Lembaga penyiaran milik negara semenjak dinahkodai Helmy sangat berbeda dengan sebelumnya. Pendekatan teknis, interaksi para reporter yang terkesan kaku berubah jadi lebih dinamis.
Bahkan, program-program yang ditawarkan oleh TVRI jauh lebih menarik hingga berujung pada banyaknya peminat. Sebut saja, hak siar Liga Primer Inggris yang biasanya menjadi langganan televisi swasta berhasil digaetnya, pesta olahraha multi even dunia, Olimpiade Tokyo sudah dalam genggaman.
Bahkan, karena intensnya manayangkan event turnamen bukutangkis, baik itu agenda BWF (Badminton World Federation) atau turnamen nasional secara langsung. TVRI pun ditabsihkan sebagai House Of Badminton.
Namun, nyatanya segala terobosan Helmy tidak begitu memuaskan sebagian Dewan Pengawas (Dewas) beserta jajaran lainnya. Mereka beranggapan, bahwa Helmy telah melenceng dan tidak mencerminkan marwah TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP).
Menurut pandangan Dewas TVRI, program LPP sejatinya lebih menonjolkan ke-Indonesia-an.
Berkaca dengan pandangan Dewas yang tidak jelas apa yang dimaksud dengan program ke-Indonesia-an dimaksud, pada Desember 2019 lalu, Helmy dinonaktipkan dari jabatannya sebagai Dirut TVRI.
Namun, dalam hal ini, Helmy tak lantas menerima begitu saja. Dia pun melakukan perlawanan dan meyakini bahwa dirinya masih sebagai Dirut TVRI.
Helmy menegaskan, dasar rencana pemberhentian oleh Dewas LPP TVRI tidak ada yang memenuhi poin yang tercantum dalam pasal.
"Tidak memenuhi salah satu pun dari point 1) a.b.c dan d di atas," ucap Helmy.
Surat penonaktifan Helmy sendiri tertulis dengan nomor 241/DEWA/TVRI/2019 tanggal 5 Desember 2019. Surat tersebut berisi penyampaian Surat Keputusan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2019, di mana isinya telah membebastugaskan Helmy dari jabatan Dirut LPP TVRI periode 2017-2022.
Dalam surat pembelaannya, Helmy menilai tidak menemukan satu ayat dalam PP Nomor 13 Tahun 2005 yang menyatakan istilah penonaktifan.