Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ganjar Biang "Simalakama" PDIP dan Ambyarnya Perjanjian Batu Tulis?

12 Juni 2020   12:30 Diperbarui: 12 Juni 2020   12:41 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KONSTALASI hasil lembaga survei yang dilaksanakan oleh Indikator Politik Indonesia pada bulan Mei 2020 kemarin menunjukan bahwa posisi elektabilitas para calon kandidat menunjukan perubahan yang cukup signifikan.

Ada beberapa perubahan yang cukup mengagetkan publik. Pertama, meski masih mampu bercokol di posisi pertama, elektabilitas Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto boleh dibilang terjun bebas.

Tengok saja, elektabilitas mantan Danjend Kopasus itu sebelumnya ada dikisaran angka 22,2  persen, turun menjadi 14,1 persen. Itu artinya 8,1 persen elektabilitasnya tergerus.

Ditenggarai, merosotnya elektabilitas Prabowo karena adanya beberapa kepala daerah yang mampu memanfaatkan pandemi covid-19 menjadi panggung politiknya, hingga mampu menyedot perhatian publik.

Di satu sisi, status Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) tentu saja mobilitasnya terbatas. Interaksi langsung dengan masyarakat jelas jauh dibanding dengan para kepala daerah itu sendiri.

Senasib dengan Prabowo, ada nama Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.

Alasan turunnya elektabilitas kedua kepala daerah ini juga ditenggarai tak lepas dari kekecewaan masyarakat terhadap penanganan pandemi covid-19. Sebagaimana diketahui, dua daerah ini hingga sekarang masih belum bisa menunjukan grafik positif. Kurva laju jumlah kasus positif terus meningkat.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Meski diakui belum benar-benar belum bisa sepenuhnya menekan laju penyebaran virus corona, tapi setidaknya ada progres positif.

Dampaknya, elektabilitas pimpinan daerah di dua provinsi tersebut menunjukan grafik meningkat.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menurut catatan Indikator Politik Indonesia, seperti dikutip dari Kompas.com, pada Februari 2020 elektabilitasnya berada di kisaran 3,8 persen naik menjadi 7,7 persen di bulan Mei.

Pun dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang pada bulan Februari hanya ada di kisaran 9,1 persen naik menjadi 11,8 persen di bulan Mei 2020.

Dengan naiknya elektabilitas Ganjar, menjadikan dirinya berada pada urutan kedua sekaligus mengangkangi Anies satu setrip di bawahnya dan menempel ketat Prabowo Subianto yang masih menempati urutan pertama.

Modal bagus Ganjar, Simalakama PDIP

Raihan elektabikitas yang cukup tinggi, pasti menjadi modal bagus bagi Ganjar Pranowo sebagai salah satu kandidat yang digadang-gadang seorang pimpinan daerah yang layak maju pada kontestasi Pilpres 2024 mendatang.

Terlebih, tak sedikit pihak yang menilai bahwa Ganjar adalah tipikal pemimpin yang sangat dekat dan gampang berbaur dengan masyarakat bawah. Sehingga, tak akan sulit mendapatkan simpati publik. 

Bukan hanya bagi masyarakat Jawa Tengah, masyarakat di belahan daerah lainnya cukup simpatik terhadapnya. Setidaknya hal ini dibuktikan dengan obrolan penulis dengan beberapa sobat K,ners yang ada di luar Pulau Jawa.

Hanya saja, masalahnya peluang Ganjar untuk maju Pilpres cukup terganjal dengan keinginan partainya, PDIP.

Sudah kencang tersiar kabar, bahwa jauh-jauh hari partai berlambang banteng gemuk moncong putih ini telah menyiapkan "putra mahkota" sebagai jagoannya pada Pilpres 2024 mendatang, yaitu Ketua DPR RI periode 2019-2024, Puan Maharani.

Bahkan wacana yang berkembang, Puan digadang-gadang akan "dikawinkan" dengan Ketum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Menyatunya antara Prabowo dengan Puan disebut-sebut sebagai penebusan atas "pengkhianatan" PDIP yang tertera dalam perjanjian batu tulis.

Dimana, PDIP berjanji pada Prabowo Subianto bakal mengusungnya pada Pilpres 2014 setelah pada 2009 lalu mendampingi Ketum PDIP, Megawati Soekarno Putri maju Pilpres tapi kalah oleh pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Tapi apa lacur, perjanjian batu tulis tersebut dikhianati. PDIP pada Pilpres 2014 malah mendukung Joko Widodo (Jokowi) yang justru menjadi rival Prabowo.

Masalahnya apakah PDIP akan keukeuh memaksakan Puan Maharani sebagai jagoannya, sementara elektabilitas dia menurut hasil beberapa lembaga survei tidak begitu menggembirakan.

Menurut hasil survei terakhir Indikator Politik Indonesia, nama Puan hanya menempati urutan ke-11 dengan 1,4 persen saja, jauh di bawah Ganjar Pranowo, sesama kader PDIP.

Benar, hasil survei terakhir Indikator Politik Indonesia ini sifatnya tidak mutlak. Dalam empat tahun kedepan segalanya bisa berubah termasuk elektabilitas para kandidat.

Tapi, jika dikerucutkan pada persaingan dua sosok internal PDIP, rasanya bakal sulit bagi Puan untuk bisa mengangkangi Ganjar. Setidaknya ada dua alasan utama yang membuat putri Megawati ini sulit mengalahkan elektabilitas Ganjar.

1. Jabatan publik

Jabatan diantara keduanya menurut hemat penulis akan membuat Puan kesulitan mengimbangi elektabilitas Ganjar.

Lembaga DPR seperti kita ketahui sejauh ini belum mampu mendapat rasa simpatik rakyat. Ini karena sepak terjang dan kinerjanya yang dianggap belum bisa memuaskan publik. Bahkan sebaliknya, kinerja mereka-mereka yang berkantor di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta ini kerap mendapat sorotan tajam.

Jelas hal ini akan berpengaruh besar terhadap Puan Maharani yang kebetulan sebagai ketuanya.

Sedangkan di sisi lain, Ganjar adalah seorang pimpinan daerah yang sejauh ini prestasinya cukup menuai hasil positif dan rasa simpatik rakyat.

Dengan posisi sebagai gubernur, tentu saja lebih gampang baginya untuk terus bisa berinteraksi dengan rakyat lewat kebijakan-kebijakan dan turun langsung ke lapangan. Dan terus mendulang kepercayaan dan simpati rakyat.

2. Komunikasi publik

Ganjar Pranowo termasuk pemimpin yang bisa memainkan komunikasi publik dengan baik. Ia membungkus dirinya sebagai pemimpin rakyat kecil, dan ia berhasil.

Bahasa komunikasinya tidak berat, mudah dicerna, dan aksi panggungnya juga luar biasa. Hal ini tentu saja jika terus dipertahankan dan dipupuk dengan baik, bukan tak mungkin akan lebih melejitkan namanya di blantika politik nasional.

Sementara, komunikasi publik yang dibangun Puan, kalau penulis lihat di beberapa kesempatan tayangan televisi masih tampak kaku dan text book atau melulu ditatan normatif.

Biasanya pola komunikasi kaku seperti ini kurang begitu disukai rakyat. Komunikasi yang kaku biasanya selalu ada jarak antara pejabat publik dan rakyatnya.

So, dengan hipotesa di atas boleh jadi Puan Maharani akan terus di bawah bayang-bayang Ganjar Pranowo dalam hal elektabilitas. Jika ini terus terjadi hingga jelang Pilpres pasti akan membuat pening PDIP sendiri.

Boleh jadi jika elektabilitas Ganjar terus menunjukan grafik meningkat akan menjadi simalakama bagi PDIP. Memaksakan Puan dalam situasi elektabilitasnya yang kurang baik juga akan sarat resiko.

Namun, jikapun Ganjar yang diusung, bagaimana dengan sikap Megawati yang sepertinya sangat ngotot ingin mendorong putrinya maju Pilpres. Hal ini pastinya akan menjadi bahan hitung-hitungan politik dan PR besar bagi PDIP.

Perjanjian batu tulis kembali ambyar?

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ada kemungkinan pihak PDIP akan menebus pengkhianatan batu tulis dengan "mengawinkan" Prabowo Subianto dengan Puan Maharani.

Hanya saja politik itu tidak mengenal balas jasa atau memegang teguh janji. Dalam benaknya hanya ada kepentingan politik.

Nah, seandainya elektabilitas Ganjar Pranowo terus meroket dan mendapatkan dukungan publik hingga mengalahkan elektabikitas Prabowo, bukan mustahil bahwa perjanjian batu tulis tersebut kembali dikhianati alias ambyar.

Boleh jadi demi kepentingan politik, PDIP dengan Megawatinya melepaskan ego, lalu mengusung Ganjar untuk maju jadi presiden. Ketimbang Puan yang hanya jadi wakil mendampingi Prabowo.

Itulah politik bukanlah hitungan matematik. Dalam politik segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun