Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Tukang Ngeteh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merdeka Berarti Ora Nggagas

8 Oktober 2023   07:26 Diperbarui: 8 Oktober 2023   07:30 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berkarya Butuh Konsistensi oleh Eko Wurianto/Dok. Pribadi

Pohon pule di halaman rumah saya sudah kelewat rindang. Tidak nyaman lagi dipandang. Perlu sedikit sentuhan sabit agar kembali rapi. Lha tapi kok ya ndelalah, seharian ini saya sampai uring-uringan mencari-cari sabit satu-satunya yang saya miliki.  Nggak jelas dimana juntrungnya.

Akhirnya saya insyaf. Waktu terbuang percuma untuk mencari sabit itu. Daripada begitu mending saya beli satu sabit lagi. Wong urip kok ora duwe gaman. Orang hidup kok tidak punya sabit.

Wong kalau nanti sabit yang ketlisut itu ketemu, yo nggak apa-apa kok kalau punya dua. Orang nggak akan dianggap kemaruk, atau bergaya hidup mewah hanya karena punya dua sabit to?

Nah, kalau masalah pergamanan, Ngatimin Dingklik pakarnya. Saya pun mengontak dia. Niatnya mau minta tolong dia untuk mengantar saya ke rumah seorang pande, pandai besi, langganan dia.

Pernah suatu kali dia cerita tentang si pandai besi langganannya itu.

"Orangnya telaten lho Pak Estu. Besi itu ditempa berulang kali sampai hilang "tahi" besinya. Tinggal besi murninya."

"Terus?"

"Memang pengerjaannya lama. Dan kalau sudah jadi ongkosnya juga mahal. Tapi sebanding dengan barangnya. Rega nggawa rupa."

Pujian yang menggebu-gebu dari Ngatimin berhasil memikat saya. Pancen cocok kalau jadi sales kok Ngatimin itu. Pinter mbujuki. Lihai meng-endorse dagangan orang.

Long story short, akhirnya saya boncengan motor dengan Ngatimin ke tukang pandai besi itu. Jauh ternyata rumahnya. Naik turun bukit sekitar 15 kilo dari kampung saya.

15 kilometer itu yang jalan aspal hanya sekitar 7 kiloan. Selebihnya jalan rabatan yang sudah pecah-pecah.

Tapi akhirnya yo sampai juga. Rumahnya tidak besar. Tapi halamannya luas dan teduh. Ada tiga pohon duku yang tumbuh di halaman itu. Di bawah salah satu pohon duku itu Pak pandai besi bekerja.

Di dalam gubuk tanpa dinding, dinaungi pohon duku besar, terdengar berulang kali besi ditempa. Diselingi obrolan orang-orang yang berkunjung.

Alhamdulillah. Saya tidak perlu pesan sabit. Karena sabit dengan bentuk dan kegunaan yang  saya ingini sudah ada. Rupanya setiap pasaran Pon, anak pak pandai besi ini jualan gaman buatan bapaknya di  ponan, pasar hewan. Dan sabit yang saya beli itu adalah stok untuk dijual di pasar Pon.

Setelah sedikit berbasa-basi, kami pamitan pulang. Karena telah dibantu oleh Ngatimin Dingklik, saya merasa perlu mentraktir dia makan di warung.

"Jalan kayak gini kok bikin saya lapar yo, Min?"

"Lha pripun?"

"Ayo mampir warung."

"Nah, kebetulan Pak Estu, di dekat sini ada warung lonthong yang enak. Ngersakke?"

"Yo wis, ayo."

Sekitar seratusan meter kemudian, sepeda motor dibelokkan masuk gang rabatan lagi. Rabatannya tidak usah ditanya gimana-gimana lagi. Sudah dadal duwal. Bolong-bolong dan campuran semen pasir yang tidak seimbang membuat pasirnya mabyur. Membuat jalan jadi licin.

Setelah 30 menit menahan napas, sampailah kami di depan warung kecil dari kayu. Di dalamnya hanya ada dua meja dua meteran yang digandeng. Lalu kursi panjang dari kayu tanpa sandaran diletakkan di kedua sisi panjang kedua meja itu. Celakanya dua kursi itu pun sudah penuh orang jajan lonthong.

Di sisi dalam warung seorang simbah tampak sibuk mengaduk sambal. Entah memang tidak tahu kedatangan kami atau memang cuek pembawaannya, simbah itu tidak menyapa kami babar pisan. Ia benar-benar fokus ke sambalnya itu.

Karena lebar warung saya taksir hanya 5 meteran, dan meja makannya sekitar 4 meteran, berarti hanya ada setengah meteran di sisi kanan kiri meja untuk lewat. Kami harus nuwun sewu, nuwun sewu ketika melewati orang-orang.

"Mbah, lonthong 2 nggih."

"Nggih, mangga pinarak."

Lah, mau pinarak dimana, wong tidak ada kursi sama sekali. Akhirnya kami hanya bisa jejar jejer berdiri di depan si simbah yang menyiapkan lonthong kami. Ha untung, ketika lonthong siap, ada dua orang juga yang selesai makan dan langsung meninggalkan warung.

Akhirnya bisa makan sambil duduk dempet-dempetan dengan orang-orang lain. Pikir saya, sudah nggak worth it lah perjalanan sejauh dan seberbahaya itu hanya untuk makan lonthong. Tapi ketika suapan pertama masuk ke mulut. Mak jedheerrr!!! 

Lonthong itu wujudnya. Tapi rasanya benar-benar nyamleng. Enak tenan. Lonthongnya tidak banyak. Sayurnya juga secukupnya. Lonthong dan sayur itu diguyur sambel kacang yang juga tidak pedas banget. Tidak terlalu manis juga. Pas.

Ada rasa-rasa daun jeruk purut yang bikin sambal itu tambah enak. Terus ini yang belum pernah saya tahu dari lonthong-lonthong lainnya. Setelah diguyur sambel, di atasnya masih dikepyuri serundeng pedas yang gurih.

Pingin nambah tapi kok isin, malu. Sudah datang dua orang lagi yang antri. Seperti saya tadi, ketika lonthong untuk dua orang ini siap, kok ya ada dua orang yang meninggalkan warung. Maka ketika datang lagi satu orang, kami pun hengkang.

"Kamu kok ya tahu di blusukan kayak gini ada warung lonthong enak to Min?"

"Gethok tular Pak. Ada yang memberi tahu. Saya coba. Lha terus sekarang saya tularkan ke Pak Estu."

Saya terus mikir. Pandai besi yang tadi kami kunjungi, banyak juga pelanggannya. Padahal tempatnya mblusuk. Jauh di dusun. Tidak ada bedheng papan nama. Terus mbah penjual lonthong itu tadi. Akses jalan ke warungnya juga nggak masuk. Tapi orang-orang antri makan di warungnya.

"Simbahnya itu lho kok nggak grapyak. Nggak ramah seperti layaknya seorang pedagang yo Min?"

"Lha orang kan nggak butuh eseman, nggak butuh senyuman to Pak? Orang butuhnya makan enak. Lha meski yang jualan njegadul tapi masakannya enak lak yo tetap laku Pak."

Nah itu dia, benar kata Ngatimin. Orang nggak lihat jauhnya, nggak lihat grapyak apa njegadul penjualnya. Yang penting kebutuhan mereka terpenuhi dengan memuaskan.

"Warung lonthong itu katanya sudah ada sejak simbahnya itu masih umur dua puluhan Pak."

"Waa berarti sudah puluhan tahun ya Min?"

"Nggih."

Jelas, simbah lonthong itu tinggal ngundhuh ketekunannya selama ini. Bikin racikan yang pas seperti itu pasti butuh tahunan atau mungkin puluhan tahun. Gethok tularnya juga pasti butuh waktu tahunan.

Pasti si pandai besi dan mbah penjual lonthong itu pernah juga merasa kecewa karena dagangannya tidak laku. Tidak diapresiasi. Tapi mereka ora nggagas. Tidak kepikiran. Mereka terus berkarya saja. Dan tabungan pengalaman akhirnya berbuah indah pada waktunya.

Sapa sing tekun, tekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun