Pak Santoso juga menyampaikan dalam mengelola maggot, sisa makanan maggot tersebut dicampur dengan kotoran sapi, limbah cocopeat, limbah abu kayu dan kemudian difrementasikan dengan probiotik dalam 1 bulan untuk menjadi pupuk tanaman.Â
Selain itu, maggot tidak perlu dibersihkan jika digunakan sebagai pakan ternak.
"Kalau diolah jadi maggot kering baru dibersihin, disiram air lalu dimasukkan ke bak dan disaring. Setelah itu taruh ditempat kering dan diopen atau bisa juga disangrai. Kalau maggotnya 30-50 kg lebih efektif disangrai," jelasnya.
"Antisipasi jika teman-teman produksinya overload, permintaannya berkurang, produksinya kita alihkan ke maggot kering. Pengembangannya banyak. Jadi ga perlu khawatir kalau maggotnya banyak. Karena pembeli tidak hanya petani, tapi juga peternak dan masyarakat lainnya," tuturnya.
Masih banyak yang menganggap bahwa maggot adalah usaha yang sepele. Bahkan masyarakat disekitar budidaya maggot tersebut masih belum mengetahui apa itu maggot. Tidak hanya masyarakat, pemerintah daerah sekitar pun masih belum tertarik untuk mengoptimalisasi pengelolaan limbah sampah organik. Padahal maggot menjadi peluang besar untuk mendaur ulang sampah organik dan menghasilkan protein berkelanjutan yang bernilai tinggi, serta menunjukkan biokonversi serangga menghilangkan emisi metana mereka pada saat yang bersamaan.Â
Limbah makanan memengaruhi ketiga bidang keberlanjutan: lingkungan, ekonomi, dan sosial. Tidakkah seharusnya pemerintah mendukung budidaya maggot? Harapannya pemerintah dan masyarakat dapat berkonstribusi dalam pemecahan masalah yang diakibatkan dari limbah makanan
Ayo! Kelola sampah makanan mu dengan benar untuk membangun lingkungan Indonesia yang lebih baik. Wasting food is wasting money!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H