"Because I love joking, laughing," ujarnya. Itu yang terdengar. Mulutnya masih ndremimil dalam Inggris. Namun tak begitu terdengar. Dan saya sekali lagi memintanya menulis dalam Inggris alasan-alasan itu. Ia bilang tak bisa.
"Kalau omong bisa," katanya.
"Daftarnya Singapura. Dapatnya Hongkong," ujar Kanti.
Demikianlah, hariharinya mulai sibuk sebagai pembantu rumah tangga. Gajinya perbulan sekitar 4 juta. Sebagian besar ia kirimkan untuk anak, suami, juga orangtuanya. Dari kerja kerasnya, Kanti juga berhasil membuatkan bengkel untuk anaknya yangg baru lulus STM. Sungguh melegakan. Kanti mulai sanggup menegakkan kepala.
Namun kepergiannya ke Hongkong bukan tanpa ongkos. Di kala ia banting tulang menbangun kehidupan, suaminya di kampung mbambung. Duit kiriman dihamburkan. Ludes. Begitupun bengkel anaknya.
"Habis buat main perempuan," keluh Kanti.
Kanti patah arang. Pengorbanannya tak imbang dengan kelakuan suami. Apa boleh buat, keputusan berat ia ambil. Dari Hongkong, ia menceraikan suami. Rumah tangganya kandas. Pahit.
Tiga kali Kanti pindah majikan. Di majikan ketiga, ia merasa tak cocok Ia kabur. Lebih dari tiga bulan ia tak kunjung nendapatkan majikan baru. Statusnya sdh overstay. Di Hongkong, overstay adalah pelanggaran hukum. Kriminal. Sejenis pendatang haram. Sewaktu-waktu bisa diciduk polisi. Jeruji besi siap menyekap.
Meski demikian Kanti masih aman. Selama empat tahun ia bergerilya kerja partime menghindari polisi. Cuci piring di cafe dan sebagainya. Sampai suatu ketika, sahabatnya yg dibakar api cemburu melaporkan overstay-nya ke polisi.
"Saya akrab sama pacarnya. Itu bikin dia panas", kata Kanti.