"Nak bangun nak, udah siang. Kamu kan harus sekolah..!" Ucap Halimah, pada anaknya, Herman.
"Ah ibu bisanya hanya ganggu aku saja. Masih ngantuk nih..!" Sahut Herman, ketus.
Herman adalah anak Halimah satu-satunya. Ayahnya sudah meninggal dunia waktu pemuda tinggi, tampan ini masih umur tiga tahun. Namun dibalik wajah tampannya tersembunyi tabiat kurang baik. Herman kurang hormat pada Halimah, gara-gara kaki kanan ibunya itu buntung.
Waktu masih di sekolah dasar, Herman seringkali uring-uringan jika ibunya datang ke sekolah untuk menjemput. Lantaran dia malu, ibunya hanyalah manusia cacat. Rasa malu terhadap kondisi fisik ibunya itu semakin menguat seiring bertambahnya usia Herman. Kini Ia sudah berumur hampir 18 tahun, sebentar lagi lulus sekolah.
Dengan kakinya yang buntung, Halimah tidak pernah minder apalagi putus asa dalam menghadapi kejamnya kehidupan. Justeru, perempuan 40 tahun ini selalu semangat seperti manusia normal lainnya. Dengan menggunakan tongkat, dia berdagang keliling nasi kuning dengan beberapa macam gorengan.Â
Semua itu ikhlas dia lakukan, demi membiayai sekolah anaknya. Harapan Halimah sangat tinggi, menyekolahkan Herman hingga kuliah. Bagi dia pendidikan anaknya amat penting, untuk bekal hidupnya kelak. Karena Halimah merasa tidak mampu memberikan apapun kecuali kasih sayang dan membiayai sekolah Herman. Meski semua itu harus bekerja ekstra keras.
"Ayo, nak bangun, cepat mandi. Ibu ga mau kamu kesiangan" Ucap Halimah, lembut.
"Iya..iya ah. Bawel banget sih bu" Ketus Herman. Beringsut dari kamar tidurnya, langsung ke kamar mandi.
Tak beberapa lama, Herman sudah rapih. Siap berangkat ke sekolah. Namun seperti biasa, pemuda ini sarapan dulu bareng Halimah.
"Nak sebentar lagi kamu lulus sekolah. Katanya orang tua siswa diundang untuk menghadiri acara perpisahan. Koq ibu ga menerima surat undangannya?" Tanya Halimah.
"Ah ibu ga usah hadir. Ga begitu penting ini acaranya" Ketus Herman lagi.