"Oh begitu ya Nak Elba", jawab ayah Ana.
"Saya selaku orang tua hanya menyerahkan kepada anak saya yang akan menjalaninya", ketus ayah Ana melanjutkan jawabannya.
Tampak ragu ayah Ana menjawab lamaran Elba. Sepertinya ada yang menjadi ganjalan bagi ayah Ana. Karena seorang kyai tentu ingin dapat mantu laki-laki yang pantas menjadi imam putri kesayangannya.
Sedangkan tampang Elba masih belum nyambung dengan angan-angan ayah Ana yang seorang pemuka agama di desanya. Tampilan Elba masih ala anak slengekan dengan celana belel.
Hingga sampai pada suatu kesempatan Elba sedang membuka jok sepedanya untuk mengecek bahan bakar, sang ayah yang didambakan jadi mertuanya melihat lipatan sarung bersih disamping lubang isian bahan bakar.
Ayah Ana pun sejenak terbelalak melihat sarung yang diusungnya tersembul pecis hitam khas yang biasa dikemukakan santri pondok salaf. Secepat itu pula sang bapak itu bertanya dengan bisik-bisik pada putrinya tentang sarung dan pecis hitam milik Elba.
Paham dengan penjelasan Ana, bapak itu menghampiri Elba dan menggandeng tangannya mengajak kembali masuk ruang tamu.Â
"Begini Nak Elba, bapak setuju kamu jadi istri Ana putri kesayanganku", kata singkat yang menggetarkan hati Elba.
"Terimakasih Bapak, atas diterimanya lamaran saya". Elba menanggapi dengan girang.
"Selanjutnya saya mohon pamit akan menyampaikan kabar gembira ini kepada ayah saya di Temanggung Bapak".. Elba melengkapinya sekalian pamit pulang.***
Bawen, 14 Mei 2020