Mungkin Kiera sedang khilaf. Mencintai San yang bukan haknya, memaksakan takdir untuk memilikinya, itu adalah kekhilafan terbesar yang pernah dilakukannya. Dan Kiera tidak menyadari itu.
Sementara aku tak mampu mengingatkan dia lagi. Kamu tahu, seseorang yang tengah jatuh cinta, sungguh sangat sulit dinasehati. Hati Kiera sedang mengawang. Membumbung tinggi. Melewati batas angkasa dan memuntahkan buncahnya pada liris tanpa jeda. Mengumbar hasrat dalam bentuk syair bertabur bunga dan pelangi. Ia tak henti bicara tentang rindu. Berkisah tentang sebuah mimpi.
Ia telah menghabiskan berlembar imajinasi dalam berjuta detik waktu hanya untuk memuja sosok San.
Bagi hati yang sedang mencinta, apa yang tidak dirasa indah? Bahkan luka perih bercucur darah pun, nyaris terasa indah.
Kiera, di mana akal sehatmu? batinku mengemu.
Ah, aku hampir lupa, untuk hati yang lagi kasmaran, bukankah bicara logika itu percuma?
"Kiera, jangan mencintai San. Kau akan sakit dan mati..." ketus aku mengingatkannya. Kiera tak bergeming. Ia tetap bersikukuh mencintai San. Baginya San adalah sekeping harapan. Secercah cahaya. Dan yang lebih konyol, Kiera menganggap San itu cinta sejatinya.
Hoho, Kiera, kamu terlalu mengagungkan San. Cinta sejati itu cuma cerita lama. Sejak kisah tragis Romeo dan Juliet, Qaish dan Laila, disusul kematian Sam Pek dan Eng Tay, cinta sejati telah ikut terkubur di dalam tanah bersama mereka. Melegenda.
"Sekali lagi, Kiera. Dengarkan aku. Ya, ini tentang San. Dia bukan untukmu."
Kiera menatapku. Tak bersuara.
Kiera. Ia seperti mahluk asing di hadapanku. Ia bukan seperti Kiera yang kukenal selama ini. Kiera yang manis, yang selalu bersedia mendengarkanku. Kini Kiera jauh berbeda. Ia jadi seorang pembangkang. Pasti ini gara-gara dia. Laki-laki bernama San itu!