Saya terus mikir. Pandai besi yang tadi kami kunjungi, banyak juga pelanggannya. Padahal tempatnya mblusuk. Jauh di dusun. Tidak ada bedheng papan nama. Terus mbah penjual lonthong itu tadi. Akses jalan ke warungnya juga nggak masuk. Tapi orang-orang antri makan di warungnya.
"Simbahnya itu lho kok nggak grapyak. Nggak ramah seperti layaknya seorang pedagang yo Min?"
"Lha orang kan nggak butuh eseman, nggak butuh senyuman to Pak? Orang butuhnya makan enak. Lha meski yang jualan njegadul tapi masakannya enak lak yo tetap laku Pak."
Nah itu dia, benar kata Ngatimin. Orang nggak lihat jauhnya, nggak lihat grapyak apa njegadul penjualnya. Yang penting kebutuhan mereka terpenuhi dengan memuaskan.
"Warung lonthong itu katanya sudah ada sejak simbahnya itu masih umur dua puluhan Pak."
"Waa berarti sudah puluhan tahun ya Min?"
"Nggih."
Jelas, simbah lonthong itu tinggal ngundhuh ketekunannya selama ini. Bikin racikan yang pas seperti itu pasti butuh tahunan atau mungkin puluhan tahun. Gethok tularnya juga pasti butuh waktu tahunan.
Pasti si pandai besi dan mbah penjual lonthong itu pernah juga merasa kecewa karena dagangannya tidak laku. Tidak diapresiasi. Tapi mereka ora nggagas. Tidak kepikiran. Mereka terus berkarya saja. Dan tabungan pengalaman akhirnya berbuah indah pada waktunya.
Sapa sing tekun, tekan.