Mohon tunggu...
E Fidiyanto
E Fidiyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Muda

Menulis dengan Hasrat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cemburu Zubaidah

10 Desember 2018   10:34 Diperbarui: 10 Desember 2018   10:45 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makanan yang dulu dikenal makanan orang kampung, kini ditampik dengan ide-ide cermelang Zainudin. Tak heran, kedainya ramai dikunjungi bukan saja orang sekitar tapi sampai luar daerah. Juga konsep lesehan yang lebih menarik. Ada hiasan dinding berupa lukisan-lukisan yang menyiratkan kehidupan tempo dulu.

Sambil menikmati hasil kreasinya, aku mendengarkan cerita tentangnya. Dari masa lalunya, sampai ia memiliki modal usaha untuk buka kedai susu bernuansa klasik. Ia memang cinta seni. Ia mengisahkan jalan hidupnya yang penuh pelajaran. Bagaimana ia yang awalnya hanya menjadi buruh serabutan yang tenaganya hanya dipakai jika ada yang membutuhkan. Menjadi kuli di sawah milik juragan Darmaji rupanya hanya sampingan yang mengingatkan ia tentang banyak hal. Termasuk kisah cintanya.

Atas kegigihannya jadi kuli, ia dipercayai juragan Darmaji untuk menggarap satu hektar sawah miliknya selama setahun. Tentu, Zainudin tak ingin menyia-nyiakannya. Ia garap dengan menanam bawang. Mungkin nasibnya sedang mujur, ia sanggup melunasi modal dari pinjaman juragan Darmaji dengan sisanya sebagai bagi hasil. Lantaran tak enak hati pula, Darmaji tetap jadi kuli sebagai balas budi dari sebab musabab ia memiliki kedai susu.

Menjadi kepercayaan orang lain, baginya bukan perkara gampang. Semua harus berproses dari nol dengan tak mempertimbangkan nominal. Bekerja karena nominal baginya suatu saat akan ada angka limitnya. Sementara, bekerja karena menjaga kepercayaan orang lain, berapa pun nominal yang dibutuhkan pasti ada di depan mata. Toh rezeki itu bukan hanya perkara angka rupiah saja.

"Tapi aku menikah sudah tiga kali. Hubunganku selalu kandas. Aku tidak tahu apa sebabnya," Zainudin menutup perbincangan sore itu dengan kisah asmaranya. Ia tak menginginkan jawaban dari mulutku. Aku hanya jadi pendengar baik dalam meluapkan isi hatinya yang sudah terlalu usang dipenjara olehnya.

Lantas aku pergi mengakhiri perjumpaan akan kisah cinta yang lebih dramatis dari kisah cinta Zubaidah. Di balik kepolosan si pemilik kedai susu, ternyata menyimpan kisah cinta yang pahit, hanya saja ia tak sanggup menceritakan lebih detail. Ia menutupi sebagian kisahnya yang katanya terlalu manis dikenangkan. Ia hanya mampu merindukannya dalam diam. Diam yang digeluti kekhawatiran. Padahal ia tahu, cintanya tidak pernah mati. Yang juga sebagai tempat pulang kelak nanti.

"Jangan paksa aku mengingat itu, aku pasti pulang," katanya di antara jeda yang ia kisahkan tadi, setelah sebelumnya aku setengah memaksa agar semuanya ia ceritakan. Maksudku, agar tak ada lagi beban yang ia pendam seorang diri.

Yang aku kagum darinya, Zainudin selalu bisa menutupi kekalutan batinnya dengan canda tawa yang bahkan lepas seolah tak memiliki sedikit pun masalah. Ia sanggup merasakan manis di antara pahitnya seduhan kopi tadi sore di lapak bawang milik juragan Darmaji. Petang itu, aku bergegas menemui Zubaidah. Dan aku telat dari waktu janjian dengannya. "Zubaidah akan marah?" batinku. Aku terus memacu gas sepeda motor untuk segera sampai di alun-alun kota. Tempat favoritku bersama Zubaidah ketika melumat sisa senja hingga larut malam.

"Sudah lama?" tanyaku, kuhampiri ia di bawah pohon ketapang.

Ia diam. Mungkin marah. Hampir dua jam menungguku. Wajahnya yang dibalut bedak tipis tampak murung. Bibirnya dengan polesan gincu delima enggan berkata. Aku pun menyadari sikapnya yang dingin sejak aku ajak bersalaman. Memang begitu sifatnya, ia tak akan betah menunggu terlalu lama. Namun aku beruntung, ia tak pulang dengan kekecewaan tanpa berjumpa. Biasanya, saat ia bercerita, menunggu siapa pun barang satu jam saja pasti ia pulang dan tak sedia menemui hingga kecewanya hilang ditelan rindu.

"Nggak biasanya kamu telat begini, dari mana saja? Jalan sama Anita?" ia menyerangku dengan rentetan pertanyaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun