Â
Biar kututup jendela. Seperti sebelum aku mengenalmu....
Benar, San, jendela ini memang harus kututup. Sebelum angin kencang memporak-porandakan semua. Terutama tatanan batinku. Usah kau katakan apa-apa lagi. Cukup. Agar di antara kita tak lagi saling menyakiti.
(*tentang sepotong kisah bernama perpisahan)
****
San dan Kiera.
San seorang laki-laki. Dan Kiera seorang perempuan. Awalnya mereka tidak saling mengenal. Juga tidak saling peduli. Hingga tanpa sengaja Kiera bertemu San. Entah di mana.
Kiera pun jatuh cinta.
Ah, Kiera, aku menyayangkannya. Semudah itu ia jatuh cinta. Pada sosok San lagi.
"Apa yang membuatmu jatuh cinta padanya?" tanyaku tak mengerti. Kiiera hanya terdiam. Ia tak mampu menjawab.Â
Mungkin Kiera sedang khilaf. Mencintai San yang bukan haknya, memaksakan takdir untuk memilikinya, itu adalah kekhilafan terbesar yang pernah dilakukannya. Dan Kiera tidak menyadari itu.
Sementara aku tak mampu mengingatkan dia lagi. Kamu tahu, seseorang yang tengah jatuh cinta, sungguh sangat sulit dinasehati. Hati Kiera sedang mengawang. Membumbung tinggi. Melewati batas angkasa dan memuntahkan buncahnya pada liris tanpa jeda. Mengumbar hasrat dalam bentuk syair bertabur bunga dan pelangi. Ia tak henti bicara tentang rindu. Berkisah tentang sebuah mimpi.
Ia telah menghabiskan berlembar imajinasi dalam berjuta detik waktu hanya untuk memuja sosok San.
Bagi hati yang sedang mencinta, apa yang tidak dirasa indah? Bahkan luka perih bercucur darah pun, nyaris terasa indah.
Kiera, di mana akal sehatmu? batinku mengemu.
Ah, aku hampir lupa, untuk hati yang lagi kasmaran, bukankah bicara logika itu percuma?
"Kiera, jangan mencintai San. Kau akan sakit dan mati..." ketus aku mengingatkannya. Kiera tak bergeming. Ia tetap bersikukuh mencintai San. Baginya San adalah sekeping harapan. Secercah cahaya. Dan yang lebih konyol, Kiera menganggap San itu cinta sejatinya.
Hoho, Kiera, kamu terlalu mengagungkan San. Cinta sejati itu cuma cerita lama. Sejak kisah tragis Romeo dan Juliet, Qaish dan Laila, disusul kematian Sam Pek dan Eng Tay, cinta sejati telah ikut terkubur di dalam tanah bersama mereka. Melegenda.
"Sekali lagi, Kiera. Dengarkan aku. Ya, ini tentang San. Dia bukan untukmu."
Kiera menatapku. Tak bersuara.
Kiera. Ia seperti mahluk asing di hadapanku. Ia bukan seperti Kiera yang kukenal selama ini. Kiera yang manis, yang selalu bersedia mendengarkanku. Kini Kiera jauh berbeda. Ia jadi seorang pembangkang. Pasti ini gara-gara dia. Laki-laki bernama San itu!
"Kau tidak boleh mencintainya, Kiera."
"Apakah mencintai itu salah?"
"Tidak, jika kau mencintai selain San."
Air mata Kiera mengambang. Ia menangis. Sejak kapan ia jadi cengeng seperti itu? Lagi pula untuk apa ia menangis? Menangisi San? Aneh.
"Kau tidak tahu, mencintai dan jatuh cinta itu sangat, sangat indah..." ia membisikiku. Aku terperangah.
***
Kubiarkan Kiera tenggelam dalam cinta butanya. Kukatakan cinta buta, karena ia sama sekali tidak mau tahu tentang sosok San. Aku menyerah.
Hingga pada suatu senja, di akhir bulan Januari, saat gerimis luruh membawa bulir-bulir bening membasah, Kiera berdiri di hadapanku. Matanya sembab. Hidung mancungnya memerah.
"Aku kalah," ia menggumamkan sesuatu. Tubuhnya limbung.
"Kiera..." aku memapahnya. Mendudukannya pada bangku panjang di ujung taman.
"Tentang San?" tanyaku ragu. Ia mengangguk.
"Maaf, jika selama ini aku tak mendengarmu." Ia mulai terisak. Sesaat kupandangi wajahnya. Sungguh, wajah itu terlihat semakin tirus dari sebelumnya.
"Apakah San melukaimu?"
"Tidak secara fisik...."
"Ya, aku paham. Itulah yang selama ini ingin kukatakan padamu. Kau tak boleh mencintai San."
"Tapi cinta tak mampu kucegah."
"Setidaknya bisa kau tahan."
"Ah, tahu apa kamu tentang cinta?" Kiera menatapku. Memaksakan senyum di bibirnya yang memucat.
"Cinta itu kejam," ujarku sok tahu.
"Tidak. Cinta itu indah. Ia berubah kejam ketika kita tak lagi bisa memahaminya."
"Aku tak mau berdebat tentang cinta. Aku mengkhawatirkanmu...."
"San. Ia telah memenjarakan aku di dalam hatinya. Dan aku tak mampu keluar lagi. Terkunci."
"Keluarlah, Kiera. Bunuh semua mimpi dan khayalmu," ujarku kelu. Kiera menggeleng. Ah, kukira Kiera semakin parah. Ia kritis. Cintanya pada San telah melumpuhkan sebagian akal sehatnya.
***
Kubiarkan senja beranjak pergi. Kubisikkan kalimat panjang untuk San.
San, katakan pada Kiera bahwa kau tak mencintainya, kau membencinya.
Jangan katakan "your heart is mine" padanya lagi. Jangan bilang kamu punya seketip rindu. Jangan bisikkan kamu akan setia membaca kisahnya sampai mati. Jangan beri ia mimpi dan harapan semu. Jangan lagi San. Kumohon.
Kiera itu rapuh. Bagai dahan lembayung. Mudah patah.
Aku sudah mengingatkannya San. Berulang kali. Hingga bibirku kelu. Agar ia tidak jatuh cinta padamu. Tapi ia sama sekali tak menggubrisku. Ia telah memilihmu. Memberikan seluruh hatinya padamu. Sepanjang yang kutahu, Kiera tak pernah mencintai seseorang seperti ia mencintaimu.
Dan lihatlah kini, ia merintih. Dalam peluk malam ia tak henti menangis. Kau pasti tidak tahu bukan?
San, mengapa kau biarkan ia jatuh cinta padamu?
Ia pernah bercerita padaku, ia ingin membunuh cinta dan rindunya padamu. Tapi kau menegurnya,"jangan sok-sokan mengendalikan takdir...."
Benar begitu San?
Apa yang telah kau lakukan? Membiarkan Kiera mencintaimu, lalu meminta ia melupakanmu.
Kukira selama ini kau tak mencintainya, San. Kau hanya kasihan padanya....
Pagi ini, asal kau tahu, kupeluk Kiera. Kupeluk ia sehangat kasihku. Sepenuh jiwaku.
Karena hanya dia yang kumiliki....Â
***
Malang, 28 Januari 2016
Lilik Fatimah Azzahra
*Untuk sahabatku San dan Kiera
Aku belajar banyak dari kisah kalian....:)
Â
*Sumber gambar:mutzcoffee2013.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H