Hari berganti hari. Kanti sibuk dg rutinitasnya ngamen. Hingga suatu hari, seseorang datang dan tinggal tak jauh dari kontrakannya. Masih muda. Lusuh. Kumis tipis, mata sendu, irit bicara. Tidak bengal. Namanya Herman. Rupanya, anak muda ini datang memanggul kenangan yg pedih tentang perempuan. Ia datang dengan hati remuk redam.
Kalibata, Jakarta Selatan. Malam itu Kanti kembali beredar menjajakan suara. Kotak spiker ia gendong sebagaimana ia menimang jabang bayinya sendiri. Mikrofon di genggaman tangan, mulut melolong melantunkan lagu-lagu. Tak lupa ia bawa anak tetangga. Tugasnya nyawer.
“Nah..malam itu saya dengar ada yang ngomel. Saya dibilang sombong. Mbuh maksudnya apa. Saya cuekin saja. Nggak kenal,”, Kanti kembali mengingat-ingat perjumpaan pertamanya dengan pemuda kumal bernama Herman.
Tidak disangka, Herman ternyata tinggal di gubug tak jauh dari rumah kontrakan Kanti di Pasar Minggu. Sebagai sesama kere jalanan, keduanya kemudian kerap bersua. Perkenalan mereka kian menjadi tatkala asisten Kanti, anak penyawer, tiba-tiba tak bisa ngantor dan ikut jalan. Kanti putar otak. Ia tak mau istirahat. Ia harus tetap ngamen. Apaboleh buat, pilihan jatuh pada Herman. Ia sudah cukup mengenalnya.
Itulah awal-awal persahabatan Kanti dengan Herman. Di perjalanan, Kanti malah menghentikan asisten anak dan mengajak Herman sebagai asisten tetap. Keduanya lantas menjadi duet pengamen yang meramaikan blantika musik karaoke jalanan ibukota bersaing dengan banci-banci. Kanti menyanyi, Herman nyawer. Hanya sesekali saja pemuda pemalu itu mau memamerkan suaranya. Mungkin juga ia menyadari bila suaranya tidak layak mengudara. Bicara saja hanya terlihat komat-kamit. Suaranya lirih. Memang, Herman bukan pria keras berotot. Bukan pemuda berandalan bertato. Suara dan perangainya lembut. Ia tidak biasa bicara dengan kata-kata. Ia bicara dengan mimik muka dan gerak tubuh.
“Dia juga kolokan. Kalau ngambek kaya anak kecil. Saya biarin saja dia bebas. Saya ngemong saja,” kata Kanti.
Di sela-sela ngamen, keduanya kerap bertukar obrolan dan cerita. Perbincangan ngalor-ngidul yang kian mempererat persahabatan. Dari situlah Kanti tahu jerohan Herman. Pemuda yang setiap hari bersamanya itu ternyata sedang mencoba bangkit dari hidupnya yang berkeping-keping. Ia sedang patah hati. Istrinya pindah ke lain hati. Dan itu tak bisa ia ungkapkan ke siapapun. Mungkin hanya kepada Kanti yang mulai ia kenal dan pelan-pelan ia percaya.
“Dia bubar sama istrinya. Waktu dia kerja di Jakarta Utara, istrinya selingkuh. Selingkuhnya waktu istrinya sudah jadi cleaning service di Kuningan. Gimana ndak sedih. Herman yang bantu ini itu sampai jadi cleaning service,” tutur Kanti.
Siang ganti malam, malam berganti pagi. Kanti dan Herman kian menyatu. Di mana ada Kanti, di situ ada Herman. Pemandangan ini rupanya diam-diam dipantau oleh sepasang mata tua. Sepasang mata yang terganggu. Sepasang mata yang panas dingin melihat Kanti dan Herman runtang-runtung melewatkan hari-harinya dengan canda dan tawa. Dialah Miss Lusi, si nenek 70 tahunan sesama kere dan tinggal tak jauh dari mereka. Miss Lusi dibakar rasa cemburu. Api kecemburuan yang menyala-nyala dan tak sanggup ia sembunyikan lantaran sesungguhnya ia juga menaruh hati pada Herman, si brondong berhidung mbangir dengan tatatapan sendu itu. Ia tak rela Herman wira-wiri dengan si janda ompong.
Hati Miss Lusi yang mendidih akhirnya berubah menjadi benci. Suatu kali, Miss Lusi menghembuskan fitnah bahwa Herman telah tinggal serumah dengan Kanti. Dia meminta pada beberapa orang untuk menggrebek. Dan terjadilah aksi penggrebekan itu. Herman dituduh tidur dan kumpul kebo.