Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[#BulanKolaborasiRTC] Elegi Cinta Sumirah

17 April 2016   08:44 Diperbarui: 17 April 2016   10:55 1
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: pakaijilbab.com"][/caption]

No.15

#Bulan Kolaborasi RTC oleh: Lilik Fatimah AzzahradanFurqan Al-Ghifari ( Keken Dfsfs )

 

Kusibak kelambu lusuh jendela kamarku. Seperti biasa, kubiarkan mentari yang baru terjaga memamerkan senyum hangatnya. Senyum yang seharusnya mampu menggugah semangatku.

Semangat? Masihkah aku memiliki semangat? Aku tidak yakin. Kukira semangatku telah luntur sejak kuputuskan tinggal di tempat hina ini.

 Ah... pergilah,terbanglah tinggi semua kicau,bawalah rindu yang bersayap pisau, yang telah mengiris semua mimpi-mimpiku yang meracau, tinggalkan jiwa yang kacau dan merisau...

Ah...desahku, tak bisa merubah masa, selalu ada warna yang berbeda yang Tuhan cipta....

 

***

"Mirah!" 

Tak kuhiraukan panggilan induk semangku. Aku masih terpekur di bibir jendela. 

"Miraaaah...!!! Buruan berbenah! Tuh, pelangganmu sudah datang!" 

Kalau pun aku beranjak dan membuka pintu, itu semata-mata karena aku tak ingin mendengar suara yang lebih pekak merusak suasana pagi.

"Mami, hari ini aku izinoff, boleh kan? Aku sedang berhalangan..." ujarku pada perempuan gemuk yang berdiri di ambang pintu. 

"Hah? Libur lagi? Sudah berapa hari kamu bolos tidak melayani tamu?" tangan perempuan paruh baya itu menggerayangi bagian bawah perutku.

"Ya, sudah! Tapi jangan lupa bayar denda," ia menegaskan sembari menggesek-gesekkan ujung jemarinya di depan hidungku. Aku mengangguk.

Kuraih dompet yang tergeletak di atas meja. Kusodorkan dua lembar puluhan ribu. Perempuan gemuk itu merampas dengan kasar. Lalu ia pergi tanpa berkata apa-apa lagi. 

Kututup pintu kamar perlahan. Aku kembali ke bibir jendela.

Entah mengapa, pagi ini aku ingin menikmati senyum mentari lebih lama dari biasanya.

Pagi ini kembali kujatuh, ditikam rindu, jasadku pecah berhamburan 

di antara pepohon perdu

Kuharap ada yang memungutnya, dan membungkus kepingan-kepingan itu dengan sajadah, memeluknya, dan membawanya entah....

Di antara beku yang membungkus selubung hati, kuingin pisau mengikis semua karat yang melekat, pada semua perdu yang terlewat, menghitung dosa di antara dosa yang terlewat....

 

*** 

"Mirah!" 

Ah, lagi-lagi suara itu.

"Laki-laki itu ngotot ingin bertemu denganmu!"

"Kan sudah kubilang aku lagi berhalangan, Mi."

"Tahulah! Katanya ia cuma ingin ngobrol denganmu," wajah Mami sedikit memberengut. 

Aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi urung.

Lelaki yang dibicarakan Mami sudah berdiri di hadapanku.

 

***

"Mira, Abang ingin bicara."

"Di mana?"

"Di kamarmu saja, ya?"

Aku mengangguk. Lelaki itu tersenyum. Lalu mengikutiku.

"Sudah kamu pikirkan tawaranku, Mira?" lelaki itu duduk di tepi ranjangku.

"Namaku Sumirah. Bukan Mira...."

"Aku lebih suka memanggilmu Mira. Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu belum menjawab pertanyaanku."

"Oh, soal itu? Aku belum sempat memikirkannya...."

"Benarkah? Atau kamu memang tidak ingin memikirkannya?" ia menatapku tak berkedip. Aku membuang pandangan ke luar jendela.

"Mengapa Abang ingin menikah denganku?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Karena aku mencintaimu."

"Mencintai wanita kotor dan hina sepertiku?" aku membalikkan badan. "Abang lelaki baik-baik, tak pantas mendapat istri semacam diriku."

"Mira, Mira. Masa lelaki baik-baik suka datang ke tempat semacam ini?" ia tertawa.

"Itu karena tugas Abang," aku menyela.

Ya, lelaki itu memang seorang relawan LSM yang ditugaskan untuk memberi motivasi agar perempuan sepertiku bergegas meninggalkan dunia kelam. 

"Tidakkah Abang takut tertular penyakitku?" suaraku tetiba tercekat. 

"Tidak." Ia menjawab tegas.

Tanpa ragu sedikt pun. 

 

 ***

Sumirah. Itu namaku. Aku menatap lelaki di hadapanku dengan mata basah.

"Terima kasih sudah memberiku bahagia di akhir sisa hidupku," aku menggenggam jemari tangannya. Erat. Ia mendekap tubuh ringkihku.

"Kamu pantas mendapatkannya," ujarnya seraya mencium lembut keningku. Sementara para perawat memasang selang-selang hampir di sekujur tubuhku. Napasku tersengal. Tinggal satu-satu.

Lelaki baik yang telah resmi menjadi suamiku itu menempelkan bibirnya pada daun telingaku. Terasa hangat.

Ia membisikkan bacaan istigfar tiada henti. Aku mengikutinya.Hingga aku tak mampu mendengar apa-apa lagi.Dan kedua pupil mataku pun terkatup.

Untuk selamanya.

Akhirnya...ke bukit juga halimun turun, berpendar bersama udara yang menyebar, bersandar di antara dahan-dahan yang menyandar, dan bergelantungan di antara daun-daun yang mulai memudar.

Mata, wajah dan seluruh pandangan menyatu dalam kuluman....

Rindu, cinta, dan seluruh rasa kasih menjalin dengan yakin....

Berpacu di antara makna, tanpa gejolak-gejolak nyata, dan menjadi misteri yang tersimpan selamanya, di dalam gelas keabadian....

 

***

Malang, 17 April 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Trims to Keken Dfsfs: puisimu keren...:)

 

 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun