"Sekarang giliran kamu buka kotaknya...!" Perintah Yudistira pada Prama.
Dengan hati-hati dibukanya kotak itu, lalu dibuka perlahan isi suratnya. Ternyata, tertulis pada surat itu dua perusahaan tekstil besar. Perusahaan yang telah mengahasilkan pundi-pundi uang dan limpahan harta yang sekarang sudah dimiliki kedua anak Yudistira.
Tidak hanya Prama yang kaget. Kedua anak Yudistira jauh lebih kaget. Mereka tidak menyangka bahwa selama ini ayahnya memiliki perusahaan besar ternama. Mereka pun protes. Merasa ayahnya telah berbuat tidak adil.
"Aku tidak terima ini semua. Ayah tidak adil. Selama ini tidak pernah tahu kalau ayah mempunyai perusahaan besar. Dan sekarang perusahaan itu jatuh pada si pembantu. Jelas ini tidak adil" Tandas Guntara penuh amarah.
"Ya, aku tidak terima semua ini" Timpal Ginanjar.
Melihat kemarahan kedua anaknya, Yudistira hanya tersenyum. Lalu mengingatkan keduanya.
"Inilah pelajaran hidup bagi kalian berdua. Harusnya bisa diambil hikmahnya, bukan marah seperti ini. Kalian hanya memandang sesuatu dari fisik luarnya. Karena kotaknya bagus dan berlapis emas, langsung kalian pilih. Terus menafikan kotak butut ini. Padahal dari kotak butut inilah sumber dari semua harta yang kalian miliki sekarang"
"Begitupun dengan Prama. Kalian anggap pembantu rendahan. Padahal dia mempunyai jiwa dan hati yang besar serta kaya akan kasih sayang dan kesetiaan. Wajar kalau perusahaan ini menemukan takdirnya. Akan dikelola oleh orang yang tepat. Orang yang kalian anggap pembantu rendahan ini adalah sarjana ekonomi lulusan terbaik. Kalian tidak tahu karena sibuk menghabiskan harta ayah" Imbuh Yudistira.
Mendengar penuturan ayahnya, Guntara dan Ginanjar sadar. Selama ini hidupnya sudah menyimpang jauh karena dibutakan oleh kilauan harta dan selalu menganggap sesuatu itu dari bentuk luarnya saja. Padahal tak selamanya yang tampak bagus dari luar, bagus pula di dalam. Begitu pula sebaliknya.
Sementara Prama, yang selama hidupnya setia mengabdi pada akhirnya mendapatkan balasan setimpal. Buah dari kejujuran, ketulusan dan pengabdian tanpa pamrih membawa dia ke puncak kehormatan tertinggi dengan menjadi komisaris di dua perusahaan besar.***