Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jelajah Sejarah Malang: Raffles ternyata Pernah ke Malang

20 Mei 2020   11:18 Diperbarui: 20 Mei 2020   12:43 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari https://antoniuscp.wordpress.com/

sumber Pinterst
sumber Pinterst

Candi tersebut merupakan bangunan berbentuk kotak, dengan sebuah pintu masuk di bagian baratnya; tinggi bangunan tersebut saat ini mungkin sekitar 30 kaki. 

Di atas pintu masuk terdapat sebuah kepala besar berwajah buruk dan tampaknya sebuah hiasan serupa juga terdapat di setiap sisi bangunan tersebut, tepat di atas ceruk-ceruk yang masih selaras dengan pintu masuk di bagian barat. Pada salah satu ceruk tersebut kami melihat sebuah patung yang terbaring rata dengan tanah serta tak berkepala. 

Pada ceruk lain di mana terdapat sebuah lapik kosong, menurut informasi yang kami dapat, Mr. Engelhard telah membawa pergi patung yang berada di ceruk itu. 

Di tempat seharusnya ceruk ketiga berada, batu-batunya telah dibongkar dan adanya sebuah lubang galian dalam di sana tidak hanya memperburuk penampilan bangunan itu, tetapi juga membuat kerusakan parah pada sisi bangunan. Kerusakan ini juga diakibatkan oleh ulah kaki tangan Mr. Engelhard.

 Begitu memasuki candi, di mana kami harus menapaki undakan batu yang tampaknya dulu digunakan sebagai anak tangga, kami melihat sebuah lubang galian dalam dan sebuah batu persegi besar yang kelihatannya tercabut dan tergeletak pada satu sisi di tanah. Kami memerintahkan agar lubang itu diisi kembali dan batu itu dikembalikan ke tempatnya semula. 

Ada sebuah lubang berbentuk lingkaran yang menembus tepat di tengah-tengah batu tersebut. Apakah ini berarti batu itu dulu digunakan sebagai altar, sebagai lapik untuk sebuah patung atau sebuah yoni , kami sendiri tidak tahu pasti.

Di daerah yang tidak ada bangunannya, pada bagian reruntuhan yang dulu tampaknya merupakan sebuah teras bawah, kami melihat dua buah patung penjaga, dengan gada di tangan mereka yang disandarkan di bahu. 

Wajah mereka benar-benar sudah rusak dan bentuk mereka sangat kasar. Kami dapat dengan mudah menemukan kesamaan mereka dengan patung-patung penjaga di Brambanan (Prambanan). Akan tetapi, tinggi patung-patung ini tidak lebih dari 3 kaki.

Peralatan, hiasan dan gaya candi ini secara umum tidak terlalu berbeda dengan candi-candi megah di Brambanan; ukiran dinding dan cetakan batuannya tidak kalah kaya dan dibuat sama halusnya dengan yang di Brambanan. Bentuk luar bangunan boleh berbeda, tetapi ceruk, atau ruangan dalam, tampaknya memiliki pedoman yang sama. Tidak ada lubang agar cahaya bisa masuk dari atas.

Melanjutkan perjalanan singkat lebih jauh ke dalam hutan, kami menemukan beberapa patung tokoh mitologi Hindu dalam kondisi yang masih sangat baik dan dibuat dengan sangat teliti lebih dari apapun yang pernah kami lihat sebelumnya di pulau ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun