"Kau tidak boleh mencintainya, Kiera."
"Apakah mencintai itu salah?"
"Tidak, jika kau mencintai selain San."
Air mata Kiera mengambang. Ia menangis. Sejak kapan ia jadi cengeng seperti itu? Lagi pula untuk apa ia menangis? Menangisi San? Aneh.
"Kau tidak tahu, mencintai dan jatuh cinta itu sangat, sangat indah..." ia membisikiku. Aku terperangah.
***
Kubiarkan Kiera tenggelam dalam cinta butanya. Kukatakan cinta buta, karena ia sama sekali tidak mau tahu tentang sosok San. Aku menyerah.
Hingga pada suatu senja, di akhir bulan Januari, saat gerimis luruh membawa bulir-bulir bening membasah, Kiera berdiri di hadapanku. Matanya sembab. Hidung mancungnya memerah.
"Aku kalah," ia menggumamkan sesuatu. Tubuhnya limbung.
"Kiera..." aku memapahnya. Mendudukannya pada bangku panjang di ujung taman.
"Tentang San?" tanyaku ragu. Ia mengangguk.