Ganjar Pranowo termasuk pemimpin yang bisa memainkan komunikasi publik dengan baik. Ia membungkus dirinya sebagai pemimpin rakyat kecil, dan ia berhasil.
Bahasa komunikasinya tidak berat, mudah dicerna, dan aksi panggungnya juga luar biasa. Hal ini tentu saja jika terus dipertahankan dan dipupuk dengan baik, bukan tak mungkin akan lebih melejitkan namanya di blantika politik nasional.
Sementara, komunikasi publik yang dibangun Puan, kalau penulis lihat di beberapa kesempatan tayangan televisi masih tampak kaku dan text book atau melulu ditatan normatif.
Biasanya pola komunikasi kaku seperti ini kurang begitu disukai rakyat. Komunikasi yang kaku biasanya selalu ada jarak antara pejabat publik dan rakyatnya.
So, dengan hipotesa di atas boleh jadi Puan Maharani akan terus di bawah bayang-bayang Ganjar Pranowo dalam hal elektabilitas. Jika ini terus terjadi hingga jelang Pilpres pasti akan membuat pening PDIP sendiri.
Boleh jadi jika elektabilitas Ganjar terus menunjukan grafik meningkat akan menjadi simalakama bagi PDIP. Memaksakan Puan dalam situasi elektabilitasnya yang kurang baik juga akan sarat resiko.
Namun, jikapun Ganjar yang diusung, bagaimana dengan sikap Megawati yang sepertinya sangat ngotot ingin mendorong putrinya maju Pilpres. Hal ini pastinya akan menjadi bahan hitung-hitungan politik dan PR besar bagi PDIP.
Perjanjian batu tulis kembali ambyar?
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ada kemungkinan pihak PDIP akan menebus pengkhianatan batu tulis dengan "mengawinkan" Prabowo Subianto dengan Puan Maharani.
Hanya saja politik itu tidak mengenal balas jasa atau memegang teguh janji. Dalam benaknya hanya ada kepentingan politik.
Nah, seandainya elektabilitas Ganjar Pranowo terus meroket dan mendapatkan dukungan publik hingga mengalahkan elektabikitas Prabowo, bukan mustahil bahwa perjanjian batu tulis tersebut kembali dikhianati alias ambyar.