A : "Wah, nyatanya Said Didu Jiper, tak mau penuhi panggilan polisi."
B : "Gimana, gak jiper, yang dilawan adalah orang besar."
A : "Hmmm ...."
SEKELUMIT Percakapan di atas adalah salah satu interaksi yang terjadi di salah satu grup WhatsApp penulis. Ya, namanya juga grup WhatsApp, bukanlah pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) yang harus selaras, senada dan seirama agar tampak rapih, indah serta enak dipandang.
Jadi setiap kali yang dibahas di grup WhatsApp tidak harus menuruti aturan baku, dan sumundawuh. Masing-masing anggota bebas berekpresi apapun selama tentunya tidak melanggar norma atau batasan yang telah disepakati. Termasuk tentu saja hak untuk memilih atau menentukan idolanya. Baik dalam dunia politik, selebriti dan lain sebagainya.
Balik lagi pada isi percakapan di atas, dimana ada salah seorang anggota grup yang kecewa karena mantan Sekretaris Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Muhamad Said Didu tidak datang memenuhi panggilan Bareskrim Polri, Senin (4/5/2020) lalu. Padahal, anggota grup ini sudah berkeyakinan dan mendukung Said Didu sejak awal.
Entah karena kecewa berat, anggota grup penggemar Said Didu ini malah terkesan jadi underestimate, dengan menyebut Said Didu, jiper.
Narasi jiper, pengecut, tak punya nyali dan lain sebagainya memang mendadak jadi "menu utama buka puasa" Said Didu, setelah dipastikan mangkir dari pemanggilan Bareskrim Polri.
Rencananya, pria kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan ini akan dimintai keterangan seputar adanya laporan dari kuasa hukum Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Didu dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik.
Benarkah Said Didu, jiper?
Awalnya penulis juga berpikir demikian. Koq bisa seorang Said Didu yang mengaku dirinya sebagai manusia merdeka dan bersuara lantang serta keras ketika mengkritik pemerintah, nyatanya bermental toge (lemah.red).
Namun, setelah memperhatikan perkembangan berikutnya, anggapan penulis terhadap Muhamad Said Didu, perlahan berubah. Dia tidak sejiper dan sepengecut itu.
Penulis merasa, mangkirnya Said Didu merupakan bagian dari strategi yang sedang dibangunnya. Dalam hal ini, Didu ingin memperlihatkan pada publik bahwa dalam menanggapi panggilan atau proses awal pelaporan tidak usah terlalu serius. Terlebih yang melaporkan dirinya bukan LBP langsung. Melainkan kuasa hukumnya.
Jadi, buat Didu juga tak harus langsung kebakaran jenggot dan "lari terbirit-birit" memenuhi panggilan polisi. Dia juga cukup "menyuruh" kuasa hukumnya yang menghadapi.
Disamping itu, dalih Didu mangkir juga sangat cerdas. Dengan memanfaatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Undang-Undang Karantina Kesehatan jadi alasan.
Dia memanfaatkan PSBB dan Undang-Undang Karantina Kesehatan, yang membuat orang tidak bebas bergerak antar kota. Jika polisi memaksa artinya polisi telah melanggar kebijakan pemerintah.
Bagi penulis tidak ada rasa takut apalagi pengecut dalam diri Said Didu. Justru sebaliknya, dia telah memenangkan perang mental awal. Kenapa harus takut, personil dan dukungan dari ratusan tim advokasi membuktikan kesiapan prima dia dalam menghadapi LBP. Hanya saja, dia tidak ingin tergesa-gesa dalam memainkan bidak caturnya.
Boleh jadi, saat ini, Didu sedang tersenyum simpul atau tengah menyeruput kopi kemenangan perang mental awalnya dengan LBP.
Simbol Perlawanan
Membaca arah perseteruan antara Said Didu dengan LBP, seolah menjadikan perang antara kaum akar rumput dengan pihak penguasa.
Dalan hal ini, Didu merupakan simbol perlawanan rakyat. Dia masuk ke dalam arena dengan membawa sejuta aspirasi yang mewakili banyak orang. Sementara di pihak lain, LBP adalah citra wajah penguasa, yang bisa bertindak dengan seenaknya.
Seperti diketahui, awal perseteruan ini terjadi saat Didu mengkritik LBP sebagai pejabat yang hanya memikirkan uang, uang dan uang. Hingga akhirnya berujung pelaporan polisi.
Said Didu tidak lari. Dia akan tetap melawan dengan tenang dan pasti. Ratusan tim advokasi yang siap membelanya bagaikan pasukan sukarela dan siap berjuang bersama.
Banyak pihak menganggap bahwa LBP adalah lawan yang sangat kuat dan ditakuti. Benarkah?Â
Rasanya belum tentu juga. LBP tidak sekuat yang orang kira. Dia adalah orang yang takut pada bayangannya sendiri. Bukti, melaporkan Didu saja harus diwakili kuasa hukum. Padahal ini kasus pidana. Bukan perdata yang bisa dijalankan dengan main wakil-wakilan.
Tentu saja pertarungan diantara keduanya akan berjalan seru. Karena peta kekuatan sudah mulai bergeser. Karena pasukan Muhamad Said Didu sudah jauh lebih kuat.
Jadi, sekali lagi jangan terkecoh dengan pergerakan Said Didu. Dia tidak jiper, tapi coba memainkan ritme dengan santuy sambil terus menghimpun kekuatan. Untuk kemudian menyerang dan skak mat.
Ruhut dan Ferdinand Kudu Hati-hati!
Dalam perseteruan antara Said Didu dengan LBP, sebagaimana diketahui ada pihak dari luar arena yang ikut memanas-manasi suasana. Bahkan, reaksinya melebihi pihak LBP sendiri yang menempatkan dirinya sebagai pihak korban.
Diantara pihak yang turut memperkeruh suasan ini adalah politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean dan politisi PDI Perjuangan, Ruhut Sitompul.
Entah apa kepentingan dua politisi ini sehingga bereaksi berlebihan. Seolah pihaknyalah yang merasa dirugikan oleh sikap Said Didu.
Di saat Said Didu bertindak tenang dan belum memenuhi panggilan polisi, kedua politisi ini menganggap atau lebih tepatnya mengejek, bahwa Didu pengecut, cemen dan nyali kerupuk.
Mereka tidak sadar bahwa ejekannya ini justru akan dengan mudah masuk dalam delik penghinaan.
Jadi dengan begitu, sebaiknya mereka berhati-hati dalam membangun narasi-narasi yang bisa membangkitkan amarah pihak Said Didu. Alih-alih Didu yang terjebak masalah hukum, malah sebaliknya. Kedua politisi inilah yang akhirnya harus berurusan dengan hukum.
Untuk itu, sekali kali lagi mereka berdua harus berhati-hati.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H