Muhammad Yusuf, anak pertama 5 tahun ini hanya melongo. Ada apa gerangan. Siapa orang yang ada dalam mobil itu. Mengapa banyak orang berkerumun memakai masker. Bagi Yusuf, pasti ada selametan. Ia hanya kenal selametan dan mantenan.
Maklum tinggal di desa, jauh dari kota. Bila banyak orang berkumpul pasti ada hajatan perkawinan atau selamatan perayaan keagamaan. Baginya saat itu adalah makan enak. Ayam masak gulai dengan nasi yang masih mengepul.
Yusuf tak mengerti kalau ayah tersayangnya telah jadi pahlawan. Berjuang membantu pasien positif corona di puskesmas tempat mereka tinggal. 11 kilometer dari rumahnya.
Petugas kesehatan keluar dari mobil, dengan tandu ambulans. Memakai seragam putih, tergeletak mayat dalam kantong plastik panjang terbungkus rapi.
Para pelayat mundur beberapa langkah, refleks mereka lakukan. Dari wajah mereka tampak ketakutan.
Dari dalam rumah suara tangisan terdengar samar-samar. Atikah dan ibunya kadang ketika siuman hanya menyuarakan tangisan, tak lama kemudian pingsan. Ketika siuman lagi hanya bisa menangis.
Bagaimana tidak berdua, suami tercinta mengorbankan dirinya demi orang lain. Berkali-kali minggu lalu terjadi pertentangan dalam rumah tangga mereka.
Atikah tak setuju suaminya dr. Fariz ikut dalam tim dokter yang terjun melakukan perawatan pasien positif corona. Panggilan nurani sang dokter mengalahkan rasa ibanya pada tangisan dan rengekan Atikah istri tercinta.
Berujung duka. Berkali-kali juga nasihat Pak Budiman orang tuanya diacuhkan. Bagi Fariz, menolong orang sakit adalah tugas seorang dokter. Kalau bukan dokter yang melakukan kewajibannya siapa lagi yang akan melakukan.
Tangisan Ibunda Aminah, tak sedikit pun mengurangi niatnya. Akhirnya dengan derai air mata melepas Fariz melaksanakan tugasnya.
Penyesalan itulah yang menjadikannya pingsan berkali-kali. Sementara Pak Budiman tak bisa berbuat banyak.