"Ayo. Lagian di luar cuacanya panas" Sambar Ginanjar. Mengikuti Yudistira yang dipapah Prama masuk ke dalam rumah.
Sesampainya di dalam, mereka langsung duduk di ruang tamu, kecuali Prama yang langsung ke dapur, menyediakan air minum untuk para majikannya.
"Kemana saja kalian selama ini, tak pernah ngasih kabar. Apa kalian tak khawatir pada ayahmu?" Tanya Yudistira, suaranya pelan.
"Kami berdua sibuk ayah. Ngurus kerjaan juga ngurus anak isteri. Lagian kenapa harus khawatir, kan ada si Prama yang ngurusin ayah" Sahut Guntara, yang diamini Ginanjar dengan anggukan kepala.
"Kalian ini memang sudah tidak sayang sama ayah" Ucap Yudistira, kepalanya menggeleng tanda kecewa.
"Kenapa ayah jadi persoalkan masalah ini. Kalaupun kami di sini, tidak akan membuat kondisi ayah mendadak sembuh kan?". Udahlah, si Prama kan dibayar untuk ngurusin ayah. Sekarang, mana, katanya akan mewariskan seluruh harta ayah" Guntara makin lancang bicaranya.
Yudistira hanya diam, matanya berkaca-kaca. Sedih atas prilaku kedua anaknya. Sejurus kemudian baru membuka suara kembali.
"Bersabarlah..! Kenapa kalian buru-buru. Ayah lagi nunggu pengacara keluarga kita dulu. Biar kelak kemudian hari diantara kalian tidak saling berebutan harta"
"Baiklah" Sahut Ginanjar, tersenyum bahagia. Tak lama lagi akan mendapatkan warisan sangat banyak.
"Tapi sebelumnya, ayah beritahukan pada kalian. Prama pun akan mendapatkan bagian harta ayah. Dia sudah kuanggap anak sendiri. Berarti adik kalian juga"
"Mana bisa begitu. Dia kan cuma pembantu di keluarga ini. Tidak...aku tidak setuju..!" Bentak Guntara. Wahahnya langsung merah padam.