Mohon tunggu...
eko sulistyanto
eko sulistyanto Mohon Tunggu... -

Bumiku, bungaku, doaku..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemulung Jakarta Ini Punya Harta Warisan di Inggris

4 Oktober 2015   12:07 Diperbarui: 4 Oktober 2015   12:42 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sendiri, harihari Kanti berikutnya adalah pertarungan melawan kenangan. Benih cinta bule itu telah menghunjam ke tulang sumsumnya. Dengus nafas Edwards seolah selalu menyertai Kanti ke manapun dia pergi. Apalagi di kampung halamannya di Malang, tempat di mana semua foto dan memori ia simpan. Tak sanggup Kanti merawat semua itu. Iapun memilih tak pulang kampung mengelus-elus masa lalunya bersama Edwards. Ia tak mau kembali.

"Saya selalu teringat kebaikannya. Dia didik saya agar berani dan bisa nyesuaikan diri di luar negeri. Nyesuaikan dg lingkungan Edwards dan teman-temannya," mata Kanti menerawang. Sore itu ia masih makai seragam kemarin. Topi yang tak pernah lepas dari kepalanya dan kaos. Kaos Partai Demokrat. Kaos bau. Celana stocking ia ganti dg rok pendek mekar mempertontonkan kakinya yg kecil kokoh memancarkan semangat hidupnya yang liat.

Kanti juga enggan balik ke rumah Bojonegoro, rumah yg ia bangun dengan susah payah saat kerja di Hongkong. Rumah yang kini ditempati anak beserta mantan suami. Ia biarkan dia tetap berteduh di sana dg pertimbangan kasihan. Ia tak mau repot oleh masa lalu. Ia ingin melanjutkan perjalanan hidupnya. Ia memutuskan berkelana di Jakarta.

"Saya ngamen. Karena tak tau Jakarta, saya pinjem anak teman. Kemanamana bersama dia. Dia tau jalan. Kadang ke Kampung Melayu, Benhil," tutur Kanti. Ngamen karaoke adalah pilihan paling masuk akal. Ia tak bisa main musik. Ia juga tak punya siapapun di sini. Uangpun tak ada. Sisa uang peninggalan Edwards 16 juta sudah habis untuk mengurus jasadnya. Untuk kenduri 100 hari dan lain lain.

Di bulan-bulan pertama sepeningggal Edwards, hampir tiap bulan Kanti mendapat kiriman uang dari kerabat suami di Inggris untuk bertahan hidup. Lewat pos. Tiap kirim, mereka telpon ke hp Kanti. Namun sejujurnya, Kanti tidak gembira dengan itu semua. Ia menikah dengan Edwards bukan untuk itu. Ia pun menjual hpnya agar tak lagi bisa dihubungi.

"Saya tak mau orang sana punya kesan kalau saya perempuan pengeret. Tukang porot. Saya tak mau perempuan Indonesia punya kesan jelek di mata orang asing garagara saya," katanya.

Sebagai anak pertama dan satusatunya di keluarga, Edwards berhak atas rumah peninggalan orangtuanya di Inggris. Suatu kali, paman Edwards pernah menghubungi Kanti untuk urusan harta waris. Demikian juga lawyer yg mewakili keluarga Edwards. Katanya, dia berhak atas rumah berikut isinya asalkan Kanti mau pindah tinggal di Inggris. Kedutaan Inggris di Jakarta juga menghubungi. Mereka bilang Kanti bisa dapatkan rumah warisan dengan catatan selama tiga tahun sepeninggal Edwards, Kanti tetap nenjomblo. Aduuh..syarat yg tak ringan.

"Saya tak mau mikir warisan. Biarlah hidup saya mengalir. Apa yg terjadi biar saja. Di Inggris saya juga tak punya siapa-siapa. Untuk apa tinggal di sana. Saya mau sembuhkan hati. Saya mau hilangkan semua kenangan pd Edwards," kata Kanti.

Demikianlah, perempuan dekil yg hanya mengenyam kelas 5 SD ini mengisi hariharinya dengan ngamen. Ia tak beranjak dari kawasan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Hanya pindah kontrakan yg jauh lebih murah dari kontrakannya bersama Edwards.

Di Pasar Minggu, pergaulan Kanti berubah total. Kali ini ia hidup di tengah kere-kere pengab ibukota. Pengamen, pengemis, pemulung. Hidup bersama kecoak. Namun ia sama sekali tak memprotes atas semua ini. Ia tak menggerutu. Biasa saja. Ia hampir khatam atas aneka kepahitan hidup. Ini membuatnya kuat. Ia hadapi semua ini dg gagah berani. Dengan tawa dan keyakinan bahwa suatu kali hidupnya pasti berubah. Hidupnya akan kembali bergerak naik. Hanya soal waktu

"Hidup kadang di atas kadang di bawah. Mirip roda. Yang kenal saya dulu sama Edwards masih suka panggil panggil hai jeng..," katanya. Wajahnya tiba-tiba semrigah. Ia nyengir lagilagi memperlihatkan giginya yg rompal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun