Dari kedua contoh tersebut secara tidak langsung anak akan menyimpan hasil observasi dari perilaku yang berada dilingkungan yang mereka jumpai, kemudian melakukan proses imitasi. Apabila anak melakukan proses imitasi secara konsisten, maka akan menjadi sebuah kebiasaan.Â
Selanjutnya, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara konsisten akan terekam dalam otak bagian tengah yang bernama otak reptilian. Sebagaimana yang dikemukakan Paul D. MacLean (1913-2007), mengenai fungsi otak reptilian atau otak primitif. Penamaan ini diambil berdasarkan kemiripan dan kesamaan fungsinya dengan otak reptil berdarah dingin seperti buaya, kadal, dan burung. Fungsi otak ini guna mengontrol sebagian besar fungsi motorik-sensorik.Â
Perilaku manusia yang dihasilkan oleh kerja otak reptil ini berkaitan dengan insting untuk mempertahankan hidup dan dorongan untuk berkembang biak serta menyampaikan informasi dari cerebellum ke cortex. Ketika manusia merasa berada dalam ancaman, otak reptil mengambil sikap siaga dan memunculkan mekanisme yang spontan "melawan atau lari". Pada akhirnya, jika sudah tersimpan dalam otak reptilian, lama kelamaan akan menjadi sifat bahkan menjadi bagian karakter anak.
Maka jangan heran apabila ada seseorang yang terbiasa bangun subuh tanpa harus memasang alarm. Hal tersebut telah mengalami proses observasi, imitasi dan kebiasaan. Otak reptiliannya telah memprogram kebiasaan tersebut setiap harinya, bagaikan memprogram alarm agar kita bangun sesuai dengan yang kita inginkan.
Bayangkan jika yang diobservasi awal oleh anak itu terkait kekerasan dalam keluarga dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya, kekerasan dalam lingkungan masyarakat, tayangan kekerasan dalam media elektronik, film remaja yang menceritakan kisah di sekolah tetapi pakaian, tutur sapanya, cara berkomunikasi dengan guru tidak mencerminkan dunia pendidikan yang memberikan apresiasi dan stimulus positif, kemudian kegiatan nyata di sekolah anak mengalami "perploncoan" dengan menggunakan kekerasan di masa awal adaptasi sekolahnya, serta kesalahan dari peserta didik diapresiasi dengan stimulus yang negatif.Â
Bisa kita memprediksi bagaimana karakter anak tersebut nantinya. Selain itu, dilihat dari sisi eksternal terkait kondisi ekonomi keluarga dan pergaulan dalam masyarakat, serta pengabaian dan kurangnya monitoring akan memberikan andil terhadap pembentukan karakter anak.
Pada akhirnya, apa yang terjadi dewasa ini berkaitan dengan kejahatan yang melibatkan anak-anak harus segera ditelusuri dan dihentikan. Penulis mengapresiasi langkah bapak wali kota Ridwan Kamil yang menginstruksikan Dinas Pendidikan Kota Bandung untuk mencari petunjuk soal kebiasaan pelaku sehari-hari. Artinya, dengan mengetahui kebiasaan pelaku maka akan bisa mengidentifikasi dari mana pelaku tersebut melakukan proses imitasi dan dari lingkungan mana pelaku melakukan proses observasi awal sehingga menyebabkan pelaku memiliki karakter seperti itu. Meskipun akan sulit digeneralisasi karena akan berkaitan dengan berbagai faktor.
Intinya, yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana cara membangun kembali nilai-nilai positif yang akan melahirkan karakter dalam diri anak. Kuncinya, pembenahan pendidikan dalam keluarga sebagai fondasi awal penanaman nilai-nilai dan lembaga pendidikan formal dan nonformal sebagai pendalaman nilai-nilai. Keluarga khususnya orang tua sebagai objek pertama yang akan diobservasi dan diimitasi oleh anak sudah seharusnya memberikan teladan, apresiasi dan stimulus positif untuk menumbuhkan nilai-nilai yang baik bagi perkembangan anak.Â
Latarbelakang pendidikan orang tua, ketersediaan waktu orang tua akan menjadi salah satu faktor yang menentukan bagi perkembangan anaknya. Pepatah mengatakan "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya" dengan kata lain perilaku anak adalah cermin akhlak orang tuannya. Lantas bagaimana jika anak berada ditengah tengah keluarga yang selalu terjadi konflik keluarga atau orang tua pebisnis yang selalu sibuk dan tidak punya waktu banyak untuk berinteraksi dengan anaknya?.
Maka, disinilah pada hakikatnya peran lembaga pendidikan, disamping menjalankan peran lain terkait perkembangan peserta didik, sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2013 tentang tujuan pendidikan nasional. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal akan menampung ratusan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai yang dibawanya dari rumah masing-masing.Â
Di tempat inilah, kemungkinan perubahan nilai-nilai peserta didik bisa terjadi. Nilai positif yang dibawa dari rumahnya bisa saja tergerus nilai negatif yang berkembang di lingkungan sekolah, begitupun sebaliknya. Maka disinilah pentingnya menumbuhkan nilai-nilai positif di sekolah dan menginternalisasi nilai tersebut menjadi sebuah karakter.