Sekali lagi dunia pendidikan diguncang kembali dengan kasus pembunuhan yang dilakukan seorang siswa SMP yang terjadi di kota Bandung baru-baru ini. Berdasarkan sumber dari berbagai media, usia pelaku ternyata masih belia, yakni 13 tahun. Fenomena pembunuhan ini, sekaligus menambah daftar kasus kriminalitas di kota Bandung yang melibatkan anak sekolah, setelah kasus pembunuhan siswi SMK di area pemakaman Cina, maret lalu.
Mendengar kabar ini, ada rasa terkejut dan ngeri. Seperti kejadian di film-film action, tetapi ini benar-benar nyata bahkan dilakukan seorang anak sekolah. Terlepas dari motivasi apa yang melatarbelakanginya, yang jelas perlu kajian mendalam dari sisi psikologis terkait perubahan perkembangan dunia anak dewasa ini dan peran lingkungan yang memiliki andil besar dalam membentuk karakter anak. Baik lingkungan pendidikan formal seperti sekolah maupun lingkungan pendidikan keluarga dan masyarakat.
Penulis menganalisis fenomena perilaku menyimpang (baca: kejahatan) ini dari dua objek. Pertama, menelusuri anak dari rumah yang didalamnya terdapat peran keluarga sebagai fondasi tumbuhnya nilai-nilai yang akan mempengaruhi sifat atau watak anak, serta sebagai alat monitoring terhadap anak ketika berada  diluar lingkungan keluarga.
Menurut Margareta (Brown, 2010), hasil penelitian kriminalitas remaja di Inggris dan Amerika Serikat menemukan bahwa pelaku kejahatan kekerasan anak banyak yang berasal dari rumah yang tidak harmonis, anak-anak dari latar belakang sosial-ekonomi rendah, anak-anak dengan akses ke senjata tanpa pengawasan yang cukup, anak-anak yang pernah mengalami kekerasan dan pengabaian, serta anak yang menggunakan atau menyalahgunakan zat adiksi terlarang.
Dari hasil penelitian tersebut, memungkinkan kejahatan yang melibatkan anak-anak di Indonesia khususnya yang terjadi di kota bandung dewasa ini memiliki kesamaan latarbelakang. Untuk membuktikannya perlu adanya penelusuran mengenai motivasi si pelaku dalam melakukan aksi kejahatannya.
Kedua, menelusuri anak dari sekolah yang memiliki peran besar sebagai tempat pendalaman nilai-nilai. dengan kata lain, tempat proses internalisasi nilai menjadi karakter bagi peserta didik. Bahkan lebih jauh peran lembaga pendidikan seperti yang diutarakan Quintillian (35-95) seorang ahli retorika di era romawi kuno, beliau merumuskan optimismenya dengan berkata: "Apapun penyakit yang ditularkan di rumah, pasti bisa disembuhkan di sekolah."
Optimisme yang dilontarkan bapak retorika tersebut bisa diterjemahkan, selama apresiasi yang diberikan oleh lingkungan sekolah terhadap peserta didik ketika beraktivitas bersifat positif, selama stimulus yang diberikan lingkungan sekolah terhadap peserta didik yang sedang mengalami permasalahan bersifat positif, maka secara tidak langsung akan membentuk pola pikir dan pola laku peserta didik yang positif juga, karena mendapat pemodelan dan pengalaman langsung dari lingkungan sekolah.
Sejatinya, setiap manusia terlahir dengan membawa nilai-nilai dalam dirinya. Perwujudan nilai positif atau negatif dalam diri manusia itu tergantung bagaimana peran lingkungan melakukan apresiasi atau stimulus awal terhadap anak. Berdasarkan hasil seminar dan motivasi membangun budaya nilai di sekolah yang penulis ikuti, Pada dasarnya ada lima proses internalisasi nilai-nilai menjadi karakter, yaitu: 1) proses observasi, 2) proses imitasi, 3) kebiasaan, 4) sifat dan 5) Karakter.
Dalam rangka mendeskripsikan proses tumbuhnya nilai-nilai pada diri anak, berikut ini ada dua contoh kasus sederhana. Pertama, seorang ibu membawa anaknya ke sebuah swalayan untuk berbelanja. Anak akan melakukan observasi dari mulai mengamati lingkungan sekitar swalayan, aktivitas ibunya yang sedang mengambil barang-barang belanja, kemudian ketika si ibu memasukan belanjaannya kedalam keranjang, sampai si ibu tersebut membayarnya di kasir, dan kembali pulang.Â
Aktivitas itu dilakukan dan diobservasi berkali-kali sampai pada suatu ketika anak melakukan imitasi dengan mengambil barang-barang dan memasukannya ke dalam keranjang. Ketika anak mengambil barang lainnya dan hendak memasukannya lagi ke dalam keranjang, si ibu menegurnya dan berbicara "jangan nak ibu tidak punya uang" sampai beberapa kali dan si ibu menolaknya dengan kata-kata yang sama.Â
Ketika ibunya selesai berbelanja dan hendak membayar di kasir, anak tersebut melihat ibunya mengeluarkan uang banyak. Kedua, ketika seorang ayah yang baru pulang dari kantor dengan wajah lelah, dengan tergesa-gesa membuka sepatu dan pakaian yang diletakan dimana saja. Kemudian, melihat anaknya yang sedang bermain dan memanggilnya "nak, tolong pegang handphone ayah, terus kalau ada yang telepon bilang ayah lagi meeting".