Mohon tunggu...
Eko Siswanto
Eko Siswanto Mohon Tunggu... Guru - Sedang belajar menulis

Seorang Guru di SMA Negeri 1 Nuhon

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Kembali Nilai-nilai Pendidikan

28 November 2020   15:28 Diperbarui: 28 November 2020   15:35 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sekali lagi dunia pendidikan diguncang kembali dengan kasus pembunuhan yang dilakukan seorang siswa SMP yang terjadi di kota Bandung baru-baru ini. Berdasarkan sumber dari berbagai media, usia pelaku ternyata masih belia, yakni 13 tahun. Fenomena pembunuhan ini, sekaligus menambah daftar kasus kriminalitas di kota Bandung yang melibatkan anak sekolah, setelah kasus pembunuhan siswi SMK di area pemakaman Cina, maret lalu.

Mendengar kabar ini, ada rasa terkejut dan ngeri. Seperti kejadian di film-film action, tetapi ini benar-benar nyata bahkan dilakukan seorang anak sekolah. Terlepas dari motivasi apa yang melatarbelakanginya, yang jelas perlu kajian mendalam dari sisi psikologis terkait perubahan perkembangan dunia anak dewasa ini dan peran lingkungan yang memiliki andil besar dalam membentuk karakter anak. Baik lingkungan pendidikan formal seperti sekolah maupun lingkungan pendidikan keluarga dan masyarakat.

Penulis menganalisis fenomena perilaku menyimpang (baca: kejahatan) ini dari dua objek. Pertama, menelusuri anak dari rumah yang didalamnya terdapat peran keluarga sebagai fondasi tumbuhnya nilai-nilai yang akan mempengaruhi sifat atau watak anak, serta sebagai alat monitoring terhadap anak ketika berada  diluar lingkungan keluarga.

Menurut Margareta (Brown, 2010), hasil penelitian kriminalitas remaja di Inggris dan Amerika Serikat menemukan bahwa pelaku kejahatan kekerasan anak banyak yang berasal dari rumah yang tidak harmonis, anak-anak dari latar belakang sosial-ekonomi rendah, anak-anak dengan akses ke senjata tanpa pengawasan yang cukup, anak-anak yang pernah mengalami kekerasan dan pengabaian, serta anak yang menggunakan atau menyalahgunakan zat adiksi terlarang.

Dari hasil penelitian tersebut, memungkinkan kejahatan yang melibatkan anak-anak di Indonesia khususnya yang terjadi di kota bandung dewasa ini memiliki kesamaan latarbelakang. Untuk membuktikannya perlu adanya penelusuran mengenai motivasi si pelaku dalam melakukan aksi kejahatannya.

Kedua, menelusuri anak dari sekolah yang memiliki peran besar sebagai tempat pendalaman nilai-nilai. dengan kata lain, tempat proses internalisasi nilai menjadi karakter bagi peserta didik. Bahkan lebih jauh peran lembaga pendidikan seperti yang diutarakan Quintillian (35-95) seorang ahli retorika di era romawi kuno, beliau merumuskan optimismenya dengan berkata: "Apapun penyakit yang ditularkan di rumah, pasti bisa disembuhkan di sekolah."

Optimisme yang dilontarkan bapak retorika tersebut bisa diterjemahkan, selama apresiasi yang diberikan oleh lingkungan sekolah terhadap peserta didik ketika beraktivitas bersifat positif, selama stimulus yang diberikan lingkungan sekolah terhadap peserta didik yang sedang mengalami permasalahan bersifat positif, maka secara tidak langsung akan membentuk pola pikir dan pola laku peserta didik yang positif juga, karena mendapat pemodelan dan pengalaman langsung dari lingkungan sekolah.

Sejatinya, setiap manusia terlahir dengan membawa nilai-nilai dalam dirinya. Perwujudan nilai positif atau negatif dalam diri manusia itu tergantung bagaimana peran lingkungan melakukan apresiasi atau stimulus awal terhadap anak. Berdasarkan hasil seminar dan motivasi membangun budaya nilai di sekolah yang penulis ikuti, Pada dasarnya ada lima proses internalisasi nilai-nilai menjadi karakter, yaitu: 1) proses observasi, 2) proses imitasi, 3) kebiasaan, 4) sifat dan 5) Karakter.

Dalam rangka mendeskripsikan proses tumbuhnya nilai-nilai pada diri anak, berikut ini ada dua contoh kasus sederhana. Pertama, seorang ibu membawa anaknya ke sebuah swalayan untuk berbelanja. Anak akan melakukan observasi dari mulai mengamati lingkungan sekitar swalayan, aktivitas ibunya yang sedang mengambil barang-barang belanja, kemudian ketika si ibu memasukan belanjaannya kedalam keranjang, sampai si ibu tersebut membayarnya di kasir, dan kembali pulang. 

Aktivitas itu dilakukan dan diobservasi berkali-kali sampai pada suatu ketika anak melakukan imitasi dengan mengambil barang-barang dan memasukannya ke dalam keranjang. Ketika anak mengambil barang lainnya dan hendak memasukannya lagi ke dalam keranjang, si ibu menegurnya dan berbicara "jangan nak ibu tidak punya uang" sampai beberapa kali dan si ibu menolaknya dengan kata-kata yang sama. 

Ketika ibunya selesai berbelanja dan hendak membayar di kasir, anak tersebut melihat ibunya mengeluarkan uang banyak. Kedua, ketika seorang ayah yang baru pulang dari kantor dengan wajah lelah, dengan tergesa-gesa membuka sepatu dan pakaian yang diletakan dimana saja. Kemudian, melihat anaknya yang sedang bermain dan memanggilnya "nak, tolong pegang handphone ayah, terus kalau ada yang telepon bilang ayah lagi meeting".

Dari kedua contoh tersebut secara tidak langsung anak akan menyimpan hasil observasi dari perilaku yang berada dilingkungan yang mereka jumpai, kemudian melakukan proses imitasi. Apabila anak melakukan proses imitasi secara konsisten, maka akan menjadi sebuah kebiasaan. 

Selanjutnya, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara konsisten akan terekam dalam otak bagian tengah yang bernama otak reptilian. Sebagaimana yang dikemukakan Paul D. MacLean (1913-2007), mengenai fungsi otak reptilian atau otak primitif. Penamaan ini diambil berdasarkan kemiripan dan kesamaan fungsinya dengan otak reptil berdarah dingin seperti buaya, kadal, dan burung. Fungsi otak ini guna mengontrol sebagian besar fungsi motorik-sensorik. 

Perilaku manusia yang dihasilkan oleh kerja otak reptil ini berkaitan dengan insting untuk mempertahankan hidup dan dorongan untuk berkembang biak serta menyampaikan informasi dari cerebellum ke cortex. Ketika manusia merasa berada dalam ancaman, otak reptil mengambil sikap siaga dan memunculkan mekanisme yang spontan "melawan atau lari". Pada akhirnya, jika sudah tersimpan dalam otak reptilian, lama kelamaan akan menjadi sifat bahkan menjadi bagian karakter anak.

Maka jangan heran apabila ada seseorang yang terbiasa bangun subuh tanpa harus memasang alarm. Hal tersebut telah mengalami proses observasi, imitasi dan kebiasaan. Otak reptiliannya telah memprogram kebiasaan tersebut setiap harinya, bagaikan memprogram alarm agar kita bangun sesuai dengan yang kita inginkan.

Bayangkan jika yang diobservasi awal oleh anak itu terkait kekerasan dalam keluarga dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya, kekerasan dalam lingkungan masyarakat, tayangan kekerasan dalam media elektronik, film remaja yang menceritakan kisah di sekolah tetapi pakaian, tutur sapanya, cara berkomunikasi dengan guru tidak mencerminkan dunia pendidikan yang memberikan apresiasi dan stimulus positif, kemudian kegiatan nyata di sekolah anak mengalami "perploncoan" dengan menggunakan kekerasan di masa awal adaptasi sekolahnya, serta kesalahan dari peserta didik diapresiasi dengan stimulus yang negatif. 

Bisa kita memprediksi bagaimana karakter anak tersebut nantinya. Selain itu, dilihat dari sisi eksternal terkait kondisi ekonomi keluarga dan pergaulan dalam masyarakat, serta pengabaian dan kurangnya monitoring akan memberikan andil terhadap pembentukan karakter anak.

Pada akhirnya, apa yang terjadi dewasa ini berkaitan dengan kejahatan yang melibatkan anak-anak harus segera ditelusuri dan dihentikan. Penulis mengapresiasi langkah bapak wali kota Ridwan Kamil yang menginstruksikan Dinas Pendidikan Kota Bandung untuk mencari petunjuk soal kebiasaan pelaku sehari-hari. Artinya, dengan mengetahui kebiasaan pelaku maka akan bisa mengidentifikasi dari mana pelaku tersebut melakukan proses imitasi dan dari lingkungan mana pelaku melakukan proses observasi awal sehingga menyebabkan pelaku memiliki karakter seperti itu. Meskipun akan sulit digeneralisasi karena akan berkaitan dengan berbagai faktor.

Intinya, yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana cara membangun kembali nilai-nilai positif yang akan melahirkan karakter dalam diri anak. Kuncinya, pembenahan pendidikan dalam keluarga sebagai fondasi awal penanaman nilai-nilai dan lembaga pendidikan formal dan nonformal sebagai pendalaman nilai-nilai. Keluarga khususnya orang tua sebagai objek pertama yang akan diobservasi dan diimitasi oleh anak sudah seharusnya memberikan teladan, apresiasi dan stimulus positif untuk menumbuhkan nilai-nilai yang baik bagi perkembangan anak. 

Latarbelakang pendidikan orang tua, ketersediaan waktu orang tua akan menjadi salah satu faktor yang menentukan bagi perkembangan anaknya. Pepatah mengatakan "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya" dengan kata lain perilaku anak adalah cermin akhlak orang tuannya. Lantas bagaimana jika anak berada ditengah tengah keluarga yang selalu terjadi konflik keluarga atau orang tua pebisnis yang selalu sibuk dan tidak punya waktu banyak untuk berinteraksi dengan anaknya?.

Maka, disinilah pada hakikatnya peran lembaga pendidikan, disamping menjalankan peran lain terkait perkembangan peserta didik, sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2013 tentang tujuan pendidikan nasional. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal akan menampung ratusan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai yang dibawanya dari rumah masing-masing. 

Di tempat inilah, kemungkinan perubahan nilai-nilai peserta didik bisa terjadi. Nilai positif yang dibawa dari rumahnya bisa saja tergerus nilai negatif yang berkembang di lingkungan sekolah, begitupun sebaliknya. Maka disinilah pentingnya menumbuhkan nilai-nilai positif di sekolah dan menginternalisasi nilai tersebut menjadi sebuah karakter.

Langkah awal yang harus diciptakan di sekolah dalam rangka membangun karakter tersebut adalah dengan memperbaiki nilai-nilai negatif peserta didik sebagai hasil dari proses observasi, imitasi, kebiasan dari rumah dan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Secara teknis semua yang terlibat di sekolah harus memberikan teladan, melakukan apresiasi dan stimulus positif selama aktivitas di sekolah. Tidak semuanya nilai negatif yang dibawa peserta didik diberikan stimulus negatif pula. 

Artinya tidak semua kekeliruan disikapi dengan tindakan yang keras, karena hal itu justru akan memberikan stimulus negatif. Kemudian, membuat peraturan yang mengarahkan peserta didik melakukan pembiasaan. 

Selain itu, mengadakan kegiatan-kegiatan positif yang melibatkan peserta didik agar peserta didik melakukan proses observasi ulang dan perlahan melakukan imitasi. Pada kenyataannya, dari proses observasi menuju proses imitasi sampai pada kebiasaan bahkan sampai berhasil merubah sifat peserta didik membutuhkan waktu yang tidaklah sedikit, apalagi konsentrasi guru selain membangun karakter juga harus meningkatkan pengetahuan akademis.

Tidak ada yang mustahil dalam menanamkan kebiasaan sampai menjadi sebuah karakter, apalagi menyangkut manusia. Hewan peliharaan yang tidak memiliki akal pun jika dilatih melakukan kebiasaan seperti manusia akan berhasil.

Kuncinya adalah semangat dan konsistensi guru sebagai ujung tombak pendidikan dalam menumbuhkan karakter, serta dibutuhkan sebuah kesabaran. Selain itu, perlu adanya komitmen bersama dari semua yang terlibat dalam pendidikan. Tanpa komitmen dan konsistensi bersama kiranya membangun budaya nilai disekolah akan sulit terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun