SENGKARUT yang mendera perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus menelan korban para petinggi yang duduk di kursi perusahaan pelat merah tersebut.
Hal ini tak lepas dari ketegasan Menteri BUMN, Erick Tohir yang menginginkan pembaharuan positip ditubuh perusahaan-perusahaan milik negara itu menjadi lebih bersih dan sehat. Sehingga berujung pada selarasnya dengan visi dan misi yang diinginkan Presiden Joko Widodo
Langkah-langkah yang diambil mantan boss Klub Sepak bola Serie A Italia, Inter Milan ini tidak lagi basa-basi. Paska dilantik dan tergabung dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM), Erick langsung menggebrak. Langkah-langkah tegas langsung dia praktekan di lapangan.
Salah satunya adalah dengan merombak para pejabat eselon I yang ada di kementriam yang dia pimpin. Dari tujuh deputi yang ada pada jaman kepemimpinan Menteri BUMN sebelumnya, dirampingkan menjadi tiga.Â
Bahkan, Erick juga menginginkan adanya jabatan Inspektorat Jendral. Hal ini, menurut Erick sejalan dengan arahan Presiden Jokowi guna mempercepat gerak dalam pembangunan bangsa.
Tak hanya merombak jajaran di kementerian. Mantan Ketua INASGOC ini juga mempreteli petinggi-petinggi yang duduk di kursi perusahaan pelat merah. Salah satu yang cukup membuat heboh tentunya pemecatan yang terjadi pada Direktur Utama (Dirut) PT. Garuda, Ary Askhara.
Pemecatan tersebut dinilai pantas, karena Ary terjerat kasus penyelundupan Spare Part Motor Gede (Moge) Harley Davidson, sepeda lipat mahal merk Brompton. Kedua jenis barang mahal tersebut diselundupkan melalui pesawat Garuda Indonesia yang baru dibeli dari Airbus, Touluse Prancis.
Atas adanya kasus penyelundupan tersebut, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, negara dirugikan sekitar Rp. 532 hingga Rp. 1,5 milyar.
Setelah terjadi pemecatan terhadap Dirut PT. Garuda, dua hari belakangan ini, publik dan warganet dihebohkan dengan adanya pencopotan terhadap Dirut TVRI, Helmy Yahya.
Tidak seperti pemecatan Ary Askhara yang hampir mendapat dukungan semua pihak. Pencopotan terhadap kakak kandung presenter kondang yang sekarang jadi politisi, Helmy Yahya ini cukup menimbulkan tanda tanya.
Pasalnya, diakui ataupun tidak, oleh beberapa kalangan, Helmy dianggap sebagai sosok yang mampu memberikan angin segar terhadap performa TVRI dalam dua tahun terakhir.
Lembaga penyiaran milik negara semenjak dinahkodai Helmy sangat berbeda dengan sebelumnya. Pendekatan teknis, interaksi para reporter yang terkesan kaku berubah jadi lebih dinamis.
Bahkan, program-program yang ditawarkan oleh TVRI jauh lebih menarik hingga berujung pada banyaknya peminat. Sebut saja, hak siar Liga Primer Inggris yang biasanya menjadi langganan televisi swasta berhasil digaetnya, pesta olahraha multi even dunia, Olimpiade Tokyo sudah dalam genggaman.
Bahkan, karena intensnya manayangkan event turnamen bukutangkis, baik itu agenda BWF (Badminton World Federation) atau turnamen nasional secara langsung. TVRI pun ditabsihkan sebagai House Of Badminton.
Namun, nyatanya segala terobosan Helmy tidak begitu memuaskan sebagian Dewan Pengawas (Dewas) beserta jajaran lainnya. Mereka beranggapan, bahwa Helmy telah melenceng dan tidak mencerminkan marwah TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP).
Menurut pandangan Dewas TVRI, program LPP sejatinya lebih menonjolkan ke-Indonesia-an.
Berkaca dengan pandangan Dewas yang tidak jelas apa yang dimaksud dengan program ke-Indonesia-an dimaksud, pada Desember 2019 lalu, Helmy dinonaktipkan dari jabatannya sebagai Dirut TVRI.
Namun, dalam hal ini, Helmy tak lantas menerima begitu saja. Dia pun melakukan perlawanan dan meyakini bahwa dirinya masih sebagai Dirut TVRI.
Helmy menegaskan, dasar rencana pemberhentian oleh Dewas LPP TVRI tidak ada yang memenuhi poin yang tercantum dalam pasal.
"Tidak memenuhi salah satu pun dari point 1) a.b.c dan d di atas," ucap Helmy.
Surat penonaktifan Helmy sendiri tertulis dengan nomor 241/DEWA/TVRI/2019 tanggal 5 Desember 2019. Surat tersebut berisi penyampaian Surat Keputusan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2019, di mana isinya telah membebastugaskan Helmy dari jabatan Dirut LPP TVRI periode 2017-2022.
Dalam surat pembelaannya, Helmy menilai tidak menemukan satu ayat dalam PP Nomor 13 Tahun 2005 yang menyatakan istilah penonaktifan.
"Sampai saat ini masih tetap menjadi Dirut LPP TVRI yang sah periode 2017-2022 bersama lima anggota direksi yang lain dan tetap akan melaksanakan tugas sesuai ketentuan berlaku," kata Helmy dalam surat pembelaannya.
Kisruh internal antara Dewas TVRI dengan Helmy sebenarnya pernah ditengahi oleh Menteri Komunikasi dan Informati (Menkominfo) Johnny G Plate.Â
Namun, dalam kesempatan tersebut tidak menghasilkan keputusan apapun, kecuali hanya meminta konflik tersebut segera diselesaikan oleh Dewas TVRI untuk menjawab segala tuduhan yang menjadi dasar penonaktipan Helmy Yahya.
Kemarin, Kamis (16/01/2020) kembali surat pemecatan terhadap Helmy, sebagai Dirut TVRI periode 2017-2022 dikeluarkan Dewas.
Surat Pemberhentian tersebut diteken oleh Ketua Dewas Thamrin Dahlan melalui Surat Dewan Pengawas TVRI Nomor 8/Dewas/TVRI/2020.
Ada lima poin penting yang tertulis dalam surat tersebut sebagai dasar kuat pemecatan Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI.
Pertama, Helmy dianggap tidak memberikan penjelasan soal pembelian program siaran berbiaya tinggi seperti Liga Inggris.
Kedua, adanya ketidak sesuaian re-branding TVRI dengan rencana kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, rencana siaran tidak mencapai target karena anggaran tak tersedia.
Ketiga, beberapa dokumen menyatakan sebaliknya dari jawaban terhadap penilaian pokok surat pemberitahuan rencana pemberhentian. Antara lain mutasi pejabat struktural yang tidak sesuai norma dan standar manajemen ASN.
Keempat, penunjukan kuis siapa berani melanggar Undang-Undang nomor 30 rahun 2014 tentang Aministrasi Pemerintahan.
Kelima, Premis-premis yang diajukan Helmy tidak bisa meyakinkan Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI.
Namun, rupanya surat yang diterbitkan Dewas TVRI tentang pemecatan Helmy sebagai Dirut TVRI tidak disepakati seluruh anggotanya. Salah satunya adalah Supra Wimbarti.
Supra menilai, seharusnya ada klarifikasi lebih dalam atas pembelaan yang diberikan Helmy sebelumnya.
"Saya nggak ikut tanda tangan. Saya nggak menyetujui pemecatan itu," kata Supra kepada wartawan, Jumat (17/1/2020).
"Masih bisa digali lagi, betul, itu kata-kata yang tepat. Diundang itu untuk digali lebih jauh lagi supaya tuntas semua informasi itu tuntas, tas," imbuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H