Pun kemiskinan struktural menyebabkan ketidakharmonisan, kekerasan dalam rumah tangga. Bukan Hanya Salah Mereka dan Ngatiyem yang Malang adalah dua tulian yang utuh mengulas permasalahan itu.
Lantas apakah upaya pemerintah dalam menangani kemiskinan struktural dan kekerasan dalam rumah tangga tersebut? Pada tulisan Cinta Kilat Demi Transmigrasi pembaca dirangsang tak hanya untuk melihat cinta para gelandangan, tukang becak, pekerja seks tetapi juga dirangsang untuk berfikir apakah usaha pemerintah dalam menangani kemiskinan struktural hanya sekadar memindahkan manusia dari satu wilayah padat ke wilayah kurang padat tanpa dibarengi hal-hal menunjang hidup mereka di daerah yang baru?Â
Transmigrasi dalam tulisan ini bahkan terkesan dagelan karena syarat untuk mereka dapat mengundi nasib di daerah baru harus memiliki pasangan hidup. Maka, tak ayal orang berlomba untuk mencari pasangan secara instan agar mendapat ruang dan peluang dari program pemerintah itu. Apakah keharmonisan dalam keluarga orang-orang transmigran dikemudian hari juga dipertimbangkan pemerintah? Entah.
Arus ekonomi besar yang deras mendapat jawaban dari kaum marjinal. Seperti kisah Mbok Amat, Mbok Pariyah dan mereka para pencari batu yang tidak mengenal "kebutuhan minimum" di Kali Serang, kesunguh-sungguhan kerja menjadi syarat mutlak untuk tetap bertahan. Meski harus selalu mengantisipasi dari sakit reumatik, dengan upah Rp750 sehari Mbok Amat bahkan bisa membantu keenam cucunya meski harus dicukup-cukupkan.
Pembaca akan dibuat kagum dengan daya tahan orang-orang kecil dalam sektor informal seperti usaha tukang sapu dalam Ekonomi Kerbau Bingung maupun usaha pedagang asongan Tanah Abang dalam Pencak Silat, Politik dan Kejujuran di tengah upaya pemerintah meniadakan sektor informal -- membersihkan Jakarta dari pedagang asongan. Bagi penulis usaha tersebut sama bagaikan memukul angina sebab daya tahan adalah jiwa dan nafas sektor informal. "Daya tahan itu sama dengan keinginan manusia untuk hidup. Siapakah yang bisa meniadakan keinginan macam itu?" (halaman 125).
Membaca kumpulan feature buku ini seperti melihat jurang kemiskinan yang memisahkan manusia dan keadilan. Meski begitu, buku ini memotret banyak suri tauladan orang-orang kecil yang masih setia hati, jujur dan tidak mengotori harga dirinya dengan kepicikan dalam usahanya. Melihat kejujuran mereka nampak seperti melihat orang tersandung di tempat yang rata. Bukankah nampak mustahil hidup terseok sebagai kere mendamba keadilan dan kesejahteraan di tanah surga.
Eko Nurwahyudin, alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H