Kami menemukan sebuah warung yang terletak di pojok pasar. Warung itu masih sepi. Hanya kami berdua pagi itu yang memesan makanan.
Baru saja makanan terhidang, datanglah seorang pengunjung. Saya tidak memperhatikan orang tersebut karena saya lebih tertarik pada sepiring nasi dan tempe penyet di hadapan saya.
Usai makan dengan lahap, saya bermaksud membayar harga makanan. Tiba-tiba pengunjung yang baru datang tadi menahan saya.
"Tunggu Sis, boleh saya tanya sesuatu?" orang itu bertanya dengan suara cempreng. Walah, saya baru tersadar. Setelah saya amati, ternyata ia seorang waria (baca bencong).
Jujur saya paling pobhia melihat waria. Bukan apa-apa. Dalam benak saya waria tetaplah laki-laki meski berpenampilan perempuan. Ngeri aja lihat penampilannya yang nyleneh.
"Sis, itu hidung operasi di mana? Kayaknya sempurna bingit. Ike jadi kepingin deh...," sang waria cengar-cengir menatap saya. Saya terkejut bercampur mual. Waduh, ini bencong, pake godain saya lagi.
"Kasih tau nama dokternya dong, Sis. Hidung Ike mau dibenerin nih. Operasi hidung Ike yang kemaren nggak banget deh. Coba Sis perhatiin. Masih kentara sambungannya kan?" Waria itu nunjuk-nunjukin hidungnya yang gede segede jambu monyet.
"Hidung saya ini asli, Sus...," ujar saya. Eh, saya kok malah panggil dia Sus?
"Ah, yang bener...," waria itu mengedip-kedipkan matanya.
"Suer, ini asli. Sudah bawaan orok!" saya mulai kesal dengan sikap ngeyel waria itu.
"Boleh pegang nggak? Biar yakin aja. Tuh hidung asli apa bukan," waria itu berdiri dan siap menyentuh hidung saya.