Mohon tunggu...
eko supriyanto
eko supriyanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presiden dan Pemimpin Harus Warga Negara Asli

10 Oktober 2016   11:22 Diperbarui: 10 Oktober 2016   11:31 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Syahdan, atas inisiatif beberapa partai, diamandemenlah salah satu pasal UUD tentang pemimpin dan warga negara. Setelah melewati proses diskusi dan rapat yang berkepanjangan, hasilnya adalah ketok palu:duk duk duk bahwa presiden harus warga negara asli. 

Kebetulan saat itu pelaksanaan pilpres sudah dekat. Maka momennya pun pas untuk penjaringan dan pencalonan. 

Yang mula-mula mengusung calon adalah gabungan beberapa partai kecil: Partai Kacang Ijo, Partai Jinten, Partai Biji Bayem, dan partai yang paling kecil, Partai Atom! 

Sejujurnya, mereka itu bingung mau mencalonkan siapa. Maklum, stok di dalam tidak ada. Beruntung saja sejumlah anak muda kreatif yang membentuk gerakan “Teman Hoki”. 

Mengapa “Teman Hoki”? Kebetulan beberapa di antara para pencetus dan pendirinya hobi main hoki – itu olahraga yang menggunakan bola kecil dan pemukul. Yang seorang lagi setuju nama itu karena dia belajar dan lama tinggal di Selandia Baru. Salah satu makanan favoritnya adalah ikan hoki – jenis ikan laut yang banyak ditemukan di perairan Selandia Baru. Sedang yang seorang lagi setuju apa saja yang berkaitan dengan “hoki”. 

Koalisi Kajinbatom (kacang ijo, jinten, biji bayem dan atom) sepakat jika “Teman Hoki” mampu mengumpulkan 10 juta KTP dari seluruh negeri maka nama itu akan diusung dan didukung sebagai calon pemimpin mereka. 

Hoki adalah kepanjangan dari Honanto Setiawan dan Kinanti Putri Ratu Prameswari.

Honanto adalah profesional dan sosial enterprener. Memulai karir sebagai profesional CSR di perusahaan asing, ia lalu keluar dan membangun sosial enterprenership sendiri. Jaringannya luas, di kota dan desa, di seluruh Nusanesia. Bagi orang berduit, Honanto adalah saluran cerdas yang bisa meningkatkan citra mereka sebagai orang dermawan dan pada saat yang sama membantunya mencari cara legal bagi pengurangan pajak melalui sumbangan-sumbangan kegiatan amal. Sedang bagi akar rumput, nelayan, petani hingga pelaku UKM, Honanto bisa mencarikan dana segar alternatif di luar bank dan sekaligus pada saat tertentu membantu mencarikan pasar baru bagi produk mereka. 

Di luar jejaringnya, Honanto punya nilai tambah lain: dia telah disunat!


***

Kinanti tak kalah menariknya. Dia adalah cicit buyut tokoh nasional masa lalu. Usianya muda. Pola pikirnya progresif. Awalnya bekerja sebagai bankir, setelah itu banting stir membuka usaha sendiri. Jalan yang dilaluinya berliku, jatuh bangun kayak lagu dangdut – kondisi yang membuat dia  terasing di antara keluarga besar. Dalam kondisi galau, dia sendirian berlibur ke Solo, nginepnya di kamar kos-kosan. Setiap tengah malam dia keluar, makan nasi kucing di perempatan jalan. Ya, nasi kucing – nasi murah dengan lauk seadanya untuk pegawai rendahan, buruh, tukang becak, dan mahasiswa yang bokek. 

Syahdan, yang berjualan adalah seorang pemuda: rambutnya gondrong,matanya tajam dan amboi ... kulit itemnya itu lho yang bikin merinding kepanasan. Jadilah dia setiap malam nongkrong di sana, ngobrol ngalor ngidul, ngelirik rambut panjangnya, ngelirik matanya, dan tentu saja ngelirik kulit itemnya yang membuat kewanitaannya gelisah! Tanpa basa-basi, dia lamar pemuda itu. Pemuda itu kaget, badannya langsung ikut-ikutan panas dingin ... memandang gadis di depannya, memandang bening matanya ...  Aduhai, betapa pemuda itu ingin berenang di dalamnya! 

Tak diragukan gadis itu cantik, meski tampaknya tidak muda lagi.Ha, cantik dan matang! Estewe! Meski ketika itu tampak agak kurus. Dibanding dirinya, mungkin usianya 4 atau 5 tahun lebih tua. Malam itu pemuda tersebut tidak mengatakan apa-apa: menolak tidak, mengiyakan pun enggak. Kinanti mengulang lamaran itu hingga tiga kali. Tiga hari pula badan pemuda itu terserang panas dingin hebat: matanya itu lho, sungguh! Tak cuma berenang, kali ini ia ingin nyelem membenamkan dirinya dalam-dalam!  Pemuda itu pun luluh bersyarat: dia bersedia, tapi mereka harus meneruskan usaha nasi perkucingan karena itu merupakan usaha turun temurun yang dirintis sejak zaman eyang canggah.

Entah mengapa Kinanti langsung setuju. Dibantu pengalamannya di bidang keuangan dan manajemen, usaha nasi kucing yang kecil itu berkembang. Mula-mula tiga outlet, empat, lima, sepuluh ...hingga total 100 outlet, tersebar di kota-kota besar di Nusanesia.Tak kurang 10 outletnya bahkan tersebar di berbagai kota di Australia dengan nama yang bikin penasaran, Rice Cat, dengan logo kucing imut, cantik dan kedipan matanya yang manja-manja genit. Mirip cat women, tapi dalam versi yang lebih imut dan menggemaskan! 

Pada minggu pertama dibuka, pengunjung di negeri Kangguru menduga ia jualan makanan kucing. Mereka mengular mengantri dengan membawa kucingnya masing-masing! Ya itu sedikit perkenalan pasangan Hoki.

Rupanya, masalah kemudian muncul. Koalisi Partai Biji Mangga dan Partai Bji Kedondong menggugat calon koalisi tersebut ke Mahkamah Konstusi, mempertanyakan keabsahan Capres Hoki, yaitu Honanto Setiawan yang diragukan “keasliannya” sebagai warga negara. 

Tapi Teman Hoki sudah siap dengan serangan yang sudah diduga sebelumnya. Dalam jawaban ke sidang Mahkamah Konstitusi, pengacara dan tim ahli, yang terdiri dari ahli sejarah dan kearsipan negara, membeberkan dokumen yang diperoleh dari arsip Universitas Leiden.

“Yang Mulia, dokumen ini berasal dari tarikh Klenteng Sam PoKong Semarang yang dibawa ke Leiden awal abad 20. Dari dokumen itu diketahui nenek moyang Saudara Honanto adalah perwira menengah anak buah Laksamana Cheng Ho yang bernama Bong Swi Hoo. Dia memilih tinggal di Kepulauan Nusa pada abad ke 15. Mula-mula beliau menetap di Sambas, lalu pindah ke Rembang dan menikah dengan tokoh masyarakat setempat. Selain panglima, Bong Swi Hoo adalah pendakwah Islam yang berasal dari Yunan. Keturunan Bong Swi Hoo hingga saat ini masih bisa ditemui di sekitar Lasem, Rembang, Semarang hingga Tuban. Sebagian sudah bercampur dan menikah dengan warga setempat. Karena nenek moyangnya sudah tinggal di kepulauan Nusa sejak abad 15, tentu tak diragukan lagi Saudara Honanto adalah seorang warga negara asli.”

“Yang Mulia,” kata pengacara Koalisasi Biji Mangga danKedondong tak mau kalah, “keaslian  warga negara tidak bisaditentukan dari berkas dokumen yang tidak kita ketahuikeotentikannya.” Selanjutnya pengacara itu menambahkan,“Satu-satunya cara untuk menguji keaslian Saudara Ho .. sebagai warga negara adalah dengan melakukan serangkaian tes genetik dengan melakukan penelitian terhadap kromoson Y yang menjadi tanda dan jati diri nenek moyang serta asal usul Saudara Ho ....”

Selanjutnya, sang pengacara itu, entah ahli mana yang mengajari, berbicara panjang lebar tentang haplogrup DNA kromosom Y dan peranannya dalam pelacakan asal usul moyang manusia sejak zaman Nabi Adam. Dari penelitian itulah akan diketahui nenek moyang Honanto berasal dari mana. Keterangannya puanjang dan bikin pusing ... tapi di antara pidato panjang yang bertele-tele itu sang pengacara selalu tak lupa memberikan tekanan pada kata tertentu: “Saudara Ho”.

“Yang Mulia, warga negara asli memiliki ciri-ciri genetik ras Austronesia yang telah menghuni kawasan kepulauan sejak  zaman es mencair, lebih 10 ribu tahun lalu. Hanya dengan penelitian DNA kita bisa memastikan apakah Saudara Ho memiliki ciri-ciri itu,” katanya.

Majelis Hakim masih menimbang-nimbang dan akan mempelajariberkas-berkas yang diajukan para pengacara dan tim ahli. Sidang pun ditunda hingga minggu depan.

Pada minggu berikutnya, sidang kembali dibuka. Sebelum masuk keperkara, tiba-tiba terjadi interupsi perwakilan masyarakat yang berkeinginan memasukkan materi gugatan baru atas kasus yang sama.

“Kami berasal dari perwakilan dari Masyarakat Asli Kepulauan Nusa Yang Mulia,” kata pengacara yang mewakili kelompok tersebut. 

Ketua Majelis Hakim lalu meminta mereka menyatakan pendapatnya.“Yang Mulia, keaslian ras Austronesia yang sekaligus menjadipenanda keaslian warga negara tidak cuma bisa dirunut secara genetik dan historis, tapi juga antropologis dan sosiokultural.”

“Bisa tidak Saudara langsung ke arah masalah dan tidakbertele-tele,” Ketua Majelis Hakim memotong tidak sabar.

“Baik Yang Mulia,” pengacara itu menyahut. “Selama ribuan tahun kami masyarakat asli mempercayai penanda jagat leluhur. Kami mengenali pohon tidak sekadar pohon, sungai bukan sekadar sungai, bukit bukan sekadar bukit, gunung bukan sekadar gunung. Mereka adalah simbol kehidupan. Lihatlah Yang Mulia, pengaruh asing telah mereduksi mereka sebagai benda. Kami tidak karena kami masih mempertahankan ajaran leluhur kami, meskipun mungkin sebagian kami sudah ke masjid, ke gereja, atau beribadat menurut cara kami sendiri. Kami menginginkan salah satu syarat keaslian warga negara adalah penghargaan dan penghormatan terhadap warisan leluhur yang sudah tertanam selama ribuan tahun – baik itu berupa simbol budaya maupun spiritualitas. Jika calon tidak memiliki rasa hormat terhadap hal tersebut maka yang bersangkutan pantas diragukan keasliannya sebagai warga negara. Dan karena itu yang bersangkutan tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai pemimpin, baik yang skalanya lokal maupun nasional.”

Ketua Majelis Hakim terdiam, seperti dia tidak tahu mesti berkomentar bagaimana. Mereka kemudian saling berbisik di antara mereka. Di tengah keheningan, seseorang berteriak keras dari belakang.

“Yang Mulia, kami mewakili masyarakat Kepulauan Timur mengajukan gugatan terhadap masalah yang sama. Karena itu Yang Mulia mohon izin untuk menyuarakan pendapat kami,” kata salah seorang dari mereka.

“Yang Mulia, keaslian tentu ada kadarnya. Seperti emas  – ada22 karat, 24 karat, ada sepuhan. Dilihat dari sejarahnya, kami sudah mendiami negeri kepulauan sejak berpuluh ribu tahun lalu. Nenek moyang kamilah yang mula-mula datang dari Afrika, mereka berjalan menyusuri dataran rendah di Daratan Sunda dan naik rakit menyusuri sungai-sungai ....”

“Sekitar 50 ribu tahun lalu, mereka bergerak ke timur dan menyeberangi laut dalam, lalu mendarat ke Daratan Sahul – daratan pulau kecil dan besar yang dulu menyatu dengan Benua Australia. Nenek moyang kami tiba di Kepala Burung dan Halmahera sejak 40 ribu tahun lalu. Mereka menemukan sumber pangan baru: sagu, pisang, kenari. Mereka menyusuri pantai utara Sahul yang kini menjadi bagian pantai utara Papua. Sebagian kami menyusuri dataran tinggi pegunungan, dan menjadi salah satu suku bangsa pertama yang mendiami dataran tertinggi pada masa-masa awal sejarah manusia. Di dataran tinggi Yang Mula, nenek moyang kami menemukan banyak sekali kelapa hutan. Paling enak kalau diasap Yang Mulia ...”

“Saudara pembawa perkara, tidak usah bicara soal makanan, sudah siang ... bikin laper saja!” kata Ketua MajelisHakim memotong.

“Maaf Yang Mulia. Kami hanya ingin menegaskan bahwa secara genetik, historis dan antropologis, tidak bisa diragukan keaslian kami sebagai warga negara. Nenek moyang kamilah yang mula-mula tinggal di Daratan Sunda dan Sahul. Kami lebih asli dibanding yang lainnya. Keaslian kami 99% Yang Mulia! Kami emas 24 karat Yang Mulia!”

“Salah Yang Mulia, keaslian kamilah yang 100%!”

Semua langsung menengok seseorang yang tiba-tiba berteriak daribelakang. Seorang yang berperawakan sedang, berkulit gelap, berdagu pendek dan bibirnya sedikit tebal. 

Orang itu membawa gambar atau foto dalam map yang langsung ditunjukkan ke Majelis Hakim. Semua mata anggota Majelis Hakimterpaku ke foto itu dan secara bergantian memandang ke orang yang membawanya. Tiba-tiba sang Ketua Majelis Hakim Tersenyum. “Saudara mau membawa perkara apa?”

“Masih soal yang sama Yang Mulia, keaslian warga negara.” Setelah itu, orang tersebut langsung berbicara panjang lebarmenjelaskan gugatannya.

“Yang Mulia, saya Sangirun. Sejak simbah canggah, keluarga kami selalu mendampingi para ahli berbagai negara melakukan penggalian balung leluhur – dari Belanda, Australia, Inggris, Amerika ..... Kami pun bertukar ilmu, saling belajar. Dari mereka kami belajar memahami sejarah leluhur kami, dan dari kami mereka belajar bagaimana kami berkomunikasi dengan leluhur kami ...”

“Leluhur kami adalah Ingkang Sinuhun Sangirun Sepuh. Leluhur kami berasal dari Afrika dan kemudian menetap di kawasan yang kini disebut Sangiran, lebih dari sejuta tahun lalu. Bayangkan, sejuta tahun lalu! Keluarga kami yang sejak simbah canggah menemani para ahli menemukan tulang-tulang yang berserakan di kawasan Sangiran meyakini, lewat komunikasi langsung dengan leluhur, kamilah yang menjadi keturunan langsung dari Ingkang Sinuhun Sangirun Sepuh. Kamilah warga negara yang 100% paling asli! Kamilah emas 24 karati! Foto yang ada di tangan Yang Mulia itulah leluhur yang membuktikan keaslian kami sebagai warga negara!”

Ketika foto itu ditunjukkan ke seluruh yang hadir, seketika ruangan gempar. Ada tersenyum-senyum, ada yang tertawa, ada terbahak-bahak! “Yang Mulia, itu kan Pithecanthropus erectus!” seorang tiba-tiba berteriak.

“Bukan,itu adalah Ingkang Sinuhun Sangirun Sepuh. Para ahli mengenalnyasebagai Homo erectus, bukan Pithecanthropus erectus!” Sangirun membantah.

Seorang yang termasuk panel ahli yang dibawa salah satu penggugat berdiri. “Yang Mulia, dari sejarahnya saja ada kerancuan nama. Sebelumnya pernah disebut Pithecanthropus erectus, artinya monyet yang bisa berdiri. Yang Mulia, dari sini justru saya menyangsikan apakah yang disebut leluhur Saudara Sangirun itu monyet, setengah monyet, atau setengah manusia?!!”

Majelis Hakim tampak berdiskusi di antara mereka sebelum kemudian berbicara kepada yang hadir. “Saudara pembawa perkara dan para hadirin sekalian, karena sudah lewat makan siang, sidang kita tutup untuk dilanjutkan ke sidang minggu depan. Sidang minggu depan  akan menentukan apakah leluhur Saudara Sangirun itu bisa disebut sebagai“Manusia Asli” atau bukan!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun