Mohon tunggu...
Eko S Nurcahyadi
Eko S Nurcahyadi Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis, Pegiat Literasi, aktivis GP Ansor

Aktivis di Ormas, Pegiat Literasi, Pendididikan di Pesantren NU, Profesional Muda

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Romansa Saat Hilal Telah Tampak

23 Mei 2020   19:30 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:30 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
amiratthemovies.com

Pagi itu Jane sedang merapikan mukena dan sajadah selepas menjalankan sholat subuh berjamaah dengan suami tercintanya. Baru lima bulan mereka mengikat janji cinta didepan penghulu. Hatinya girang bukan kepalang seakan ia memiliki semua alasan untuk selalu bersama hingga akhir hayat kelak.

Mei suami pujaannya terlalu sempurna di mata Jane. Ganteng, pintar, mapan di usia muda, wawasannya luas dan pengalamannya banyak.

Sedangkan Jane cantik, body aduhai, putri keluarga terhormat, supel, banyak kenalan, mandiri dan sangat terampil dengan pekerjaan rumah tangga.

"Mas, mau dibuatkan teh apa kopi panas?" tawar Jane pada suaminya dengan manja.

"Teh sja aja Jane" jawab Mei singkat sambil merapikan kacamata minusnya.

Tak lama kemudian Jane keluar dengan secangkir teh hangat.

"Habis mandi kita sarapan ya, itu nasinya sudah tanak" , lanjut Jane menginginkan Mei seakan memberitahukan waktu untuk bersiap bekerja.

"Iya Jane" sahut Mei singkat.

Keduanya pun beralih ke kamar belakang bersama-sama masuk kamar mandi. Pagi itu  berrdua tampak mesra mandi dalam satu kamar menunjukkan kemesraan dengan bahasa tubuh satu sama lainnya.

"Ih mas Mei, awas kalau nakal ya", racau Jane pada Mei.

"Gak apa-apa, ayo cepat nanti kita kesiangan lho", timpal Mei dena.

Segera pasangan muda itu cepat menyelesaikan mandinya karena sadar waktu berjalan begitu cepat. Cepat-cepat mereka mengenakan pakaian seragam dinas lalu menuju meja makan untuk makan pagi berdua.

Tak butuh waktu lama selesai sarapan keduanya bersiap mengunci pintu kemudian melangkah berangkat menuju tempat kerja masing-masing.

Hidup mereka tarasa indah terhitung hari demi hari. Keduanya saling merindukan walau masih dalam dekapan. Di usia perkawinannya yang masih seumur jagung gelora cinta selalu menggumpal didalam dada. Hingga mereka terkadang banyak kehabisan cara memadukannya.

"Mas, antarkan aku yuk, ke bidan", rengek Jane manja pada kakinya.
"Ya Jane, pengin tes urine ya?" terka Mei sore itu sepulang mereka dari kantor.
"Iya, aku mulai merasakan mual-mual", terang Jane masih berseragam kantor.
"Kalau begitu ayo sekarang saja aku juga pengin segera tahu hasilnya", sahut Mei tak sabar lagi.

Bergegas mereka ganti pakaian untuk kemudian dengan motor Vespa tinggalan orang tua melaju pelan menuju bidan yang tak jauh dari tempat mereka tinggal. Ada rasa bangga di hati Mei dengan permintaan Jane kali ini. Seakan waktunya tiba untuk membuktikan kesempurnaan dirinya sebagai laki-laki pada istri tersayang.

Sembari menunggu diluar Mei berharap istrinya akan segera keluar dari ruang periksa dengan menunjukkan seutas pita kertas yang telah berwarna biru. Harapannya tak meleset, sang istri dengan senyum mengembang mengabarkan dirinya positif hamil tiga bulan.

Dengan hati girang mereka berpamitan pada bidan pemeriksa untuk kembali ke rumahnya.

"Hati-hati dijalan ya Bu, periksa rutin untuk kesehatan bayinya", demikian pesannya pada Jane.
"Iya Bu, terimakasih kami mohon diri", jawab Jane santun sambil kembali berpamitan.

Malam hari di kamar berdua Mei dan Jane kembali dilanda rasa bahagia. Keduanya berebut nama untuk janin yang dikandung Jane.

"Anak ini akan aku beri nama Ali Akbar Kamali", ucap Mei sambil mengelus perut Jane yang belum menunjukkan tanda-tanda membuncit.

"Lha kalau perempuan?", sergah Jane manja.

"Aku belum siap nama kalau perempuan", tukas Mei mantap.

"Idih curang", rengek Jane manja.

"Aku merasa rahim kamu hanya untuk anak laki-laki", ujar Mei mantap sambil berimajinasi anaknya akan menjadi orang diperhitungkan di kemudian hari.

"Ya udah lah aku ikut Mas aja", manja Jane sambil menaruh lengannya di dada Mei.

Keduanya pun tak lama kemudian saling mendekap dalam bahagia cinta.
Hari berganti hari, bulan berganti nama Mei dan Jane menjalani kebersamaan yang bahagia. Anak pertama pun telah lahir laki-laki yang melengkapi kebahagiaan mereka. Mei memberikan nama anak itu Ali Akbar Kamali sebagaimana harapannya seperti nama tokoh dunia yang jadi sosok pujaannya.

Sumber kegembiraan bertambah dengan hadirnya bayi montok nan lucu yang menggemaskan. Tembem pipinya, lembut lengannya, harum keringatnya dan bahkan hangat pipisnya semua mendatangkan rasa bahagia.

"Tang, intung, intang, intung..." timang Jane.
"Uyhu...uyhu...ikut papa.." Mei tak tahan ingin membobong juga.

Bahagia mereka dengan kehadiran buah hati namun konsentrasi banyak tersita untuknya. Jane setiap saat terjaga dari tidurnya untuk sekedar meneteki atau mengganti popok basah buah hati kesayangannya.

Demikian pula dengan Mei yang sigap sehari bisa dua tiga kali mencuci popok dan gurita jagoan kecilnya. Jika Akbar rewel malam hari Mei juga tak tinggal diam ikut meredakan tangisannya.

Lebih-lebih jika kebetulan suhu badan Akbar tinggi pasangan papa-mama muda usia itu hanya istirahat sejenak saja. Keduanya selalu siaga di pembaringan antara tidur dan terjaga demi buah cintanya.

"Ma..!, jam berapa ini?" Mei pura-pura tanya waktu pada istrinya yang mulai ia panggil mama.

"Baru jam satu malam Pa", timpal Jane dengan warna nada berbeda mengirim sinyal keengganan.

"Sudah, papa istirahat saja tak lama lagi mesti bangun lagi untuk sahur", lanjutnya mencoba memberi pengertian pada suaminya.

"Iya deh" sahut Mei tak semangat.

Ada rasa sesal di hati Jane meninggalkan rasa kecewa di hati suaminya malam itu. Tetapi ia masih memiliki dalih kuat dengan keharusan untuk selalu terjaga tiap kali terdengar rintihan buah hatinya.

Namun dia merasa pasti Mei tentu juga sulit memejamkan mata walaupun dengan alasan berbeda. Jane mampu meredam rasa sesal dengan tetap bersikap ramah pada suaminya. Ia siapkan semua keperluan makan sahur Mei.

Jane sendiri tak melakukan puasa karena khawatir tak bisa menyusui buah hatinya. Ia sendiri siap membayar fidyah dan meng-qadha di hari lain setelah berhenti memberi ASI eksklusifnya.

Bagi Jane anak harus memperoleh semua yang terbaik dari mama papanya. Perhatian terbaik, nutrisi terbaik, baby sitter terbaik dan kelak pendidikan terbaik. Mei sebenarnya sependapat dengan istrinya bahkan bisa jadi lebih ekstrim. Cara ia memberikan nama pada anaknya sudah memberikan pesan apa harapan Mei akan masa depan anaknya.

"Ma, nanti Papah buka puasa sama apa?" tanya Mei membuka percakapan pada istrinya.

"Nasi sambal teri kesukaan Papa", tukas Jane sembari memamerkan senyum termanis.

"Sayur kuahnya apa Ma?" sahud Mei ingin tahu.

"Mmm, oseng kangkung mau ya Pah?", tawar Jane ingin memastikan.

"Iya deh", putus Mei sambil memeras cucian sore.

Hari-hari Mei dan Jane dipenuhi kesibukan merawat bayi yang mulai tambah menggemaskan dengan tawa dan teriakannya. Akbar mungil menjadi penghiburan terbaik bagi mereka.

Sepulang dari  dari tadarus di musala Mei langsung menunju kamar tidur Jane dan anaknya. Malam itu mereka kembali harus sering terjaga karena kondisi badan Akbar belum sepenuhnya pulih sehingga masih sering rewel.

Terlihat kedua mata sayu Jane sudah terpejam pertanda ia sudah nyicil istirahat. Itu bagus pikir Mei karena dengan begitu Jane sudah bisa menghilangkan rasa lelah dan rasa kantuknya ketika nanti harus terbangun tengah malam.

Sambil menyentuh tangannya Mei bertanya, "Sudah isyak belum kamu Mah?", seakan mengingatkan. 

Jane mendengar ucapan lembut Mei lalu spontan menjawab "Belum Pah, nanti saja sekalian manasin sayur".

Jane sebenarnya tahu karena naluri kewanitaannya pasti telah membisikkan sesuatu. Namun rasa kantuknya terlalu berat untuk dikalahkan selain dengan basuhan air wudhu. Mata sendu Jane pun kembali terpejam dan tak lama kemudian terlelap dalam nikmat tidur yang beberapa hari sebelum banyak terkuras waktu istirahatnya.

"Oh ya udah, nanti saja bangunkan Papa untuk makan sahur", tukas Mei lirih khawatir anaknya terganggu boboknya.

Keduanya lalu tidur di satu dipan besar namun terpisahkan oleh perlak bobok si kecil. Mei akhirnya tertidur juga setelah berhasil mengalahkan dorongan ego-nya.

Fajar menyingsing memberitahukan pada keluarga muda itu untuk segera menyelesaikan pekerjaan rutin barunya. Masak, mencuci, me-nyibin anak, meng-gedong-nya untuk kemudian diserahkan pada baby sitter.

Jane dan Mei sendiri kemudian mandi dan ganti pakaian seragam untuk segera berangkat menuju kantor tempat mereka masing-masing berdinas. Pagi itu mulai tertangkap ada yang tak biasa menurut perasaan peka Jane.

Jane mulai meraba pikiran dan hati suami tercintanya. Ada apa dengan Mei yang tak biasa banyak bicara tapi sangat mudah dideteksi saat dirinya gembira, bahagia, tanpa beban, lega dan senang. Demikian pula sebaliknya warna raut muka sangat kentara jika hatinya sedang sedih, kecewa, marah dan patah semangat.

"Ada apa dengan mas Mei?" demikian lamunan Jane selama di kantornya.

"Apa dia marah padaku?", Jane masih melanjutkan rabaan hatinya.

Beberapa pekan ada warna baru yang ganjil dalam kehidupan mereka yang cukup mengganggu. Keduanya pun seakan menjalaninya dengan kewajaran. Namun ganjalan hati mereka terus menuntut penyelesaian. 

Makin lama dipendam makin tidak mudah diselesaikan. Lisan mereka masih bertegur sapa secara wajar namun terasa tidak tandas untuk sampai dataran rasa yang diinginkan.

"Ya Allah tolonglah hamba" desah Jane dalam hati.

Jane paling tidak tahan jika menyaksikan orang yang paling dicintainya menderita. Belum lagi menurut rabaannya jika penyebab deritanya adalah dirinya. Jane sulit mengartikan perasaan dirinya hingga bisanya meneteskan air mata.

Ia berjanji akan mencari momen terbaik untuk bicara dari hati ke hati dengan suaminya. Ia ingin sekali bisa berbicara dari lubuk hati yang paling dalam. Harapannya sang suami tercintanya juga bersedia mengutarakan isi hatinya yang terdalam.

Siang itu puasa terakhir bulan Ramadan. Dengan begitu malam nanti adalah takbiran. Tiba-tiba terlintas ide dengan malam lebaran itu. Ia kemudian menetapkan hati untuk menuntaskan semua kekesalan hati suaminya.

Azan magrib berkumandang seperti biasanya Jane telah menyiapkan hidangan buka puasa untuk suami tercintanya. Berdua menikmati nasi lauk gurame bakar bumbu asam manis buatan Jane.

Habis merapalkan doa bakda jamaah shalat Maghrib dengan sigap memeluk suaminya sambil sesenggukan memohon maaf.

"Maafkan aku mas Mei" pintanya pada Mei.

"Aku mencintaimu sepenuh hati Mas, aku pasrahkan segenap jiwa ragaku padamu sebagai imam hidupku" lanjutnya mempererat pelukannya.

"Aku juga mencintaimu sayang, Hilal telah tampak menjadi saksinya", pungkas Mei.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun