Lebaran yang Dirindukan
Seperti malam lebaran tahun-tahun sebelumnya bapak selalu mengumandangkan gema takbir dengan syahdu. Suara lirihnya sayup-sayup terdengar sampai ditelingaku. Beliau sangat khusyuk mengagungkan nama Allah. Biasanya bapak akan bertahan sampai tengah malam. Setelah itu, ia bersiap istirahat. Esok saat dini hari ia sudah terbangun lalu mengambil wudu. Setelah salat malam beliau melanjutkan lantunan takbir sampai subuh.
Setelan baju koko putih dengan sarung motif batik adalah ciri khas bapak saat lebaran. Sarung itu sudah dipakai berkali-kali saat lebaran. Mungkin sudah lima kali lebaran ini. Â Sebuah peci kesayangan sudah rapi tersemat di kepala bapak.
Aku tahu bapak mempunyai banyak sarung, peci, atau pun baju koko. Setiap ulang tahun atau lebaran selalu mendapat kiriman sarung dari anak dan cucunya. Tetapi hanya itu yang selalu ia pakai saat lebaran. Baju koko putih yang warannya telah memudar itu, selalu setia menemani di setiap momen lebaran.
Ibuku yang sabar dan setia, turut bangun dini hari menemani bapak dari dapur. Beliau memasak air, memanasi sayur, opor ayam, dan ketupat yang telah dimasak semalam. Tak lupa ibu membuat secangkir teh manis atau susu jahe untuk bapak. Ketekunan dan ketelatenan ibu taka da yang menandingi.
Setiap lebaran menu wajib yang harus hadir di rumah adalah ketupat dan sambel goreng kentang. Itu menjadi ciri khas lebaran di rumah kami. Meskipun begitu, ibu selalu menyiapkan banyak menu saat lebaran. Ada soto ayam, bakso, atau pecel sayur dan lain-lain. Semua sudah ibu siapkan sesuai dengan selera anak, cucu, dan menantunya. Ibu paling rajin menyiapkan masakan di pagi hari sebelum salat idulfitri. Bahkan sebelum subuh pun semua sudah siap di meja makan.
Ibu memang wanita hebat dan luar biasa. Segalanya dikerjakan dengan sepenuh hati. Setelah semua beres, lalu beliau bersiap salat subuh dan mengikuti salat idulfitri. Baju yang dikenakan ibu sesuai dengan kiriman dari anak-anaknya. Ibu menyukai hal yang baru sehingga hampir semua pemberian anak atau menantunya selalu dipakai. Seperti ibu-ibu lainnya ia sangat senang mendapat kiriman dari anak dan cucunya.
Suasana masih gelap, gemericik suara air dari kolam menambah syahdu, angin dingin berhembus pelan aku melihat Bapak terpaku sembari memandangi ikan-ikan di kolam. Aku tahu, beliau pasti merindukan mereka dalam lamunannya.
      "Nanda, ini pancingnya. Ayo! Kita mulai mancing!" ajak Kiko
      "Shiiaap. Mana umpannya?" jawab Nanda tampak bersemangat.
      "Ini Dek. Ambil aja di sini!" Ahmad menunjukkan kepada Nanda
" Horeee... aku dapat ikan. Lihat ikannya besar sekali!" seru Dika sambil mengangkat pancingnya yang sudah dapat ikan.
"Kakung, Kakung, Mas Dika dapat ikan besar. " Nanda memanggil kakung.
"Iya Kung, ikannya besar banget. Tolong bantu aku Kung?" ucap Dika kemudia
      Keseruan cucu-cucunya saat memancing di kolam saat itu pasti membuat Bapak terasa makin pilu. Kebersamaan di rumah saat lebaran benar-benar mengukir kenangan di hati bapak. Tepat setahun yang lalu saat lebaran semua berkumpul di rumah. Anak-anak bapak beserta keluarganya mudik semua.
      Mas Wahyu yang sekarang tinggal di Jakarta. Ia selalu mudik dengan istri dan dua anaknya. Ia sekarang menjadi menajer di sebuah perusahaan swasta. Istri Mas Wahyu bekerja sebagai pegawai negeri sipil atau dikenal masyarakat dengan sebutan PNS. Anaknya Dika dan Nanda  masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka adalah cucu kesayangan Bapak. Tentu kepulangan Mas Wahyu menjadi kebanggaan bapak. Bapak suka menceritakan kesuksesan mas Wahyu di perantauan kepada tetangga atau kepada setiap orang yang ditemuinya di warung. Cucu-cucunya pun turut ia ceritakan pada semua orang.
      Mbak Linda sekeluarga tinggal di Depok. Suaminya bekerja sebagai direktur sebuah yayasan Pendidikan ternama di kota Depok. Anaknya tiga orang. Semua sudah dewasa bahkan yang sulung sudah bekerja. Mbak Linda sendiri sukses dengan bisnis kuliner. Mereka sekeluarga juga selalu mudik saat lebaran. Kehadirannya tentu membahagiakan bapak. Mobil fortuner yang dibawa mbak Linda saat mudik membuat bapak merasa telah sukses mendidik anaknya.
 Bapak selalu membanggakan mbak Linda di depanku. Sebenarnya aku tak suka sikap bapak yang satu ini. Aku tak mau disamakan dengan mbak Linda. Meski aku masih SMA tapi aku sadar betul bahwa bapak ingin aku sukses seperti mbak Linda. Mbak Linda memang sangat rajin memasak sedari kecil pantas jika sekarang usaha kulinernya berkembang pesat.
      Satu lagi putra bapak yang tinggal di Solo yaitu mas Ade. Setelah menikah ia membeli rumah di Solo. Pekerjaannya sebagai desain grafis sangat cocok tinggal di kota. Lingkup bisnis berkembang pesat di kota. Istrinya seorang guru sekolah dasar. Mas Ade juga selalu bisa mudik saat lebaran. Anaknya masih di bawah lima tahun. Masa anak sedang lucu-lucunya. Anaknya  juga menjadi pelipur lara hati bapak.
Aku turut hanyut dalam lamunan. Segera kusapa bapak agar tak berkepanjangan angannya.
      "Pak, sedang apa? Ayo segera kita ke masjid. Tampaknya salat idulfitri segera dimulai."
      "Oh iya, gak apa-apa. Bapak hanya teringat cucu-cucu saat bermain di kolam ini."
      Bapak bergegas mengambil air wudu seolah ingin menutupi kesedihannya. Usianya yang hampir kepala enam membuat bapak kelihatan makin tua. Aku lalu memanggil ibu untuk sama-sama pergi ke masjid dekat rumah kami.
      Salat idulfitri kali ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Protokol kesehatan diterapkan secara ketat demi menjaga penularan virus korona. Sejak ditetapkannya kejadian luar biasa di Indonesia tentang pandemi korona, pemerintah memberikan kebijakan-kebijakan khusus dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Termasuk tata cara salat idulfitri di masjid.
      Usai salat kami langsung pulang. Masih seperti lebaran tahun lalu kami langsung menuju meja makan. Kulihat bapak sudah duduk termangu di depan sajian istimewa khas lebaran. Aku tahu hari-hari bapak menjelang lebaran terlewati dengan rasa gelisah.
Beberapa waktu yang lalu, saat masih puasa bapak masih ceria. Ia masih bertelepon dan kadang melakukan panggilan melaui video dengan cucu-cucunya.
      "Haloo, apa kabar Mas Nanda?"
      "Baik Kung. Kakung sehat?"
      "Iya sehat. Puasanya gimana mas? Udah ada yang bolong belum?"
      "Belum Kung."
      "Gimana Mas, nanti lebaran mudik gak?"
      "Mudik dong Kung. Kakung nanti beliin jam beker ya, kalau aku puasa penuh."
      "Iya, nanti Kakung beliin. Pintar dan sholeh ya puasanya!"
Itulah sekelumit percakapan Bapak dengan  cucunya melalui panggilan video. Semenjak pensiun, selain pergi ke ladang dan sesekali memberi makan ikan di kolam, Bapak menelepon cucu-cucunya yang ada di rantau. Baginya itu sudah merupakan anugrah terindah. Aku tahu dari wajahnya tersirat kebahagiaan bapak sehabis menelepon cucunya.
"Mengapa Bapak hanya termangu menatap hidangan ini?" tanyaku perlahan kepada Bapak.
"Aku teringat cucu-cucuku." jawab bapak dengan sedih.
"Sudahlah, mereka pasti juga makan enak. Kita doakan semua sehat. Ayo! Kita lekas makan" Kata ibu mengalihkan pembicaraan sambil menyiapkan sepiring menu opor untuk bapak.
      Masih kuingat beberapa minggu sebelum lebaran. Bapak tampak gembira mendengar kabar bahwa anak dan cucunya akan mudik. Bapak pun menyiapkan segalanya. Ayam dan menthok yang dipelihara secara rutin diberi makan. Agar saat anak-anak dan cucu-cucunya berkumpul di rumah jika ingin lauk tinggal menyembelih. Ikan-ikan di kolam yang terdiri dari beberapa jenis sudah dipersiapkan saat lebaran nanti sudah besar dan nanti berkumpul bisa diambil untuk dibakar atau digoreng.
      Sementara itu, hasil panen sayur mayur di kebun atau di ladang juga bapak siapkan untuk anak-anaknya. Kami tinggal di daerah puncak, tepatnya di Kemuning. Daerah  di lereng Gunung Lawu dekat perkebunan teh. Berbagai sayur-mayur tumbuh subur di sini. Wortel, kol, sawi, labu, timun, seledri, bawang merah, bawang putih dan lain-lain semua ditanam di ladang. Bapak telah menyiapkan semuanya agar saat lebaran semua bisa dipetik. Bahkan bapak sudah memberi jatah masing-masing anak dengan berbagai hasil kebun yang siap dipanen. Berhari-hari mendekati lebaran bapak tampak bersemangat dan riang gembira.
      Ketika pandemi korona mulai menyebar ke berbagai daerah pemerintah memberikan kebijakan untuk larangan mudik. Hal itu tentu saja membuat bapak kecewa, gundah gulana dan sempat shock. Anak-anaknya tak ada yang dapat mudik satu pun.
Kakakku yang paling sulung tinggal di Jakarta, pasti wilayahnya terkena dampak yang luar biasa sehingga otomatis tidak bisa mudik. Mbak Linda kakakku yang nomor dua tinggal di Depok. Sudah tentu juga tidak akan bisa mudik. Padahal anak-anak mas Wahyu lah yang selalu dirindukan Bapak. Mas Ade meskipun lebih dekat tinggal di Solo juga tidak bisa mudik karena pasti harus melewati masa karantina. Sementara anak-anaknya masih kecil sehingga sangat riskan jika mudik.
Tinggallah aku sendiri di rumah yang menemani bapak dan ibu. Aku juga terkena dampak yaitu belajar dari rumah. Tugas-tugas dari sekolah yang menghiasai hari-hariku membuatku tidak bisa rutin menemani bapak untuk sekadar ngobrol atau bercerita. Baru mendekati lebaran ini aku lebih memperhatikan bapak. Kulihat bapak sering melamun.
      Kurasakan rindu yang menderanya begitu lekat di wajah. Sejak tahu anak-anak maupun cucu-cucunya tidak ada yang bisa mudik bapak tampak murung. Hari-harinya tidak bersemangat seperti semula. Meski sesekali bisa menelepon cucu atau anaknya tetapi senyumnya hanya sementara. Sampai suatu ketika ibu menemukan ide cemerlang.
"Pak, kita kirimkan saja melalui paket kepada anak cucu kita," ide cemerlang itu tercetus dari ibuku yang tak tega melihat bapak sering melamun.
"Benar Bu, kita belikan juga baju baru untuk cucu-cucku. Nanti kita paketkan bersama-sama," seru bapak tampak bahagia dengan ide itu.
Saat itu bapak dan ibu mulai sibuk memanen hasil kebun. Dibantu beberapa tetangga akhirnya bapak dan ibu dapat membawa pulang beberapa karung hasil kebun. Berharap hal itu dapat menjadi pengobat rasa rindu akan kampung halaman tercinta.
"Bu, ini singkong, jagung, terong, timun, cabai, lengkuas, daun salam, tomat, daun singkong, daun papaya sudah aku petikkan untuk dikirim kepada anak-anak," kata bapak sepulang dari kebun di belakang rumah.
Bapak mempunyai pekarangan yang sangat luas. Kebun dan ladangnya berhektare-hektare. Ia termasuk seorang yang disegani di kampung kami. Aku pun harus menjaga sikap dan tutur kata saat bergaul dengan masyarakat demi menjaga martabat bapak.
Melihat bapak dengan bawaannya, aku dan ibu yang sedang menyiapkan beberapa kardus langsung bergegas menyambut bapak. Pancaran wajah bapak yang sumringah menandakan bahwa cinta kasihnya pada anak cucu sangat tulus. Hanya dengan ini ia berharap bisa menepis kerinduan yang selama ini beliau rasakan.
Kami lalu mengepak semua ke dalam kardus. Tak lupa bapak juga membelikan baju lebaran untuk cucu-cucunya. Semua dimasukkan ke dalam kardus. Setelah semua usai kami pun mengirimkan melalui paket kilat.
"Udah bapak lega sekarang. Meskipun mereka semua tidak bisa mudik tapi tetap bisa menikmati hasil panen kebun kita. Bukan begitu to Bu?"
"Iya Pak. Alhamdulillah kalau bapak sudah lega," ibu tampak senang melihat bapak semangat lagi.
Aku yakin sebenarnya tanpa bapak dan ibu kirimi paket itu mereka pun sudah lebih dari cukup kalau soal makanan. Begitulah orang tua, kasihnya sepanjang masa. Meski sudah tua tetap saja memikirkan anak-anaknya.
Usai dari kantor pos bapak tampak puas. Ia pun kembali menghubungi anak dan cucu-cucunya melalui telepon. Bapak mengabarkan bahwa ia telah mengirimkan paket. Cucu-cucunya sangat bahagia mendengar dapat kiriman baju baru dari Kakung. Mungkin inilah yang dirindukan bapak dari mereka. Tawa renyah yang polos serta wajah sumringah cucunya saat menerima paket nanti.
"Hani, ayo dimakan ketupatnya. Kok malah bengong," suara ibu mengangetkanku. Aku yang sedari tadi malah melamun. Anganku melayang tatkala melihat bapak yang kian sedih. Aku pun segera menyantap dengan cepat. Bapak dan ibu sudah bersiap di ruang tamu. Itu tandanya acara sungkeman alias maaf-memaafkan akan segera dimulai.
Biasanya ruang tamu riuh gaduh suara cucu-cucunya bermain kejar-kejaran. Kakak-kakakku sibuk menata kue-kue lebaran di meja. Beberapa minuman disiapkan jika ada tamu atau saudara yang datang. Beberapa camilan khas Depok, Jakarta, dan solo juga ada di meja tersendiri. Biasanya akan ludes diserbu duluan.
Acara sungkeman akan dimulai dari mas Wahyu, Mbak Linda, mas Ade baru kemudian aku. Proses yang hikmat terjadi saat kami saling memaafkan. Adakalanya pipi kami basah oleh air mata. Bahagia, haru, sedih, dan terasa sekali makna maaf-memaafkan ini bagi kami. Terutama saat sungkem kepada ibu. Semua pasti menitikkan air mata.
Ketika sampai pada giliran cucu-cucunya barulah senyum akan kembali mereka. Bahasa yang digunakan anak-anak kepada kakung dan uti sangat polos. Hal itu membuat kami gemes dan sampai tertawa. Usai itu kami saling bersalam-salaman lalu berfoto bersama. Momen saat foto bersama inilah yang sangat mengesankan. Berbagai pose kami abadikan. Penuh canda tawa dan kebahagiaan. Bapak dan ibu tentu sangat bahagia melihat anak cucunya berkumpul bersama dalam tawa.
Kali ini, lebaran tahun ini, hanya aku yang melakukan sungkeman secara langsung kepada bapak dan ibu. Selesai makan aku bergegas menuju ruang tamu. Kuhampiri bapak dan ibu yang sudah usai bermaaf-maafan. Ibu yang paling pertama memohon maaf kepada bapak. Entah apa yang disampaikan ibu kepada bapak, kulihat air mata bapak mengalir membasahi pipi. Lalu mereka berdua saling berpelukan tanda memaafkan.
"Buk, kulo ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sedoyo lepat kulo. Lan nyuwun donga pangestunipun Ibuk geh. (Ibu, saya mengucapkan selamat idulfitri, mohon maaf semua kesalahan saya. Dan mohon doa restu Ibu ya."
Aku pun mencium tangan ibu, memeluknya sembari sembab mataku tak kuasa menahan tangis. Aku teringat kesalahan-kesalahanku sama ibu. Usai dengan ibu aku pun melakukan sungkem pada bapak. Ucapan yang sama kutujukan kepada bapak. Beliau kali ini tidak banyak berkata. Mungkin dalam diamnya ada sejuta doa yang terpanjatkan. Usai itu lalu kami saling pandang.
Ada kelu di dada. Ada rasa perih menyayat. Rindu mencekam seolah menghunus ulu hati ini. Kami rindu lebaran-lebaran yang telah lalu. Kami rindu keriuhan saat usai sungkeman.
"Ya, sepi sekali Nduk. Bapak rindu anak cucu. Rindu kenangan lebaran tahun lalu."
Akhirnya kata-kata itu terucap dari bapak. Laki-laki yang paling kukagumi kebijaksanaan dan ketegasannya berucap tentang rindu. Tak pernah sekali pun bapak mengeluh atau mengungkapkan perasaannya. Mungkin rasa rindu yang ditahannya sudah membuncah.
Kulihat ibu pun gundah gulana. Mungkin ia juga sama rindunya dengan suasana lebaran bersama anak dan cucu-cucunya. Semua kakak-kakakku mengirimkan berbagai paket lebaran untuk bapak dan ibu. Semua barang hanya dibuka dan disimpan begitu saja oleh ibu.
Saat ini mungkin ada hikmah yang ingin disampaikan Allah melalui korona. Berbagai hal yang sudah mengakar sebagai tradisi akhirnya tumbang. Ritual halalbihalal sirna. Acara reuni atau pun silaturahmi keluarga ditiadakan. Berbagai tempat wisata atau mall juga ditutup sementara. Semua aktivitas dilakukan dari rumah.
Aku pun memaklumi bapak dan ibu yang merindukan momen lebaran tahun lalu.
"Bapak, ibu, aku sudah siapkan pertemuan dengan seluruh keluarga. Ayo bersiap!"
"Pertemuan bagaimana to Nduk, kakak-kakakmu kan semua tidak mudik."
"Ayo sini Pak. Ini Mas Wahyu dan anak-anaknya sudah hadir."
Bapak pun mendekat ke arahku yang sedang mengoperasikan laptop. Aku sengaja memberi kejutan kepada bapak dan ibu agar bisa sumringah lagi. Kami melakukan pertemuan secara virtual. Aku sudah menginstal aplikasi zoom meting. Semua kakakku dan keluarganya telah kuhubungi agar bisa berkumpul bersama meski secara daring.
      "Selamat idulfitri Kung, mohon maaf lahir dan batin ya Kung."
      "Kakung, paketnya sudah datang. Terima kasih ya Kung."
"Kung, met lebaran ya, maafin dedek ya Kung."
      Satu per satu cucunya memberikan ucapan setelah kakak-kakakku semua selesai. Kulihat wajah bapak yang semula sendu sudah berubah ceria. Ia pun menjawab pertanyaan dan pernyataan dari cucu-cucunya dengan gembira. Kami pun saling bermaafan meski secara daring. Canda tawa mewarnai pertemuan secara daring itu.
Usai saling bertukar sapa, kami pun saling bertukar info menu kue lebaran. Masing-masing menunjukkan hidangan yang tersaji. Beraneka ragam kue yang merupakan kue sejuta umat-misal wafer dan roti kaleng. Kami juga saling menunjukkan menu masakan masing-masing. Ibu sangat antusias menanggapi menu-menu masakan yang disajikan di keluarga anak-anaknya.
"Ibu tahu, kamu pasti merindukan soto ayam kampung buatan ibu kan?" kata ibu ketika mbak Lina menceritakan menu soto ayam yang dimasaknya. Cucu-cucu bapak juga ikut nimbrung. Semua sangat aktusias bercakap dengan bapak. Â
      Bapak tampak bahagia. Ia bisa bercengkerama bersama cucu-cucunya secara daring dalam waktu bersamaan. Aku dan ibu turut gembira. Lengkap sudah kami sekeluarga bisa silaturahmi secara daring. Cucu-cucunya pun terlihat bahagia dengan pertemuan secara daring itu. Selama dua jam lebih kami melepas rindu. Beribu kata tak mampu menampung segala rasa yang tercipta dari pertemuan singkat secara daring tadi. Ada sejuta makna yang tersirat. Sebentuk warna yang kelak akan menjadi ciri pembeda dalam sejarah lebaran keluarga kami.
      Lebaran tahun ini sangat terasa berbeda perayaannya di seluruh dunia. Masa pandemi korona yang sudah melanda dunia selama beberapa bulan terakhir ini mengubah segala tatanan yang sudah mapan. Tentu ada hikmah dan dampak bagi kehidupan di masyarakat. Hanya saja terkadang kenangan yang telah silam terlalu indah dan ingin diulang. Semua pasti tidak akan bisa sama.
      Momen saat ini pun pasti kelak akan menjadi kenangan spesial yang selalu dirindukan. Keabadian momen yang tercipta dalam ingatan membuat sesuatu menjadi bermakna. Kita akan pernah merasa kehilangan jika hal yang dirindukan tidak bisa hadir kembali. Kenangan tak bisa lekang oleh waktu, juga tak bisa hilang dalam sekejap. Ia akan selalu dirindukan sepanjang masa.
      Bapak akhirnya sudah bisa kembali tertawa lepas. Hatinya sudah bisa kompromi dengan keadaan. Ia memaklumi alasan anak cucunya yang tidak mudik. semua demi kesehatan dan keselamatan bersama. Beliau pun mulai menerbangkan rindu dalam lantunan doa-doanya. Rindu menjelma dalam rapelan doa yang terbang ke langit. Berharap akan sampai pada mereka yang tersayang.
      Usai pertemuan virtual itu, bapak dan ibu pun menikmati secangkir kopi di serambi rumah. Lebaran kali ini tidak ada tamu yang datang karena ada edaran dari pak lurah yang tidak membolehkan warga saling berkunjung. Kulihat mereka sangat menikmati suara burung berkicau.
      Seiring dengan itu, rintik hujan mulai membasahi semesta. Tetesan demi tetesan menyusup ke pori-pori bumi. Hujan selalu mengingatkanku pada seseorang. Hujan begitu lekat dengan rasa rinduku padanya. Aku pun menatap gerimis dari balik jendela. Anganku melayang saat acara reuni sekaligus halalbihalal saat lebaran tahun lalu.
      "Hai, Hani apa kabarmu?" sapa Riko dengan senyum khasnya.
      "Baik. Alhamdulillah," jawabku singkat saking gugupnya.
      Hampir aku tidak mengenali sosok cowok tinggi dengan hidung mancung itu. Tiga tahun yang lalu ia masih sangat polos. Wajahnya yang imut dan kulitnya yang putih bersih tetap memesona bagiku. Apalagi sekarang makin keren dengan penampilannya yang gaya.
      "Han, itu tuh cowok yang selalu kau rindukan," Anggi sahabatku menggoda dengan senyumnya. Aku pun memerah, menahan malu. Dulu aku sempat naksir padanya. Zaman itu masih tahap naksir-naksiran. Tanpa sempat bersapa atau ngobrol. Masih malu-malu kucing.
      Selama acara halalbihalal berlangsung pikiranku sibuk menerka cowok itu. Tatapan hangatnya, senyumnya yang ramah, dan sapaan lembut yang menggoda. Sampai di penghujung acara ada pembagian hadiah hadir. Namaku disebut sebagai penerima.
"Hai, Hani ini hadiah lawang (doorprize) sebuah payung untukmu. Aku tahu kamu selalu basah kuyup jika hujan tiba-tiba menyapa. Simpanlah selalu payung ini di tasmu ya!" Riko menyerahkan kepadaku.
Sontak hatiku langsung berdebar kencang. Aku tak kuasa menahan rasa itu. Buru-buru aku berlalu kembali ke tempat dudukku. Aku tak tahu kalau yang menyerahkan adalah Riko. Jadi saat menatap wajahnya ketika  menerima payung tadi aku terperanjat bertambah kagum pada pesonanya. Benar saja, usai acara itu hujan pun turun. Riko sempat menatap padaku sembari berkata,"Semoga lebaran tahun depan payung itu masih kau simpan dalam tasmu! Tunggu aku bawakan penggantinya." Lalu ia bukakan payung dan memberikan padaku sebelum akhirnya kami berpisah.
"Hani, ini ibu buatkan jahe hangat. Cocok diminum saat hujan begini," suara ibu membuyarkan lamunanku akan kenangan lebaran tahun lalu. Tepatnya kerinduanku pada sosok Riko. Aku pun mendekati ibu, mengambil segelas jahe hangat itu.
"Terima kasih Bu, sangat pas dengan suasana saat hujan begini," ucapku pada ibu.
Aku pun menyeruput sedikit demi sedikit. Rasanya hangat sampai menyusup ke seluruh nadiku. Pelan-pelan memudarkan rasa rinduku. Meleburkan kenangan lebaran yang dirindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H