Mohon tunggu...
E Fidiyanto
E Fidiyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Muda

Menulis dengan Hasrat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cemburu Zubaidah

10 Desember 2018   10:34 Diperbarui: 10 Desember 2018   10:45 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ya sekarang harga bawang merah murah. Hujan hampir saban hari. Ini bikin petani rugi karena panen dini." cerita juragan Darmaji saat aku berkunjung di lapak bawangnya.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk lantaran tak begitu paham soal pertanian. "Betul, kemarin di wilayah utara ratusan hektar bawang kena banjir, jadi petani langsung panen. Padahal umurnya baru 40," kataku, mengunyah singkong rebus sungguhan juragan Darmaji.

Memang, bawang itu untung-untungan. Sekali mahal, modal bisa kembali berlipat-lipat. Tapi sekali anjlok, jangan harap balik modal. Banyak petani stres karena harga anjlok, mereka memanfaatkannya untuk bibit baru. Begitu seterusnya. Petani di Kota Bawang ini jadi tulang punggung pembangunan. Mereka seolah memiliki peran istimewa. Tepatnya sebagai ujung tombak kemajuan daerah yang menjadi sentra bawang merah, juga pemasok utama di Indonesia. Dari dulu terkenal seperti itu, tapi sebagai kabupaten terluas nomor dua di Jawa Tengah, seolah pengelolaan yang kurang maksimal menjadikan Brebes sebagai penerima predikat kabupaten termiskin. Itu semua tergambar dari cerita orang-orang yang aku temui.

"Loh katanya mau mampir ke kedai punyaku," ungkapnya tiba-tiba sambil mendekati aku dan juragan Darmaji yang sedang asyik ngobrol ngalor-ngidul.

"Nanti, Kang. Pasti mampir," timpalku sambil menjabat tangannya yang kapalan. Dengan langkah gontai dan nafas kembang-kempis rupanya ia ingin ikut nimbrung dalam obrolan kami.

"Monggo diseruput kopinya. Kalau orang sepertimu pasti sibuk ya," katanya sambil mengipasi lehernya dengan topi lusuhnya.

Aku membalasnya dengan senyum.

Di lapak bawang milik juragan Darmaji kami ngobrol soal tetek bengek permasalahan yang ada di Brebes. Bahkan dengan pengetahuan yang pas-pasan, kami bebas saja ngobrol soal politik. Apalagi ini sudah mendekati musim Pilkada. Para petani banyak yang mengaku dijanjikan ini itu dengan blusukan ke tengah sawah. Rela panas-panasan dengan aroma lumpur demi tercapainya suara yang unggul. Tak hanya soal politik, masa lalu pun mereka bicarakan dengan lepas canda tawa, seolah begitu cepat berganti topik pembicaraan tanpa disadari. Obrolan itu mengalir begitu saja. 

Tentu aku tak mengerti soal pertanian. Sawah tak punya, bukan pula sarjana pertanian. Aku lulus dengan ijazah keguruan yang dibiayai dari hasil laut. Bapakku seorang nelayan yang saban hari hampir tak lihat daratan. Alasanku tak menjadi guru sebenarnya cukup klasik. Gaji yang pas-pasan itu sudah cukup membuatku muak. Apalagi guru honorer katanya bayarannya disunat sana-sini. Tak ada kata yang menjadi alasan untuk mengatakan ini semua sinting lantaran perjuangan seorang guru berada di ketiak pemangku kebijakan. Sejauh apapun, seberat apapun tugas yang diemban guru honorer, tetap saja gajinya di ketiak orang-orang di atasnya, hingga mereka sedia saja menjilati keringatnya.

Usai berbincang di lapak bawang, hari kian petang. Tapi aku sempatkan mampir di kedai susu milik Zainudin. Tak enak hati aku terus menolak ajakannya. Sekalian juga menjalin paseduluran dengan orang-orang yang baru kukenal lewat perbincangan yang bermula di tengah sawah. Toh tak ada salahnya. Semakin banyak orang kenal, semakin banyak pula rezeki lewat perantara mereka. Itulah sedikit pepatah orang kuna blirik, yang memang lebih baik dalam menjaga silaturahmi kepada siapapun. Demikian hakikat orang jawa yang diajarkan para leluhur. Tapi, yang demikian itu sekarang ini sulit didapat. Kebanyakan, orang-orang ditemukan hanya dalam satu kepentingan. Ini yang mungkin bisa disebut generasi edan. Bagaimana mungkin orang bisa berpikir waras jika masih ada maksud tertentu.

Di kedai susu Zainudin, aku disuguhi singkong rebus yang ditabur parutan kelapa dan lelehan keju. Kombinasi rasa yang sederhana tapi membuat candu lidah orang kampung. Makanan tradisional yang dikemas modern tentu lebih menarik dan bukan tak mungkin lebih laku di pasaran. Tak hanya itu, banyak kreasi makan tradisional hasil resep Zainudin yang dikemas cukup apik. Gemblong, dodol, bahkan gatot, makanan orang dulu, di kedai susu miliknya menjadi olahan yang sempurna. Tak jarang muda-mudi numpang pacaran di kedai lesehan itu.

Makanan yang dulu dikenal makanan orang kampung, kini ditampik dengan ide-ide cermelang Zainudin. Tak heran, kedainya ramai dikunjungi bukan saja orang sekitar tapi sampai luar daerah. Juga konsep lesehan yang lebih menarik. Ada hiasan dinding berupa lukisan-lukisan yang menyiratkan kehidupan tempo dulu.

Sambil menikmati hasil kreasinya, aku mendengarkan cerita tentangnya. Dari masa lalunya, sampai ia memiliki modal usaha untuk buka kedai susu bernuansa klasik. Ia memang cinta seni. Ia mengisahkan jalan hidupnya yang penuh pelajaran. Bagaimana ia yang awalnya hanya menjadi buruh serabutan yang tenaganya hanya dipakai jika ada yang membutuhkan. Menjadi kuli di sawah milik juragan Darmaji rupanya hanya sampingan yang mengingatkan ia tentang banyak hal. Termasuk kisah cintanya.

Atas kegigihannya jadi kuli, ia dipercayai juragan Darmaji untuk menggarap satu hektar sawah miliknya selama setahun. Tentu, Zainudin tak ingin menyia-nyiakannya. Ia garap dengan menanam bawang. Mungkin nasibnya sedang mujur, ia sanggup melunasi modal dari pinjaman juragan Darmaji dengan sisanya sebagai bagi hasil. Lantaran tak enak hati pula, Darmaji tetap jadi kuli sebagai balas budi dari sebab musabab ia memiliki kedai susu.

Menjadi kepercayaan orang lain, baginya bukan perkara gampang. Semua harus berproses dari nol dengan tak mempertimbangkan nominal. Bekerja karena nominal baginya suatu saat akan ada angka limitnya. Sementara, bekerja karena menjaga kepercayaan orang lain, berapa pun nominal yang dibutuhkan pasti ada di depan mata. Toh rezeki itu bukan hanya perkara angka rupiah saja.

"Tapi aku menikah sudah tiga kali. Hubunganku selalu kandas. Aku tidak tahu apa sebabnya," Zainudin menutup perbincangan sore itu dengan kisah asmaranya. Ia tak menginginkan jawaban dari mulutku. Aku hanya jadi pendengar baik dalam meluapkan isi hatinya yang sudah terlalu usang dipenjara olehnya.

Lantas aku pergi mengakhiri perjumpaan akan kisah cinta yang lebih dramatis dari kisah cinta Zubaidah. Di balik kepolosan si pemilik kedai susu, ternyata menyimpan kisah cinta yang pahit, hanya saja ia tak sanggup menceritakan lebih detail. Ia menutupi sebagian kisahnya yang katanya terlalu manis dikenangkan. Ia hanya mampu merindukannya dalam diam. Diam yang digeluti kekhawatiran. Padahal ia tahu, cintanya tidak pernah mati. Yang juga sebagai tempat pulang kelak nanti.

"Jangan paksa aku mengingat itu, aku pasti pulang," katanya di antara jeda yang ia kisahkan tadi, setelah sebelumnya aku setengah memaksa agar semuanya ia ceritakan. Maksudku, agar tak ada lagi beban yang ia pendam seorang diri.

Yang aku kagum darinya, Zainudin selalu bisa menutupi kekalutan batinnya dengan canda tawa yang bahkan lepas seolah tak memiliki sedikit pun masalah. Ia sanggup merasakan manis di antara pahitnya seduhan kopi tadi sore di lapak bawang milik juragan Darmaji. Petang itu, aku bergegas menemui Zubaidah. Dan aku telat dari waktu janjian dengannya. "Zubaidah akan marah?" batinku. Aku terus memacu gas sepeda motor untuk segera sampai di alun-alun kota. Tempat favoritku bersama Zubaidah ketika melumat sisa senja hingga larut malam.

"Sudah lama?" tanyaku, kuhampiri ia di bawah pohon ketapang.

Ia diam. Mungkin marah. Hampir dua jam menungguku. Wajahnya yang dibalut bedak tipis tampak murung. Bibirnya dengan polesan gincu delima enggan berkata. Aku pun menyadari sikapnya yang dingin sejak aku ajak bersalaman. Memang begitu sifatnya, ia tak akan betah menunggu terlalu lama. Namun aku beruntung, ia tak pulang dengan kekecewaan tanpa berjumpa. Biasanya, saat ia bercerita, menunggu siapa pun barang satu jam saja pasti ia pulang dan tak sedia menemui hingga kecewanya hilang ditelan rindu.

"Nggak biasanya kamu telat begini, dari mana saja? Jalan sama Anita?" ia menyerangku dengan rentetan pertanyaan.

Aku sempat kaget ia menyebut nama Anita. "Dari kedai susu," jawabku.

"Sama Anita?" ia menegaskan kekesalannya. Mimiknya bermuram durja.

"Anita terus yang kamu sebut. Cemburu?"aku beranikan tanya demikian.

"Nggak!"

"Ya sudah kita moci saja. Anakmu mana?"

"Tuh lagi main," jawabnya sembari menujuk ke arah Zidan yang tampak asyik menendang-nendang bola plastik.

Aku memesan teh poci dan tempe mendoan di warung lesehan Mbok Inem, yang berjejer di tepian alun-alun. Ia warung langgananku moci atau ngopi ketika selesai menjelajah pinggiran kota. Harganya lumayan murah, tak seperti di warung lain yang kadang mencekik bagi orang sepertiku yang isi dompetnya pas-pasan. Hanya dijejali kertas-kertas nota kreditan, juga foto keluargaku ukuran 5x7.

Dompetku tak bermerk seperti kawanku. Mulai dari tas, jam tangan, celana, bahkan celana dalam, juga dompet yang mungkin isinya pun lebih banyak lembaran kertas bergambar Soekarno-Hatta. Tentu kau pun paham soal ini. Atau mungkin kau menutup mata, juga kupingmu yang selalu mendengarkan kalimat persaudaraan antara dirimu dan pemegang kendali kerajaan ini. Memang susah diterjemahkan, karena kau begitu licik dan rapi menyembunyikan segalanya. Lebih kerasnya lagi, aku menamai hubunganmu dengannya adalah hubungan kepentingan, antara perut lapar dan rasa aman, tanpa adanya gesekan.

"Apa yang kau pikirkan tentang Anita, Zu?"

"Gimana hubunganmu dengannya?" ia melempar tanya.

"Hubungan apa? Anita belum menghubungi nomor di kertas yang aku berikan tempo hari,"

"Kau nggak perlu mengelak,"

"Rupanya kau cemburu dengannya. Apa kau suka denganku?"

"Bukan itu."

"Lantas?"

Ia tak bisa berkata. Dari tatapan matanya, nampak menyiratkan sesuatu yang ia pendam. Mungkin ia jatuh cinta padaku. Wajar saja, mungkin ini yang dinamakan waiting tresna jalaran saka kulina. Jika sudah begitu, tak ada yang bisa lari dari kebiasaan ini. Semakin menghindar, api cemburu semakin kuat untuk ia menyatakan cinta.

Cinta memang tak kenal soal usia. Meski usia Zubaidah lebih tua dua tahun dariku, bisa saja cinta itu lupa usia. Tapi aku tak mungkin jatuh hati dengannya, meski kini statusnya tak jelas. Meskipun tubuhnya kini cukup menggoda, aku tak cukup terarik. Bahkan, buah dadanya nampak menonjol juga sedap dipandang, tapi aku menganggapnya sama seperti pertama aku berkenalan.

Tak bisa kubohongi perasaan ini. Aku pun betah berlama-lama menghabiskan waktu dengannya. Mungkin sama, aku menaruh cinta. Ada rasa nyaman ketika mata saling bertatapan tanpa rasa dosa. Juga ada kegelisahan tatkala beberapa hari tak berjumpa. Kedekatanku dengannya memang kini tak sekedar wajarnya persahabatan. Lebih dari itu. Sisa canda tawa kadang masih terngiang di alam romantika. Ada rindu di antara jeda perjumpaanku dengan Zubaidah.

Setelah beberapa kali aku membujuk dengan segala permintaan maaf, ia pun sedia minum teh poci yang sudah kupesan. Meskipun sudah hampir dingin didiamkan kekecewaan, rasa dan aroma teh poci yang khas sedikitpun tak berkurang. Ada perpaduan manis dan sepet rasa teh wangi. Tempe mendoan pun mulai ia santap dengan coletan kecap pedas. Melihatnya, membuatku menelan ludah. Mungkin perutnya kempong terlalu lama menunggu. Tatkala fokus pandanganku pada sosok Zubaidah yang tengah mengunyah, ada panggilan masuk di layar kaca yang sering kutaruh di saku.

"Aku angkat telepon dulu,"

Ia menghentikan makannya dan menoleh ke arahku. Matanya nyalang seolah tak terima kemesraan ini terganggu. "Dari siapa?"

"Nomor baru, nggak tahu." jawabku sambil menjauhkan diri dari Zubaidah.

Aku terkejut saat kudengar suara merdu seorang wanita yang menyebut dirinya Anita, si resepsionis rumah sakit. Kukira ia takkan merewes ketika kusodorkan kontak ponsel di kertas waktu itu. Ah, mungkin ini satu lagi awal keakrabanku dengan seorang wanita cantik yang membuatku tertarik pada pandangan pertama.

Mula-mula Anita menanya kabar, hingga perbincangan melalui perangkat yang ditemukan Martin Cooper, menjadi obrolan santai yang lebih mengena. Mak Jleb! ketika Anita akhir pekan depan mengajakku jalan-jalan di Ranto Canyon, sebuah tempat wisata baru yang akhir-akhir ini memang sektor pariwisata di Kota Bawang sedang menggeliat.

Aku kaget bercampur sedikit bahagia. Bagaimana tidak, gadis cantik yang pipinya mirip kuning telur ceplok mengajakku berwisata. Hampir setengah jam aku ngobrol dengannya, sampai benar-benar lupa di jarak sepuluh meter di belakangku ada sosok Zubaidah. Aku mulai was-was, khawatir jika ia menguping.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun