Kekonyolan tersebut tak hanya dikarenakan alasan tak masuk akal, namun juga konyol karena aparat penegak hukum tidak melakukan perlindungan hukum bagi tertuduh.Â
Hal ini sungguh menggelikan lantaran yang lebih paham tentang hukum justru bukanlah mereka yang menjadi aparat penegak hukum. Seperti yang dikatakan Sandimin, Ketua LKMD, "Apa pun halnya, kiranya tidak dibenarkan orang main hakim sendiri. Saya jadi bertanya-tanya, siapakah yang akan saya tiru, kalau anggota Polri saja suka main hakim begitu. Padahal belum lama ini, Sprt sendiri datang mengunjungi kami pada suatu ronda malam, dan ia bilang, janganlah kamu main gebuk bahkan jika kamu menagkap maling. Lha kok ia sendiri yang main hakim begitu?!" (halaman 7).
Kisah konyol tersebut tidak jauh berbeda dengan tulisan lainnya seperti Oknum AU Main Hakim Sendiri. Pada tulisan tersebut keberingasan seorang oknum ABRI kepada seorang perempuan sepuh yang melawan keadigangannya -- melanggar adat desa dengan mendirikan rumah ngepas dengan batas rumah tetanga dan kerap membuang sampahnya ke pelataran tetangganya.Â
Tulisan ini ditutup dengan derita patah tulang yang dialami Mbok Harjo atas penganiayaan oknum tersebut. Penulis tidak menjelaskan tuntas hasil proses hukum dari kasus penganiayaan yang menimpa Mbok Harjo seolah penulis hendak mengajak pembaca merenung, apakah kasus-kasus main hakim sendiri ini tuntas, tak terulang lagi?!
Adapun kisah-kisah lain pada bab pertama tak jauh dari kisah wajah garang kekuasaan, kriminalisasi dengan kepentingan politik, pemerasan tahanan oleh aparat kepolisan, jaksa, penyiksaan pekerja rumah tangga oleh majikannya dan pembangunan Borobudur yang meruntuhkan kemanusiaan dan kesakralan tradisi luhur.
Masalah pembagunan semakin jelas diulas dalam bab dua, Kemiskinan di Tengah Pembangunan. Rasa Risi-risau Hilang Sama Sekali menampilkan kemalangan hidup kaum miskin urban dan kemalangan alam.Â
Kemalangan yang lambat laun diterima mereka yang terpinggir di RT 08/RW 015 Kampung Jati Bunder sekitar Kali Malang. Kurangnya insrastruktur yang menunjang kesehatan seperti WC menjadi sorotan yang menggetirkan. Sekitar 2000 jiwa menahi dan mandi di kali sebab WC umum begitu jauh, tak dapat menampung, dan merogoh kocek kantong kuli yang kempes.Â
Walhasil tak hanya pencemaran kali dan kesehatan lahiriyah, yang disorot penulis tentang paradoks kota-kota yang terbangun megah.Pembaca justru diajak penulis untuk mengamati kesehatan batiniah manusia yang tak berbanding lurus dengan megahnya pembangunan di kota. Sesuai kata Sriyatun, "rasa malu itu dulu merupakan sesuatu yang harus dihormati dan dipertahankan. Barangkali rasa malu itu menyangkut harga diri seseorang.Â
Sekarang rasa malu itu tanggal. Akibatnya bukan hanya dari segi fisik mereka kehilangan rasa malu, kesadaran harga diri pun pelan-pelan hilang. Orang-orang seperti Sriyatun tidak peduli lagi terhadap ulah atau kata-kata laki-laki yang memanfaatkan dirinya ketika mereka mandi. Sementara kaum laki-laki ini juga menanggap semuanya itu sebagai barang lazim dan biasa" (halaman 50).
Pembangunan di kota besar seperti Yogyakarta, tak elak juga menimbulkan masalah sosial seperti gelandangan. Gelandangan dalam bab tiga Gelandangan Di Yogya dituliskan dengan begitu apik.Â
Pembaca akan tersadarkan bahwa masalah gelandangan terjadi bukan hanya persoalan kemiskinan struktural, namun juga permasalahan ketidakharmonisan dan faktor lain di dalam keluarga.Â