Namun, setelah memperhatikan perkembangan berikutnya, anggapan penulis terhadap Muhamad Said Didu, perlahan berubah. Dia tidak sejiper dan sepengecut itu.
Penulis merasa, mangkirnya Said Didu merupakan bagian dari strategi yang sedang dibangunnya. Dalam hal ini, Didu ingin memperlihatkan pada publik bahwa dalam menanggapi panggilan atau proses awal pelaporan tidak usah terlalu serius. Terlebih yang melaporkan dirinya bukan LBP langsung. Melainkan kuasa hukumnya.
Jadi, buat Didu juga tak harus langsung kebakaran jenggot dan "lari terbirit-birit" memenuhi panggilan polisi. Dia juga cukup "menyuruh" kuasa hukumnya yang menghadapi.
Disamping itu, dalih Didu mangkir juga sangat cerdas. Dengan memanfaatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Undang-Undang Karantina Kesehatan jadi alasan.
Dia memanfaatkan PSBB dan Undang-Undang Karantina Kesehatan, yang membuat orang tidak bebas bergerak antar kota. Jika polisi memaksa artinya polisi telah melanggar kebijakan pemerintah.
Bagi penulis tidak ada rasa takut apalagi pengecut dalam diri Said Didu. Justru sebaliknya, dia telah memenangkan perang mental awal. Kenapa harus takut, personil dan dukungan dari ratusan tim advokasi membuktikan kesiapan prima dia dalam menghadapi LBP. Hanya saja, dia tidak ingin tergesa-gesa dalam memainkan bidak caturnya.
Boleh jadi, saat ini, Didu sedang tersenyum simpul atau tengah menyeruput kopi kemenangan perang mental awalnya dengan LBP.
Simbol Perlawanan
Membaca arah perseteruan antara Said Didu dengan LBP, seolah menjadikan perang antara kaum akar rumput dengan pihak penguasa.
Dalan hal ini, Didu merupakan simbol perlawanan rakyat. Dia masuk ke dalam arena dengan membawa sejuta aspirasi yang mewakili banyak orang. Sementara di pihak lain, LBP adalah citra wajah penguasa, yang bisa bertindak dengan seenaknya.
Seperti diketahui, awal perseteruan ini terjadi saat Didu mengkritik LBP sebagai pejabat yang hanya memikirkan uang, uang dan uang. Hingga akhirnya berujung pelaporan polisi.