"Baru jam satu malam Pa", timpal Jane dengan warna nada berbeda mengirim sinyal keengganan.
"Sudah, papa istirahat saja tak lama lagi mesti bangun lagi untuk sahur", lanjutnya mencoba memberi pengertian pada suaminya.
"Iya deh" sahut Mei tak semangat.
Ada rasa sesal di hati Jane meninggalkan rasa kecewa di hati suaminya malam itu. Tetapi ia masih memiliki dalih kuat dengan keharusan untuk selalu terjaga tiap kali terdengar rintihan buah hatinya.
Namun dia merasa pasti Mei tentu juga sulit memejamkan mata walaupun dengan alasan berbeda. Jane mampu meredam rasa sesal dengan tetap bersikap ramah pada suaminya. Ia siapkan semua keperluan makan sahur Mei.
Jane sendiri tak melakukan puasa karena khawatir tak bisa menyusui buah hatinya. Ia sendiri siap membayar fidyah dan meng-qadha di hari lain setelah berhenti memberi ASI eksklusifnya.
Bagi Jane anak harus memperoleh semua yang terbaik dari mama papanya. Perhatian terbaik, nutrisi terbaik, baby sitter terbaik dan kelak pendidikan terbaik. Mei sebenarnya sependapat dengan istrinya bahkan bisa jadi lebih ekstrim. Cara ia memberikan nama pada anaknya sudah memberikan pesan apa harapan Mei akan masa depan anaknya.
"Ma, nanti Papah buka puasa sama apa?" tanya Mei membuka percakapan pada istrinya.
"Nasi sambal teri kesukaan Papa", tukas Jane sembari memamerkan senyum termanis.
"Sayur kuahnya apa Ma?" sahud Mei ingin tahu.
"Mmm, oseng kangkung mau ya Pah?", tawar Jane ingin memastikan.