Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Si Tua Renta dan Badut Politik

30 Juli 2019   11:04 Diperbarui: 30 Juli 2019   13:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lusuh, kumal dan renta, sosok pria tua tampak gelisah, tepat berdiri di sisi gerbang masuk pelataran gedung parlemen. Kedua matanya tak lepas memandangi setiap kendaraan yang masuk. Namun, beberapa kali wajah kecewanya mewarnai raut muka yang sudah dipenuhi keriput.

"Ah ternyata bukan dia" ucapnya pelan.

Sebagai seorang jurnalis, akupun tergerak untuk menghampirinya. Rasa heran menghantuiku, melihat sosok tua renta begitu gigih menunggu di depan gerbang gedung rakyat, seolah ingin menyampaikan sesuatu terhadap salah seorang penghuninya.

"Maaf kek, sedang apa di sini?" Tanyaku.

Dengan tampak kaget, si tua renta pun langsung menjawab tanyaku.

"Ini nak, kakek sedang menunggu bapak dewan. Ingin bicara padanya," jawab si kakek.

Sontak, jawaban ini membuatku semakin tertarik mengorek lebih jauh tentang kepentingannya bertemu dengan salah seorang anggota dewan terhormat itu. Walau terlintas dalam benak, lelaki tua penuh uban ini sebatas minta bantuan keuangan semata.

"Memangnya mau apa kakek menemuinya?" Aku semakin penasaran.

"Kakek ingin menagih janji beliau" sahut si kakek, sambil mengeluarkan sebungkus roko di dalam saku bajunya.

Rasa penasaranku makin kuat mendengar jawabannya. Namun, belum sempat mengajukan pertanyaan susulan, tiba- tiba si kakek berteriak.

"Hey nak itu dia yang kakek tunggu-tunggu" ujar si kakek sambil menunjuk mobil cukup mewah, hendak masuk ke pelataran gedung dewan.

Si kakek pun menghampiri mobil tersebut. Seperadukan teh kemudian, keluarlah pria kelimis dengan penampilan ala pejabat.

"Oh dia" gumamku. Sosok pejabat yang ditunggu si kakek renta itu memang tak asing lagi bagiku. Dia adalah salah seorang anggota dewan yang cukup vokal dan idealis ketika bicara di media.

"Maaf bapak yang terhormat, bolehkah saya sedikit bertanya?" ucap si renta sambil sedikit membungkuk.

"Eh kamu siapa? Tanya si anggota dewan

"Maaf, saya adalah masyarakat dari daerah pemilihan bapak" terang si kakek, tak lepas dari pandanganku.

"Oooh begitu, tentu saja boleh. Tapi sebentar saja ya, urusan saya masih banyak," tandasnya, sambil memicingkan sebelah mata.

"Tahukah bapak yang terhormat, saya tinggal di pinggiran hutan yang jauh dari kota ini"

"Lantas apa hubungannya dengan saya?" Tandas si anggota dewan sedikit kesal.

"Hutan adalah penghidupan buat kami."

"Iya, lantas?, ayo jangan basa-basi. Saya penjarakan, jika mengganggu waktu saya, sambil sedikit mendorong si renta.

"Maaf bapak yang terhormat, saat ini kami melihat pohon-pohon ditebangi dan juga melihat alat-alat berat berdatangan ke hutan kami. Akan ada apakah di hutan itu pak?" tanya si renta dengan sedikit berkaca-kaca.

"Ah itu hutan kan sudah tidak sesuai tata ruang kota. Hutan itu harus menyesuaikan kota. Kamu tahu tidak?" ungkapnya, sambil meludah ke samping kiri.

"Mengapa hutan yang harus menyesuaikan?, bukankah sebaliknya, yang harus menyesuaikan itu kota terhadap keberadaan hutan? hutan adalah inti dari kehidupan" Timpal si kakek.

Melihat perlakuan kasar terhadap si kakek renta, aku terkejut. Pejabat yang selama ini aku anggap anomali dari lingkaran pejabat korup, ternyata setali tiga uang. Wajah idealis yang dia perlihatkan selama ini, rupanya sebatas topeng pencitraan.

"Badut politik" gumamku.

"Kamu jangan ngomong sembarangan! Lagian kamu tetap melarat kan di sana?" Tegas anggota parlemen itu terus memperlihatkan watak aslinya.

"Hey pak tua, perlu kamu ketahui, hutan itu akan kami ubah jadi tempat wisata yang besar" geram si pejabat.

 "Dasar rakyat kecil!!!, pikir dong nanti kamu bisa bekerja di sana, dan semoga kamu tidak melarat lagi"

Mendengar penjelasan kasar si pejabat, si kakek tertegun sebentar, lalu kembali bertanya.

 "Apakah bapak tidak mempunyai kebijaksanaan untuk menolak itu semua?"

"Pernahkah bapak berpikir bahwa hutan itu adalah titipan untuk generasi mendatang?"

"Ah, sok pintar kamu rupanya. Saya lebih bijaksana daripada kamu. Nanti akan ada banyak uang yang mengalir untuk pemerintah"

"Dan ke kantong bapak juga?" si renta menimpali.

"Husss, hati-hati bicara, kamu akan kena sanksi menuduh bukan-bukan"

Mendengar celotehan dan keangkuhan si pejabat, si kakek ternyata tak selemah yang aku kira. Dia mulai berani memandang wajah wakil rakyatnya. Dengan nada tinggi kembali mengeluarkan unek-uneknya.

"Bapak yang terhormat, kami mohon bapak tidak semena-mena terhadap lingkungan hidup. Bukannya keuntungan, tetapi bencana nantinya yang akan bapak raih. Tolong pergunakan kebijaksanaan bapak untuk mengelola lingkungan hidup di kota ini. Jangan hanya memikirkan keuntungan ekonomi sesaat"

"Ah, minggir kamu," sambil mendorong si renta dan berlalu begitu saja.

Si renta itu pun jatuh tersungkur di pelataran. Tak tega melihat semua itu, akupun segera menolongnya.

"Terimakasih nak," ucapnya singkat.

Tanpa menjawab ucapan terimakasih si kakek, akupun tak kuasa untuk kembali melemparkan pertanyaan.

"Kek, apa kakek tidak takut dengan ancamannya tadi?...

"Kenapa harus takut, kakek hanya bicara apa adanya. Lagi pula, pelestarian hutan di tempat kakek, adalah janji politiknya waktu mencalonkan anggota dewan dulu" jawab si kakek, sambil terus melanjutkan ucapannya.

"Inilah budaya para pokitikus di negeri kita. Mereka begitu berani mengobral janji sekaligus  tak segan mengingkarinya"

Aku hanya bisa mengangguk mendengar ucapan si kakek. Kata-kata yang diucapkannya mengingatkanku pada judul buku  tulisan Wiliam Shakeapeare, As You Like It". Dalam salah satu halamannya ada ungkapan berani, bicara dengan kata-kata berani, bersumpah dengan sumpah berani dan melanggarnya dengan berani.

Setelah si kakek berlalu, pikiranku makin terbuka. Negeri ini adalah penuh lawakan dan ajaib tak ubahnya negeri mimpi. Mimpi rakyat yang tercekik oleh perut-perut buncit badut politik.

"Hahhhh" aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun