Jadi sapi dibeli dari ukuran sedang, atau ukuran "bakalan" kemudian dilakukan penggemukan atau yang lebih dikenal dengan feedlote. Ongkos dan risiko  investasi yang diperlukan cenderung jauh lebih rendah dibandingkan membesarkan dari ukuran anakan apalagi memelihara induk dan membesarkan dari lahir.
Hal tersebut dimungkinkan karena ketentuan dalam Pasal 36B ayat 1-3 Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur:
(1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
(2) Pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa Bakalan.
(3) Pemasukan Ternak ruminansia besar Bakalan tidak boleh melebihi berat tertentuÂ
(4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Bakalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperoleh izin dari Menteri.Â
(5) Setiap Orang yang memasukkan Bakalan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan.Â
Apabila dikaji dari aspek ekonomi, bentuk kebijakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kebijakan berbentuk import restriction. Dalam pandangan penulis, restriksi impor  tersebut sangat beralasan.
Salah salah satu alasan tersebesar mengapa pemerintah melakukan restriksi impor adalah untuk melindungi industri domestik yang rawan kolaps apabila dipaksa bersaing dengan produk impor, nah salah satunya adalah peternakan sapi.
Sulit sekali untuk mempertahankan industri peternakan sapi di Indonesia tanpa adanya restriksi impor. Kecuali di beberapa daerah seperti NTT, peternakan sapi merupakan usaha yang cukup labor intensive.
Iklim tropis memang memberikan berkah berupa tanah yang sangat subur, namun bagi peternak sapi tanah yang subur tersebut justru bermasalah karena menciptakan hutan hujan tropis.