Mohon tunggu...
eko sulistyanto
eko sulistyanto Mohon Tunggu... -

Bumiku, bungaku, doaku..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemulung Jakarta Ini Punya Harta Warisan di Inggris

4 Oktober 2015   12:07 Diperbarui: 4 Oktober 2015   12:42 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Waktu iu saya kebetulan pas ngamen sendirian di perempatan Pasar Minggu. Malam-malam. Sama banci-banci. Lalu saya dengar Herman digrebek. Belakangan saya tau itu kerjaan Lusi. Iya kan?,” ujar Kanti. Ia teriak bertanya pada Herman. Yang ditanya, seperti biasa, tak melepas sepatah katapun.

Insiden penggrebekan itu membuat Kanti dan Herman berpikir tentang jernis hubungan mereka. Tentang masa depan. Memang tak pernah ada ungkapan kata cinta di antara keduanya. Mungkin itu tak terlalu penting. Apalah arti kata cinta kalau di alam nyata tak menyatu. Kanti yang sendirian membutuhkan tempat sandaran. Tempat ia bisa merawat canda dan impiannya. Sedang Herman yang patah hati, memerlukan sosok perempuan terpercaya, tak peduli walau itu janda yang sudah jadi nenek-nenek dengan tubuh rata bak papan.

“Teman saya pada kasih saran sebaiknya saya menikah saja. Biar tak diomongin orang. Ya gitulah. Trus saya tanya Herman apakah dia mau terus dengan saya. Syaratnya, dia harus baik. Harus berubah. Kalau tidak mau, tidak usah. Sampai di sini saja. Makanya dia saya ajari sholat. Saya suruh Jum’atan. Saya bisa baca doa-doa. Cuma tak bisa baca Alquran. Kayaknya dia nurut saja,” turu Kanti.

Suatu kali, Kanti mampir ke rumah nenek Herman di Kelapa Dua. Di sana Kanti kenalan dan ngobrol ngalor ngidul dengan si nenek. Di situ, nenek berpesan agar Kanti menjaga Herman yang menurutnya kurang kasih sayang sejak kecil. Kira-kira seminggu kemudian, Herman memberi kabar bila neneknya meninggal.

“Saya jadi kepikiran sama pesennya,” kata Kanti.

Kanti akhirnya memaknai pesan itu sebagaimana saran teman-temannya : menikah. Bagi Kanti, menikah dengan brondong tak masalah. Toh Edwards, pria bulenya dulu, usianya juga jauh lebih muda darinya. Kini usia Kanti hampir mendekati usia ibunya Herman. Cuma selisih 4 tahun. Dan syukurlah, orangtua Herman tak keberatan dengan hubungan itu. Mereka senang Herman menemukan pasangan yang baik.

Herman pun siap meyambut pernikahan keduanya dengan perempuan yang sudah seumur ibunya itu. Kanti adalah perempuan baik. Dan itu sudah lebih dari cukup baginya untuk menjadi alasan memilih Kanti sebagai pasangan hidup. “Dia bisa bimbing saya,” ujar Herman malu-malu. Suaranya nyaris tak terdengar.

Namun mereka masih perlu waktu. Butuh biaya tak sedikit. Untuk sementara Kanti mencari jalan tengah. Ia minta jasa orang masjid agar dinikahkan secara siri. Yang penting sudah tidak jadi gunjingan orang. Nikah siri ini hanyalah tahap awal. Rencananya, mereka akan meresmikan pernikahan di KUA kelak setelah uang cukup. Setidaknya butuh 2 jutaan.

(5) SRIKANDI EDAN MENYONGSONG PERNIKAHAN

Jemarinya menjepit sebatang rokok Marlboro. Beberapa kali dihisapnya itu batang lalu menghamburkan asapnya ke udara. Kanti membiarkan tubuh kerempengnya rebahan di gerobak. Sore yg sedap.

"Saya ngrokok sejak usia tujuh tahun. Turunan nenek. Dia juga perokok berat," ujat Kanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun