Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tersandung di Tempat yang Rata (Resensi Buku Ekonomi Kerbau Bingung)

23 November 2021   08:36 Diperbarui: 23 November 2021   12:33 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bikinan pribadi

Foto buku koleksi Grahatama Pustaka diambil dari kamera sendiri. Foto hasil pribadi
Foto buku koleksi Grahatama Pustaka diambil dari kamera sendiri. Foto hasil pribadi

Tersandung di Tempat yang Rata

Judul             : Manusia dan Keadilan Ekonomi Kerbau Bingung

Penulis          : Sindhunata

Penerbit        : Penerbit Buku Kompas

Cetakan        : Pertama, November 2006

Tebal             : xii + 160 halaman

ISBN            : 979-709-273-9

Membicarakan keadilan dalam gerak cepat ekonomi besar nampak seperti membicarakan toh, tanda lahir maupun tahi lalat seseorang. Bisa jadi keadilan kerap dihiraukan begitu saja meskipun nampak jelas menitik seperti tahi lalat di sekitar pipi perawan yang berlesung dan bergisul. Atau tak jarang keadilan dirisaukan seperti toh yang hitam lebar di area wajah seorang jejaka. Namun bagi seorang jurnalis yang sinau maca mawi kaca, sinau maos mawi raos atau belajar membaca dengan cermin, belajar membaca dengan rasa, membicarakan manusia dan keadilan nampak begitu dalam -- sedalam penderitaan rakyat kecil yang kepleset, terjungkal, nggeblak, kecengklak, kejeglong, terpelanting gerak cepat ekonomi besar.

Melalui buku Ekonomi Kerbau Bingung kumpulan feature Sindhunata yang pernah dimuat Kompas, pembaca diajak untuk mengenal manusia dan persoalannya lahir batin. Duapuluh sembilan feature dalam buku ini yang dibagi dalam lima bab yang memotret manusia amat dekat. Saking dekatnya bahkan pembaca diajak untuk mengenal keadilan yang nampak seperti tahi lalat di sekitar udel seseorang. Tanpa kerja turun ke bawah meliput, lebih jauh membersamai dan menemani rakyat kecil yang tinggal di bantaran-bantaran kali, di desa-desa sunyi, penulis tak akan berhasil memunculkan kebenaranNya seperti terang dan hakNya seperti siang.

Pada tulisan Misteri Kaca Paesan yang menjadi tulisan pembuka dalam bab Hukum Berpaling dari Rakyat, Sindhunata mengurai kisah konyol yang sungguh terjadi. Mulai dari seorang anggota Polri yang main hakim sendiri dan mencari pembenaran kasus pencurian sepeda dengan alasan kaca paesan, sebuah gegaman koleksi cermin sakti Raja Kresna dalam dunia wayang yang mampu menunjukkan kejadian baik dan jahat di dunia. 

Seorang yang dituduh mencuri harus dibuktikan sebagai pencuri kalau perlu harus dipukuli, ditempelengi, dibenturkan kepalanya ke tembok berulang kali bahkan diintimidasi dengan ditempelkannya pistol ke mata dan dimasukkan ke mulut tertuduh. 

Kekonyolan tersebut tak hanya dikarenakan alasan tak masuk akal, namun juga konyol karena aparat penegak hukum tidak melakukan perlindungan hukum bagi tertuduh. 

Hal ini sungguh menggelikan lantaran yang lebih paham tentang hukum justru bukanlah mereka yang menjadi aparat penegak hukum. Seperti yang dikatakan Sandimin, Ketua LKMD, "Apa pun halnya, kiranya tidak dibenarkan orang main hakim sendiri. Saya jadi bertanya-tanya, siapakah yang akan saya tiru, kalau anggota Polri saja suka main hakim begitu. Padahal belum lama ini, Sprt sendiri datang mengunjungi kami pada suatu ronda malam, dan ia bilang, janganlah kamu main gebuk bahkan jika kamu menagkap maling. Lha kok ia sendiri yang main hakim begitu?!" (halaman 7).

Kisah konyol tersebut tidak jauh berbeda dengan tulisan lainnya seperti Oknum AU Main Hakim Sendiri. Pada tulisan tersebut keberingasan seorang oknum ABRI kepada seorang perempuan sepuh yang melawan keadigangannya -- melanggar adat desa dengan mendirikan rumah ngepas dengan batas rumah tetanga dan kerap membuang sampahnya ke pelataran tetangganya. 

Tulisan ini ditutup dengan derita patah tulang yang dialami Mbok Harjo atas penganiayaan oknum tersebut. Penulis tidak menjelaskan tuntas hasil proses hukum dari kasus penganiayaan yang menimpa Mbok Harjo seolah penulis hendak mengajak pembaca merenung, apakah kasus-kasus main hakim sendiri ini tuntas, tak terulang lagi?!

Adapun kisah-kisah lain pada bab pertama tak jauh dari kisah wajah garang kekuasaan, kriminalisasi dengan kepentingan politik, pemerasan tahanan oleh aparat kepolisan, jaksa, penyiksaan pekerja rumah tangga oleh majikannya dan pembangunan Borobudur yang meruntuhkan kemanusiaan dan kesakralan tradisi luhur.

Masalah pembagunan semakin jelas diulas dalam bab dua, Kemiskinan di Tengah Pembangunan. Rasa Risi-risau Hilang Sama Sekali menampilkan kemalangan hidup kaum miskin urban dan kemalangan alam. 

Kemalangan yang lambat laun diterima mereka yang terpinggir di RT 08/RW 015 Kampung Jati Bunder sekitar Kali Malang. Kurangnya insrastruktur yang menunjang kesehatan seperti WC menjadi sorotan yang menggetirkan. Sekitar 2000 jiwa menahi dan mandi di kali sebab WC umum begitu jauh, tak dapat menampung, dan merogoh kocek kantong kuli yang kempes. 

Walhasil tak hanya pencemaran kali dan kesehatan lahiriyah, yang disorot penulis tentang paradoks kota-kota yang terbangun megah.Pembaca justru diajak penulis untuk mengamati kesehatan batiniah manusia yang tak berbanding lurus dengan megahnya pembangunan di kota. Sesuai kata Sriyatun, "rasa malu itu dulu merupakan sesuatu yang harus dihormati dan dipertahankan. Barangkali rasa malu itu menyangkut harga diri seseorang. 

Sekarang rasa malu itu tanggal. Akibatnya bukan hanya dari segi fisik mereka kehilangan rasa malu, kesadaran harga diri pun pelan-pelan hilang. Orang-orang seperti Sriyatun tidak peduli lagi terhadap ulah atau kata-kata laki-laki yang memanfaatkan dirinya ketika mereka mandi. Sementara kaum laki-laki ini juga menanggap semuanya itu sebagai barang lazim dan biasa" (halaman 50).

Pembangunan di kota besar seperti Yogyakarta, tak elak juga menimbulkan masalah sosial seperti gelandangan. Gelandangan dalam bab tiga Gelandangan Di Yogya dituliskan dengan begitu apik. 

Pembaca akan tersadarkan bahwa masalah gelandangan terjadi bukan hanya persoalan kemiskinan struktural, namun juga permasalahan ketidakharmonisan dan faktor lain di dalam keluarga. 

Pun kemiskinan struktural menyebabkan ketidakharmonisan, kekerasan dalam rumah tangga. Bukan Hanya Salah Mereka dan Ngatiyem yang Malang adalah dua tulian yang utuh mengulas permasalahan itu.

Lantas apakah upaya pemerintah dalam menangani kemiskinan struktural dan kekerasan dalam rumah tangga tersebut? Pada tulisan Cinta Kilat Demi Transmigrasi pembaca dirangsang tak hanya untuk melihat cinta para gelandangan, tukang becak, pekerja seks tetapi juga dirangsang untuk berfikir apakah usaha pemerintah dalam menangani kemiskinan struktural hanya sekadar memindahkan manusia dari satu wilayah padat ke wilayah kurang padat tanpa dibarengi hal-hal menunjang hidup mereka di daerah yang baru? 

Transmigrasi dalam tulisan ini bahkan terkesan dagelan karena syarat untuk mereka dapat mengundi nasib di daerah baru harus memiliki pasangan hidup. Maka, tak ayal orang berlomba untuk mencari pasangan secara instan agar mendapat ruang dan peluang dari program pemerintah itu. Apakah keharmonisan dalam keluarga orang-orang transmigran dikemudian hari juga dipertimbangkan pemerintah? Entah.

Arus ekonomi besar yang deras mendapat jawaban dari kaum marjinal. Seperti kisah Mbok Amat, Mbok Pariyah dan mereka para pencari batu yang tidak mengenal "kebutuhan minimum" di Kali Serang, kesunguh-sungguhan kerja menjadi syarat mutlak untuk tetap bertahan. Meski harus selalu mengantisipasi dari sakit reumatik, dengan upah Rp750 sehari Mbok Amat bahkan bisa membantu keenam cucunya meski harus dicukup-cukupkan.

Pembaca akan dibuat kagum dengan daya tahan orang-orang kecil dalam sektor informal seperti usaha tukang sapu dalam Ekonomi Kerbau Bingung maupun usaha pedagang asongan Tanah Abang dalam Pencak Silat, Politik dan Kejujuran di tengah upaya pemerintah meniadakan sektor informal -- membersihkan Jakarta dari pedagang asongan. Bagi penulis usaha tersebut sama bagaikan memukul angina sebab daya tahan adalah jiwa dan nafas sektor informal. "Daya tahan itu sama dengan keinginan manusia untuk hidup. Siapakah yang bisa meniadakan keinginan macam itu?" (halaman 125).

Membaca kumpulan feature buku ini seperti melihat jurang kemiskinan yang memisahkan manusia dan keadilan. Meski begitu, buku ini memotret banyak suri tauladan orang-orang kecil yang masih setia hati, jujur dan tidak mengotori harga dirinya dengan kepicikan dalam usahanya. Melihat kejujuran mereka nampak seperti melihat orang tersandung di tempat yang rata. Bukankah nampak mustahil hidup terseok sebagai kere mendamba keadilan dan kesejahteraan di tanah surga.

Eko Nurwahyudin, alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun