di hadapannya jelas terbaca bait-bait puisi tentang kerinduan yang belum dirampungkan.
kemarilah, mendekatlah padaku...lihat, dan dengarkanlah...irama rindu yang kupukul bertalu-talu. Lebih pilu dari gesekan biola orang-orang yang terdahulu.
Selalu begitu. Ia tak pernah bisa menghentikan jemarinya. Juga hatinya untuk mengungkapkan rindu yang mengilu.
ketahuilah, di setiap gesekan dawai-dawai rindu ini ada dentang denting cinta yang semakin menyala.
Ia berhenti sejenak. Membaca ulang bait-bait liris puisinya. Meyakinkan dirinya sendiri. Kapan ia bisa melepas rindu yang membelenggu?
merah dan memancarkan cahaya yang menyala, meninggi, dan memanjat gema-gema nada yang berdoa.
Oh, ternyata rindu tak mau beranjak. Penyair itu menutup wajahnya dengan jemari.
"Please, enyahlah!" berkali ia bergumam dalam geram.
Kini, aku terpaku di dalam gelap menatap pintu-pintu yang tertutup rapat.  Ilalang di sekitarku menggumam pelan seperti bersajak tentang rindunya kepada hujan. Ilalang itu bergoyang malu-malu saat kutatap dengan senyum tertahan.
"Lihatlah, aku masih saja tak bisa berhenti memikirkanmu," penyair itu bicara sendiri. Matanya terpejam. Berusaha menepis kenangan.
Ketika bayangan wajah itu muncul semakin nyata, ia nyaris bergelut dengan rasa.
"Jangan mencintaiku," ujarnya lirih.
"Kenapa?" bayang wajah perempuan itu memurung.
"Karena...aku ingin menjadi lelaki setia."
Ya, aku tak terbiasa bersedih hati...Kalaupun menangis, bukan di puisi ini. Aku kan meraung di ujung pelangi. Aku kan meratap di puncak gunung berapi. Kenapa? karena aku laki-laki Aku yakin, akan ada nilai dari harga sebuah kesetiaan kan terpaut jiwa di antara dua keping hati seperti Adam Hawa di Jabbal Rahmah lalu, kau dan aku, akan menulis kisah...
Penyair itu tertegun. Ia membaca bait terakhir puisinya.
Lalu bibir keringnya mendesis.
"Kenapa rindu yang tak pernah sampai bisa berubah menjadi nestapa?"
Ah, begitulah, sejuknya semilir angin di malam hari tak terasa, tanpa menyentuh dengan memejamkan mata. Bagai helai ujung hijabmu yang menjamah pipi lembut dan halus tak ada duka, tak pula nestapa.Â
Hingga pagi tiba, penyair itu masih berkutat dengan perasaan rindunya.
Â
***
Malang, 17 April 2016
*Kolaborasi ke 2 Lilik Fatimah Azzahra dan Furqan Al-Ghifari ( Keken Dfsfs )
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H