Pagi itu Elba Sakti Perdana tengah bersiap menuju suatu tempat pertemuan para aktivis mahasiswa pada sebuah kampus di kota kecil Salatiga. Melihat perbekalan yang dikemasnya seakan banyak lokasi yang akan disambangi.
Satu rangsel penuh itu berisi beberapa buku referensi penting beratus-ratus halaman, kertas-kertas kerja, surat-surat resmi dan seperangkat alat tulis berupa mesin ketik portabel.
Selain itu tak pernah lupa Elba selalu menaruh selembar sarung yang ditaruh dibawah jok motor kesayangannya. Sarung itu menjadi simbol satu-satunya kesetiaan yang tersisa pada wasiat tak langsung guru ngajinya untuk selalu menjaga kesucian solat lima waktu.
Dengan motor butut Honda Astrea Prima 93 Elba memilih jalur jalan besar menuju camp tempat kawan-kwannya berkumpul merundingkan banyak hal terkait kegiatan mahasiswa.
Di tempat itu sudah ada beberapa aktivis yang sedang duduk-duduk melingkar tak beraturan sambil mengepulkan asap rokok murah tanpa merk biasa dikonsumsi masyarakat bawah.
Sayup-sayup mereka membicarakan beberapa tema sensitif bagi pemerintah, terutama aparat keamanan. Mereka tampak serius memelototi satu halaman koran daerah mengikuti berita perkembangan kasus pengadilan tokoh pro demokrasi nan vokal dosen Universitas Kristen Satya Wacana Dr. Arief Budiman.
Atas aksi unjuk rasa penolakannya pada hasil pemilihan rektor karena menurutnya cacat moral Dr. Arief Budiman harus berhadapan dengan aparat penguasa. Meja pengadilan pun menjadi arena pembantaian karakter sang dosen yang berjiwa pejuang oleh kaki tangan penguasa.
Tak lama berselang Elba sampai di lokasi berupa rumah sewa dengan tatanan ruang depan luas dipenuhi buku, majalah, buletin serta beberapa jurnal dalam dan luar negeri. Menurut papan namanya terpampang menempel di dinding teras depan rumah tertulis dengan warna menyala  "Yayasan Api Sejati" Salatiga.
 Di tempat yang sederhana itu konon biasa didatangi para dosen dan aktivis tingkat nasional. Beberapa diantaranya bahkan berpendidikan universitas ternama di luar negeri.Â
Maklum saja yayasan itu pendirinya adalah tokoh pejuang generasi awal yakni Dr. Arief Budiman yang karena kuatnya idealisme dia memilih mengajar di universitas yang berlokasi di kota dingin dan mungil Salatiga. Seakan ingin menjauh dari jangkauan recokan penguasa.
"Pagi semua kawan, Assalamualaikum!" sapa Elba pada lima orang temannya di ruang tengah.
"Hai baru tiba Rek?" jawab Agus panggilan jawanya Domingus seorang mahasiswa universitas terkenal di Salatiga.
"Kayak anak mama aja kau Ndes?" sambung Guteres mahasiswa asal Indonesia Timur yang lain.
"Sori Nda, aku semalam begadang jadi bangun kesiangan" kilah Elba pada mereka.
"Udah sarapan belum kalian?" sambung Elba pada kawan-kawan senasibnya bergaya boss.
"Belum semua El, si Bapak belum datang jadi kita terpaksa nahan lapar nih" jawab spontan dari Ari, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga yang tak pernah absen kegiatan di tempat berkumpul itu.
"Mau traktir kami apa Boss?" lanjutnya sambil nyolu dengan panggilan boss.
"Sama sih kalau belum makan, karena aku juga selalu bokek" jawab Elba.
"Dasar kere... sama aja gak bisa diharapkan" sungut Ari yang kelihatan mulai tak tahan kelaparan.
Pagi menjelang siang itu kembali mereka sibuk dengan tugas masing-masing menyusun rencana aksi dan merumuskan naskah drama katarsis yang akan dipentaskan di bundaran Tamansari pusat kota Salatiga. Rencana aksi itu akan dilakukan sebagai bentuk solidaritas korban penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat penguasa.
"Oh iya, bagaimana kabar pak George Junus?" Elba memecah keheningan menanyakan nasib Dr. George Yunus Aditjondro dosen kritis lulusan Boston University mengajar juga di Universitas Kristen Stya Wacana Salatiga.
"Rumahnya masih kosong El, semenjak ada teror orang tak dikenal dua malam lalu" jawab Ari terperinci menjelaskan.
"Kaca depan rumah pecah dan pagar halaman rumahnya rusak Rek" sambung Agus dengan aksen Timor Timur-nya yang medok.
"Makin menjadi-jadi aja rezim ini." putus Elba.
 "Oke, segera selesaikan tugas kita agar aksi solidaritas pada mereka segera di dengar masyarakat internasional. Habis ini aku keluar dulu ya mau ambil surat dari tempatku bekerja" lanjut Elba hendak sekalian pamit.
"Oke fren..." jawab mereka serentak.
"Pastikan gelar aksi dan pentas drama teater tidak mundur dari jadwal tanggal 25 Mei 1996" tegas Elba pada teman-teman seperjuangannya.
"Siap kamerad." Jawab serentak kawan dengan idiom khas aktivis muda yang sedang mencari jatidiri.
Singkat cerita aksi itu pun sukses digelar dan mendapat liputan media daerah dan nasional. Beberapa dosen asing yang mengajar di Salatiga juga mendokumentasikan aksi itu yang barangkali menjadi bahan karya jurnalistiknya yang akan dimuat di jurnal-jurnal internasional.
Banyaknya aktivitas Elba mebuat dirinya tidak terlalu perhatian pada urusan pribadinya. Pekerjaan pokoknya di satu perusahaan nasional, kuliahnya yang telat, aktivismenya di pergerakan menghabiskan waktunya dan penyaluran kecintaannya pada menulis esai dan artikel untuk dimuat di media massa.
Kalau sudah menemui kelelahan Elba biasanya berkunjung ke teman-teman lamanya kala bersama-sama nyantri di salah satu pondok pesantren salaf di wilayah Sleman Yogyakarta.Â
Nama pesantrennya Al Falahiyah berlokasi di dusun Mlangi. Dari situ ia seakan menemukan dunia baru yang untuk beberapa waktu hilang. Suasana disitu sanggup menyembuhkan luka di sekujur tubuh dan meluruhkan duka lara di dinding hatinya.
Ada kalanya Elba ingin pulang ke pangkuan ibunya di Pacelukan sana sebuah dusun nun jauh di pelosok kabupaten Temanggung yang masih polos dengan adat istiadat dan petuah tetuanya.
Kerinduan pada ayah dan ibunya mengantarkannya pada satu mimpi di tidur malamnya. Dalam mimpinya itu seakan ayahnya sangat ingin bertemu dengan Elba. Kesan dalam mimpi itu begitu dalam menghunjam hatinya hingga terlihat jernih tanpa kehadiran bayang-bayang lain.
Di hari libur mingguan itu pun Elba mudik dengan menumpang bus Maju Makmur jurusan Semarang - Purwokerto yang melewati jalur tengah Temanggung, Wonosobo kemudian Banjarnegara. Sampai di pertigaan Maron bus berhenti menurunkan beberapa penumpang satu diantaranya Elba yang langsung dijemput oleh kernet angkutan pedesaan jurusan Kandangan.Â
Elba pun tanpa banyak pertimbangan masuk colt T 120 SS bercat merah mobil angkutan jalur 2 jurusan Temanggung - Kandangan - Malebo.
Setelah melewati jembatan Jengkeling Alba berseru sambil mengulurkan uang recehan ongkos angkut pada kernet, "Pak turun perempatan Jengkeling ya".Â
Kernet minibus angkutan desa itu pun menjawab singkat "Oh ya mas".
Tak lama kemudian sopir angkutan pedesaan itu menginjak pedal rem sesampai di perempatan Jengkeling perhentian terakhir menuju kampung halaman Elba di dusun Pacelukan, desa Wadas kecamatan Kandangan wilayah kabupaten Temanggung. Sebuah dusun yang asri, suasanya damai, penduduknya taat beribadah dan masih banyak warganya yang mewajibkan anak-anaknya untuk mengaji setiap hari.
Sesampai di teras rumak Elba mengetuk pintu sambil berseru "Emak! Bapak!" Tanpa ucapan salam karena memang walaupun dusun berkultur santri tetapi lafal salam hanya diucapkan di awal sambutan pada forum-forum resmi. Kalau mengetuk pintu orang lain lafalnya memakai salam tradisional bunyinya kula nuwun. Itulah andap asor- nya masyarakat dusun santri  tidak serta merta mengarabkan semua kosa kata harian mereka.
"Eeh Elba emak kangen banget" reaksi spontan ibu Elba mendapati kepulangan anak pertamanya.
"Kok lama sekali gak pulang to le, apa tidak kangen sama emakmu ini?" begitu gerutu ibunya sebelum melepaskan pelukannya.
"Maafkan Elba Mak, lama gak pulang" sahut Elba menanggapi memelasnya ibu tercintanya.
"Mau nginep rumahmu ini to le?" pinta ibu Elba.
"Iya Mak, Elba mau nginep dua malam di Pacelukan ini" jawab Elba lirih.
"Syukurlah kalau kamu mau nginep sini" sahut ibunya.
Melepas lelah perjalanan pulang Elba rebahan di resban atau kursi panjang sambil menunggu kepulangan ayahnya. Didera rasa kantuk Elba pun tertidur diatas kursi panjang ruang tamu rumahnya. Terlelap ia tidur hingga dengkurannya kedengaran oleh ayahnya yang sudah beberapa saat pulang dari dinasnya.
Ayahnya seorang mantri kesehatan berkantor di Puskesmas kecamatan Kandangan. Lebih dari tiga puluh tahun ia mengabdi membuatnya sangat setia pada pemerintah yang telah menggajinya. Tak hanya itu pemerintah juga menurut pemahamannya yang menjadikan dirinya dihormati tetangganya sebagai orang terpandang di dusun Pacelukan.
Dengan posisi seperti itu ayah Elba kurang nyaman dengan aktivitas anak pertamanya itu. Lebih-lebih bila terlalu jauh berseberangan dengan kebijakan umum pemerintah.ada rasa gelisah yang mengharuskannya untuk menyampaikannya pada Elba.
Pada momen yang tepat di malam hari sang ayah mendekati duduk Elba. Sambil tersenyum sang ayah memulai pembicaraan.
"Elba, bapak ingin kamu segera mencari pendamping hidup', begitu pembicaraan dibuka.
"Bapak sudah tua, tentu sangat ingin segera menimang cucu". ayahnya melanjutkan.
"Elba masih ingin mengejar cita-cita Bapak". Elba menjawab lirih.
"Bapak paham Elba. Tapi cita-cita bisa dicapai bersama istrimu nantinya", desak sang ayah.
Elba lalu berpikir tentang gadis bernama Ana yang selama ini begitu baik dan perhatian pada dirinya. Membayangkan parasnya, tutur katanya, kemanjaannya dan lain-lainnya. Akhirnya Elba mencoba memenuhi keinginan ayahnya.
"Baik Pak, saya akan perkenalkan Bapak dengan gadis bernama Ana", Elba memecah keheningan malam.
"Oh begitu, kapan gadis itu akan kau ajak kemari Nak? sergah ayahnya.
"Elba coba minggu depan ya Bapak", demikian Elba berjanji pada ayahnya.
"Iya, iya.. Bapak tunggu ya" jawab ayahnya tampak girang.
Singkat cerita sang ayah setuju dengan calon mantu yang diperkenalkan oleh Elba. Ana seorang gadis berambut panjang anak seorang tokoh agama di sebuah desa arah timur dari kota Salatiga.
Pesan ayahnya pada Elba agar Elba lebih dulu sowan pada orang tua Ana untuk mengutarakan niatnya meminang putrinya. Elba menyanggupi permintaan ayah tercintanya.
Pada satu Minggu siang Elba mengajak Ana untuk bertemu orang tuanya di desa Tanjung. Salah satu desa di pelosok kecamatan Bringin jauh dari gegap gempita kota.
Seperti biasa Elba mengendarai motor bututnya diboncengi Ana menuju Tanjung. Tak butuh waktu lama dengan sepeda motor untuk sampai di lokasi tempat ayah ibu Ana tinggal.
Sesampainya di rumah Ana, Elba disambut oleh ayah Ana. Setelah bersalaman dan mengadakan pembicaraan ringan Elba memberanikan diri menyampaikan maksudnya.
"Kedatangan saya dan dik Ana punya satu maksud Bapak", begitu Elba mengawali pembicaraan penting.
"Yang pertama adalah silaturahmi kemudian kedua berhubung saya dan dik Ana sudah berteman lama dan ada kecocokan maka saya bermaksud melamarnya", lanjut Elba dengan intonasi jelas.
"Oh begitu ya Nak Elba", jawab ayah Ana.
"Saya selaku orang tua hanya menyerahkan kepada anak saya yang akan menjalaninya", ketus ayah Ana melanjutkan jawabannya.
Tampak ragu ayah Ana menjawab lamaran Elba. Sepertinya ada yang menjadi ganjalan bagi ayah Ana. Karena seorang kyai tentu ingin dapat mantu laki-laki yang pantas menjadi imam putri kesayangannya.
Sedangkan tampang Elba masih belum nyambung dengan angan-angan ayah Ana yang seorang pemuka agama di desanya. Tampilan Elba masih ala anak slengekan dengan celana belel.
Hingga sampai pada suatu kesempatan Elba sedang membuka jok sepedanya untuk mengecek bahan bakar, sang ayah yang didambakan jadi mertuanya melihat lipatan sarung bersih disamping lubang isian bahan bakar.
Ayah Ana pun sejenak terbelalak melihat sarung yang diusungnya tersembul pecis hitam khas yang biasa dikemukakan santri pondok salaf. Secepat itu pula sang bapak itu bertanya dengan bisik-bisik pada putrinya tentang sarung dan pecis hitam milik Elba.
Paham dengan penjelasan Ana, bapak itu menghampiri Elba dan menggandeng tangannya mengajak kembali masuk ruang tamu.Â
"Begini Nak Elba, bapak setuju kamu jadi istri Ana putri kesayanganku", kata singkat yang menggetarkan hati Elba.
"Terimakasih Bapak, atas diterimanya lamaran saya". Elba menanggapi dengan girang.
"Selanjutnya saya mohon pamit akan menyampaikan kabar gembira ini kepada ayah saya di Temanggung Bapak".. Elba melengkapinya sekalian pamit pulang.***
Bawen, 14 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H