Tersandung di Tempat yang Rata
Judul       : Manusia dan Keadilan Ekonomi Kerbau Bingung
Penulis      : Sindhunata
Penerbit     : Penerbit Buku Kompas
Cetakan     : Pertama, November 2006
Tebal       : xii + 160 halaman
ISBN Â Â Â Â Â Â : 979-709-273-9
Membicarakan keadilan dalam gerak cepat ekonomi besar nampak seperti membicarakan toh, tanda lahir maupun tahi lalat seseorang. Bisa jadi keadilan kerap dihiraukan begitu saja meskipun nampak jelas menitik seperti tahi lalat di sekitar pipi perawan yang berlesung dan bergisul. Atau tak jarang keadilan dirisaukan seperti toh yang hitam lebar di area wajah seorang jejaka. Namun bagi seorang jurnalis yang sinau maca mawi kaca, sinau maos mawi raos atau belajar membaca dengan cermin, belajar membaca dengan rasa, membicarakan manusia dan keadilan nampak begitu dalam -- sedalam penderitaan rakyat kecil yang kepleset, terjungkal, nggeblak, kecengklak, kejeglong, terpelanting gerak cepat ekonomi besar.
Melalui buku Ekonomi Kerbau Bingung kumpulan feature Sindhunata yang pernah dimuat Kompas, pembaca diajak untuk mengenal manusia dan persoalannya lahir batin. Duapuluh sembilan feature dalam buku ini yang dibagi dalam lima bab yang memotret manusia amat dekat. Saking dekatnya bahkan pembaca diajak untuk mengenal keadilan yang nampak seperti tahi lalat di sekitar udel seseorang. Tanpa kerja turun ke bawah meliput, lebih jauh membersamai dan menemani rakyat kecil yang tinggal di bantaran-bantaran kali, di desa-desa sunyi, penulis tak akan berhasil memunculkan kebenaranNya seperti terang dan hakNya seperti siang.
Pada tulisan Misteri Kaca Paesan yang menjadi tulisan pembuka dalam bab Hukum Berpaling dari Rakyat, Sindhunata mengurai kisah konyol yang sungguh terjadi. Mulai dari seorang anggota Polri yang main hakim sendiri dan mencari pembenaran kasus pencurian sepeda dengan alasan kaca paesan, sebuah gegaman koleksi cermin sakti Raja Kresna dalam dunia wayang yang mampu menunjukkan kejadian baik dan jahat di dunia.Â
Seorang yang dituduh mencuri harus dibuktikan sebagai pencuri kalau perlu harus dipukuli, ditempelengi, dibenturkan kepalanya ke tembok berulang kali bahkan diintimidasi dengan ditempelkannya pistol ke mata dan dimasukkan ke mulut tertuduh.Â