Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kotak Wasiat

2 September 2019   07:45 Diperbarui: 2 September 2019   07:46 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Uhuk..uhuk..uhuk" Yudistira terbatuk-batuk. Lelaki tua itu duduk di kursi roda sambil menikmati pemandangan pekarangan rumah yang cukup luas. Penyakit paru yang dia derita membuat wajahnya pucat, tubuhnya kurus serta matanya cekung. Telah banyak rumah sakit yang di kunjungi, tapi tak kunjung sembuh. Malah, cenderung lebih parah.

Semenjak kematian isterinya hampir 30 tahun lalu, Yudistira tak menikah lagi. Bukan lantaran dia tak laku, bahkan sebaliknya banyak perempuan waktu itu ingin diperisteri. Selain cukup tampan, Yudistira seorang kaya raya. Rasa cinta dan setia pada isterinya,  laki-laki ini memilih fokus mengurus kedua anak laki-lakinya.

Ketika kedua anaknya itu beranjak dewasa dan menikah. Dia tinggal berdua dengan Prama. Seorang pemuda yang setia mengurus semua keperluan Yudistira. Prama tinggal menemani tuannya sudah 10 tahun lebih atau sejak dia duduk di bangku kelas 6 SD.

"Pram..Prama.....!" Panggil Yudistira pada pembantunya itu.

"Iya tuan, ada yang bisa saya bantu? Tanya Prama, sambil tergopoh-gopoh datang dari dalam rumah.

"Coba ambilkan obatku di kamar...!"

"Baik tuan...!" Prama beringsut mengerjakan perintah tuannya. Tak lama kemudian balik lagi sambil membawa obat.

"Ini tuan obatnya..!"

"Terimakasih. Sekarang kamu duduklah, temani aku..!" Kata Yudistira, langsung dituruti Prama.

"Sudah berapa lama kau kerja padaku?" Susul Yudistira.

"Kenapa tuan tanyakan itu pada saya?" Tanya Prama, wajahnya berubah pucat. Dia khawatir akan dipecat.

Melihat perubahan wajah Prama, lelaki penyakitan ini tersenyum, seolah otaknya tahu apa yang sedang dipikirkan anak muda ini. 

"He..he..ditanya malah balik nanya. Dasar anak muda sekarang. Jawab saja, sudah berapa lama kau kerja padaku?"

"Lebih dari 10 tahun tuan" Jawab Prama, kepalanya tertunduk. Tak berani menatap mata tuannya.

"Hmmm..berapa umurmu sekarang?"

"23 tuan...!"

"Apa kamu tidak ingin menikah dengan usiamu sekarang?"

"Maaf tuan..! Bukannya saya tidak mau. Tapi untuk sekarang, hati dan pikiran saya hanya untuk mengabdi sepenuhnya pada tuan. Saya rela membujang, asal bisa selamanya membaktikan diri pada tuan"

"Kenapa kau korbankan dirimu demi aku yang renta ini? Mata Yudistira sedikit dipaksakan melotot. Tak percaya jawaban yang terlontar dari pembantunya tersebut.

"Karena tuan dewa penolong saya. Saya tidak tahu nasib saya jika tidak ditolong tuan waktu ibu bapak saya meninggal. Binatang saja bisa menurut pada majikannya. Apalagi saya, mahluk yang diberi akal dan pikiran. Nista namanya kalau tidak setia sama tuan. Untuk itu izinkan saya untuk mengabdi sepenuh hati pada tuan..! Tutur Prama, dengan kepala tetap tidak berani menatap tuannya.

Mendengar kesetiaan dan ketulusan hati pembantunya, tanpa terasa air mata Yudistira jebol juga membanjiri kedua pipinya yang keriput. Hatinya tidak kuat menahan haru. Seorang pembantu bisa memperlihatkan ketulusan dan kesetiaan luar biasa hanya gara-gara dijadikan pembantu dan disekolahkan olehnya. Sementara, kedua anaknya yang diberi kasih sayang sepenuh hati malah tak peduli dengan kondisinya sekarang. Mereka hanya ingin hartanya semata untuk kemudian dipakai poya-poya bersama anak isterinya di kota.

"Terimakasih atas kesetiaanmu, anakku" Ucap Yudistira, dielusnya rambut Prama yang terus tertunduk.

Ada rasa bahagia yang seolah akan meledakan seluru sel-sel di tubuhnya, ketika kata 'anak' keluar dari mulut majikannya. Bagi Prama panggilan 'anak' ini melebihi kebahagiaan mendapatkan harta berharga apapun yang ada di alam ini. Tapi kebahagiaan itu dia simpan kuat-kuat.

"Angkatlah kepalamu...!"

"Iya tuan" Setelah mengangkat kepala, barulah terlihat jelas, air mata meleleh dari kedua sudut mata Prama. Air mata bahagia.

"Sekarang kau hubungi kedua anakku agar segera pulang. Katakan pada mereka, bahwa aku akan mewariskan seluruh harta kekayaanku..!"

"Baik tuan. Akan saya lakasanakan segera"

**
Dua hari kemudian, kedua anak Yudistira, Guntara dan Ginanjar datang. Mereka berdua tampak sumringah. Namun, ternyata ayahnya tak ada di tempat. Menurut tetangga, Yudistira sedang berobat ke rumah sakit. Terpaksa kakak adik ini menunggu di beranda rumah. Tak nampak sedikitpun rasa khawatir di wajah keduanya. Dalam otak keduanya hanya ada harta.

"Kita sebentar lagi akah jadi kaya raya, tajir melintir..ha ha..ha..." Kata Guntara pada adiknya.

"Iya kak. Kita bakal senang-senang terus. Harta ayah kita tidak akan habis tujuh turunan" Sahut Ginanjar. Wajahnya tampak berseri-seri.

Tak lama berselang, Yudistira datang di temani Prama. Kedua anaknya langsung menyambut sambil berseri-seri.

"Eh ayah akhirnya pulang juga. Kami udah dari tadi nunggu" Ucap Guntara, yang dibalas dengan senyuman kecil Yudistira.

"Sukurlah kalau emang kalian masih ingat ayahmu ini. Ayo kita masuk....!"

"Ayo. Lagian di luar cuacanya panas" Sambar Ginanjar. Mengikuti Yudistira yang dipapah Prama masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di dalam, mereka langsung duduk di ruang tamu, kecuali Prama yang langsung ke dapur, menyediakan air minum untuk para majikannya.

"Kemana saja kalian selama ini, tak pernah ngasih kabar. Apa kalian tak khawatir pada ayahmu?" Tanya Yudistira, suaranya pelan.

"Kami berdua sibuk ayah. Ngurus kerjaan juga ngurus anak isteri. Lagian kenapa harus khawatir, kan ada si Prama yang ngurusin ayah" Sahut Guntara, yang diamini Ginanjar dengan anggukan kepala.

"Kalian ini memang sudah tidak sayang sama ayah" Ucap Yudistira, kepalanya menggeleng tanda kecewa.

"Kenapa ayah jadi persoalkan masalah ini. Kalaupun kami di sini, tidak akan membuat kondisi ayah mendadak sembuh kan?". Udahlah, si Prama kan dibayar untuk ngurusin ayah. Sekarang, mana, katanya akan mewariskan seluruh harta ayah" Guntara makin lancang bicaranya.

Yudistira hanya diam, matanya berkaca-kaca. Sedih atas prilaku kedua anaknya. Sejurus kemudian baru membuka suara kembali.

"Bersabarlah..! Kenapa kalian buru-buru. Ayah lagi nunggu pengacara keluarga kita dulu. Biar kelak kemudian hari diantara kalian tidak saling berebutan harta"

"Baiklah" Sahut Ginanjar, tersenyum bahagia. Tak lama lagi akan mendapatkan warisan sangat banyak.

"Tapi sebelumnya, ayah beritahukan pada kalian. Prama pun akan mendapatkan bagian harta ayah. Dia sudah kuanggap anak sendiri. Berarti adik kalian juga"

"Mana bisa begitu. Dia kan cuma pembantu di keluarga ini. Tidak...aku tidak setuju..!" Bentak Guntara. Wahahnya langsung merah padam.

"Iya ayah, kenapa si Prama harus mendapat bagian harta ayah segala. Dia kan sudah dibayar selama ini. Bahkan dikasih makan dan disekolahkan. Keenakan banget dia" Timpal Ginanjar, tak kalah kesal.

"Kalau kalian tidak setuju. Lebih baik kalian pulang saja. Ayah tak jadi mewariskan harta ini sekarang"

"Baik..baiklah kalau begitu. Tapi aku minta, jangan kasih dia banyak-banyak. Lagian buat apa dia punya banyak harta kalau hidup di kampung seperti ini" Guntara akhirnya menerima putusan ayahnya meski dengan syarat.

"Kalian ini memang serakah jadi orang. Dalam otak kalian hanya harta..harta dan harta. Tak pernah peduli dengan perasaan orang"

"Assalamualaikum" Tiba-tiba dari luar rumah ada yang mengucapkan salam. Ternyata si pengacara yang memang sedang ditunggu kedatangannya.

"Waalaikumsallam" Balas Yudistira dan anak-anaknya.

Setelah dipersilahkan masuk, si pengacara itu pun duduk bersama Yudistira dan kedua anaknya. Seperadukan teh kemudian, Yudistira memanggil Prama untuk ikut kumpul bersama mereka.

"Silahkan pak pengacara mulai saja...!" Pinta Yudistira.

"Baiklah"

Sejurus kemudian, pengacara mengeluarkan tiga buah kotak dari dalam tasnya. Dua kotak terbuat dari jati kayu berlapis emas. Sedangkan satu kotak lainnya, terbuat dari kayu biasa yang kelihatan sudah tua dan kotor. Kemudian ketiga kotak itu di letakan pengacara di atas meja.

"Awalnya ketiga kotak wasiat ini akan saya berikan pada saat ayah kalian sudah meninggal. Tapi ternyata, pak Yudistira memintaku untuk memberikannya sekarang. Jadi apa boleh buat" Tutur si pengacara.

"Lalu kenapa kotak wasiat ini ada tiga. Karena ayah kalian juga ingin mewariskan sebagian hartanya pada Prama. Orang yang selama ini mengurusnya dengan baik dan penuh tanggung jawab layaknya bakti seorang anak pada orang tua" Susul pengacara ini.

"Udahlah pak pengacara jangan bermain teka-teki. Apa maksudnya dengan kotak-kotak ini?" Tanya Guntara tak sabar.

"Masing-masing kotak ini adalah surat yang isinya daftar harta yang akan diwariskan. Nah masing-masing kalian silahkan ambil satu kotak itu dan tandatangani surat pernyataan yang sudah saya siapkan sebagai bukti kepemilikan yang syah" Tutur pengacara.

"Sok kamu mau pilih kotak mana?" Tanya Yudistira pada Guntara.

Tanpa pikir panjang, Guntara langsung memilih kotak kayu jati berlapis emas. Pun dengan Ginanjar memilih kotak kayu serupa. Tinggal satu kotak butut yang otomatis milik Prama. Namun, pemuda ini tak serta merta menerimanya.

"Maaf tuan, bukannya saya menolak. Tapi saya merasa tidak berhak dengan semua ini" Ucap Prama.

"Apa karena kotaknya butut?" Selidik Yudistira.

"Sama sekali bukan tuan. Pengabdian saya pada tuan itu ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sekalipun tidak diberi, saya bakal terus merawat tuan dengan baik. Karena itu tujuan hidup saya" Tutur Prama lagi, yang di respon Yudistira dengan penuh haru. Sementara Guntara dan Ginanjar mencibir alasan Prama. Mereka pikir, itu semua hanya akal bulus Prama semata.

"Kalau begitu terima kotak ini. Anggap ini bukan pemberian, tapi amanat dariku" Tutur Yudistira.

Merasa diberi amanat, dengan berat hati, Prama pun menerimanya.

Setelah masing-masing menerima kotak dan menandatangani surat pernyataan. Si Pengacara menyuruh kotak itu dibuka.
Guntara mendapatkan puluhan hektar tanah dan ratusan gram emas batangan yang tersimpan di bank. Ginanjar mendapatkan rumah,  perhiasan peninggalan ibunya serta uang yang tersimpan di bank. Keduanya langsung bersorak kegirangan setelah tahu apa yang mereka dapatkan.

"Sekarang giliran kamu buka kotaknya...!" Perintah Yudistira pada Prama.

Dengan hati-hati dibukanya kotak itu, lalu dibuka perlahan isi suratnya. Ternyata, tertulis pada surat itu dua perusahaan tekstil besar. Perusahaan yang telah mengahasilkan pundi-pundi uang dan limpahan harta yang sekarang sudah dimiliki kedua anak Yudistira.

Tidak hanya Prama yang kaget. Kedua anak Yudistira jauh lebih kaget. Mereka tidak menyangka bahwa selama ini ayahnya memiliki perusahaan besar ternama. Mereka pun protes. Merasa ayahnya telah berbuat tidak adil.

"Aku tidak terima ini semua. Ayah tidak adil. Selama ini tidak pernah tahu kalau ayah mempunyai perusahaan besar. Dan sekarang perusahaan itu jatuh pada si pembantu. Jelas ini tidak adil" Tandas Guntara penuh amarah.

"Ya, aku tidak terima semua ini" Timpal Ginanjar.

Melihat kemarahan kedua anaknya, Yudistira hanya tersenyum. Lalu mengingatkan keduanya.

"Inilah pelajaran hidup bagi kalian berdua. Harusnya bisa diambil hikmahnya, bukan marah seperti ini. Kalian hanya memandang sesuatu dari fisik luarnya. Karena kotaknya bagus dan berlapis emas, langsung kalian pilih. Terus menafikan kotak butut ini. Padahal dari kotak butut inilah sumber dari semua harta yang kalian miliki sekarang"

"Begitupun dengan Prama. Kalian anggap pembantu rendahan. Padahal dia mempunyai jiwa dan hati yang besar serta kaya akan kasih sayang dan kesetiaan. Wajar kalau perusahaan ini menemukan takdirnya. Akan dikelola oleh orang yang tepat. Orang yang kalian anggap pembantu rendahan ini adalah sarjana ekonomi lulusan terbaik. Kalian tidak tahu karena sibuk menghabiskan harta ayah" Imbuh Yudistira.

Mendengar penuturan ayahnya, Guntara dan Ginanjar sadar. Selama ini hidupnya sudah menyimpang jauh karena dibutakan oleh kilauan harta dan selalu menganggap sesuatu itu dari bentuk luarnya saja. Padahal tak selamanya yang tampak bagus dari luar, bagus pula di dalam. Begitu pula sebaliknya.

Sementara Prama, yang selama hidupnya setia mengabdi pada akhirnya mendapatkan balasan setimpal. Buah dari kejujuran, ketulusan dan pengabdian tanpa pamrih membawa dia ke puncak kehormatan tertinggi dengan menjadi komisaris di dua perusahaan besar.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun