Tak kuhiraukan panggilan induk semangku. Aku masih terpekur di bibir jendela.Â
"Miraaaah...!!! Buruan berbenah! Tuh, pelangganmu sudah datang!"Â
Kalau pun aku beranjak dan membuka pintu, itu semata-mata karena aku tak ingin mendengar suara yang lebih pekak merusak suasana pagi.
"Mami, hari ini aku izinoff, boleh kan? Aku sedang berhalangan..." ujarku pada perempuan gemuk yang berdiri di ambang pintu.Â
"Hah? Libur lagi? Sudah berapa hari kamu bolos tidak melayani tamu?" tangan perempuan paruh baya itu menggerayangi bagian bawah perutku.
"Ya, sudah! Tapi jangan lupa bayar denda," ia menegaskan sembari menggesek-gesekkan ujung jemarinya di depan hidungku. Aku mengangguk.
Kuraih dompet yang tergeletak di atas meja. Kusodorkan dua lembar puluhan ribu. Perempuan gemuk itu merampas dengan kasar. Lalu ia pergi tanpa berkata apa-apa lagi.Â
Kututup pintu kamar perlahan. Aku kembali ke bibir jendela.
Entah mengapa, pagi ini aku ingin menikmati senyum mentari lebih lama dari biasanya.
Pagi ini kembali kujatuh, ditikam rindu, jasadku pecah berhamburanÂ
di antara pepohon perdu