Sir Stamford Raffles ternyata Pernah Berkunjung Ke Wilayah Malang. Rangkaian Catatan inilah yang kemudian Menjadi Buku The History Of Java.Â
Karya ini merupakan karya yang sangat membantu Penelusuran Jejak Sejarah di Nusantara dari sudut Orang asing. Raffles menjadi Gubernur Jendral antara Tahun 1813-1916.Â
Salah satu Perjalanannya adalah mengunjungi Wilayah Malang. Berikut catatan Raffles yang datang ke Malang Pada Tahun 1815. Dengan Catatan ini kita bisa mengetahui bagaimana Malang pada masa tersebut. Selamat Membaca
Dari Pasuruan Ke Lawang
 Penelusuran lebih jauh di sisi sebelah timur, kami menemukan reruntuhan di Distrik Malang yang menarik perhatian. Reruntuhan ini kami kunjungi pada tahun 1815.Â
Pertama-tama kami melanjutkan perjalanan dari Pasuruan menuju Lawang, menunggangi kuda-kuda kami di dekat reruntuhan benteng yang untuk beberapa waktu bertahan menghadapi serangan Belanda ketika mereka pertama kali berusaha menguasai distrik-distrik ini.Â
Agak jauh dari situ, di antara Lawang dan Malang, kami ditunjukkan tempat pertempuran yang terkenal itu berlangsung. Keluarga bupati yang berkuasa saat ini ditunjuk pertama kali karena sumbangsih yang mereka berikan dalam peperangan tersebut. Jalan raya dari Pasuruan ke Lawang sebagian besar melalui daerah hutan yang menurut pengamatan kami didominasi oleh pohon beringin.
Berikut Foto Dokumentasi Lawang, Malang 110 Tahun kemudian setelah Kedatangan Raffles
 Keesokan harinya kami mengunjungi reruntuhan Singa Sari, terletak hanya beberapa langkah saja dari pintu masuk hutan jati yang berada sekitar 4 mil dari Lawang dan berada di sebelah kanan jalan menuju Malang. Obyek pertama yang menarik perhatian kami adalah reruntuhan candi.Â
Candi tersebut merupakan bangunan berbentuk kotak, dengan sebuah pintu masuk di bagian baratnya; tinggi bangunan tersebut saat ini mungkin sekitar 30 kaki.Â
Di atas pintu masuk terdapat sebuah kepala besar berwajah buruk dan tampaknya sebuah hiasan serupa juga terdapat di setiap sisi bangunan tersebut, tepat di atas ceruk-ceruk yang masih selaras dengan pintu masuk di bagian barat. Pada salah satu ceruk tersebut kami melihat sebuah patung yang terbaring rata dengan tanah serta tak berkepala.Â
Pada ceruk lain di mana terdapat sebuah lapik kosong, menurut informasi yang kami dapat, Mr. Engelhard telah membawa pergi patung yang berada di ceruk itu.Â
Di tempat seharusnya ceruk ketiga berada, batu-batunya telah dibongkar dan adanya sebuah lubang galian dalam di sana tidak hanya memperburuk penampilan bangunan itu, tetapi juga membuat kerusakan parah pada sisi bangunan. Kerusakan ini juga diakibatkan oleh ulah kaki tangan Mr. Engelhard.
 Begitu memasuki candi, di mana kami harus menapaki undakan batu yang tampaknya dulu digunakan sebagai anak tangga, kami melihat sebuah lubang galian dalam dan sebuah batu persegi besar yang kelihatannya tercabut dan tergeletak pada satu sisi di tanah. Kami memerintahkan agar lubang itu diisi kembali dan batu itu dikembalikan ke tempatnya semula.Â
Ada sebuah lubang berbentuk lingkaran yang menembus tepat di tengah-tengah batu tersebut. Apakah ini berarti batu itu dulu digunakan sebagai altar, sebagai lapik untuk sebuah patung atau sebuah yoni , kami sendiri tidak tahu pasti.
Di daerah yang tidak ada bangunannya, pada bagian reruntuhan yang dulu tampaknya merupakan sebuah teras bawah, kami melihat dua buah patung penjaga, dengan gada di tangan mereka yang disandarkan di bahu.Â
Wajah mereka benar-benar sudah rusak dan bentuk mereka sangat kasar. Kami dapat dengan mudah menemukan kesamaan mereka dengan patung-patung penjaga di Brambanan (Prambanan). Akan tetapi, tinggi patung-patung ini tidak lebih dari 3 kaki.
Peralatan, hiasan dan gaya candi ini secara umum tidak terlalu berbeda dengan candi-candi megah di Brambanan; ukiran dinding dan cetakan batuannya tidak kalah kaya dan dibuat sama halusnya dengan yang di Brambanan. Bentuk luar bangunan boleh berbeda, tetapi ceruk, atau ruangan dalam, tampaknya memiliki pedoman yang sama. Tidak ada lubang agar cahaya bisa masuk dari atas.
Melanjutkan perjalanan singkat lebih jauh ke dalam hutan, kami menemukan beberapa patung tokoh mitologi Hindu dalam kondisi yang masih sangat baik dan dibuat dengan sangat teliti lebih dari apapun yang pernah kami lihat sebelumnya di pulau ini.Â
Di bagian tengah, tanpa mendapatkan perlindungan dari cuaca, terdapat Nandi si banteng dalam keadaan yang masih cukup baik, kecuali untuk tanduknya. Patung ini memiliki panjang lebih dari 5,5 kaki, dalam kondisi baik dan dibuat dengan keahlian tinggi juga proporsi yang sempurna.
Dekat dengan patung banteng itu dan tidak jauh dari sebuah pohon, terdapat sebuah patung Brahma yang sangat indah. Keempat kepala masih dalam keadaan sempurna, kecuali pada satu kepala yang kehilangan hidungnya. Patung ini memiliki ornamen sangat banyak dan mengenakan pakaian yang lebih meriah dari biasanya...
Pada jarak yang agak jauh sekitar 100 yard dari lokasi ini, kami menemukan sebuah patung Ganesa yang luar biasa dalam ukuran raksasa, dibuat dengan sangat teliti dan dalam kondisi sangat baik.Â
Lapik tempatnya berada dikelilingi oleh tengkorak manusia dan tampaknya tengkorak-tengkorak ini tidak hanya digunakan sebagai anting-anting, tetapi juga digunakan untuk menghias semua bagian yang bisa mereka hias. Kepala dan belalai patung ini sangat mirip dengan kepala dan belalai gajah asli.Â
Patung itu kelihatannya didirikan di atas sebuah panggung yang terbuat dari bat. Dari beberapa batu yang berserakan di sekitarnya bisa saja dulu patung ini ditempatkan di dalam sebuah ceruk atau candi.
Lebih masuk ke dalam hutan, tidak jauh dari sana, kami menemukan sebuah patung raksasa yang lain. Patung ini memiliki tanda yang sama dengan patung penjaga yang ada di Prambanan.Â
Patung ini jatuh telungkup pada pintu masuk teras batu yang ditinggikan. Namun, orang-orang telah menggali dan menyingkirkan tanah di sekeliling patung tersebut sehingga kami bisa memeriksa wajah dan bagian depan patung ini dengan lebih jelas. Patung ini memiliki panjang 12 kaki dan lebar bahu 9,5 kaki dengan dasar sepanjang 9 dan 5 kaki serta dipahat dari satu batu utuh besar.Â
Patung ini dibuat seakan-akan sedang duduk bersimpuh, dengan kedua telapak tangan memegang lututnya, tetapi patung ini tidak memiliki gada meskipun bisa jadi gada itu dicuri. Ekspresi mukanya sangat jelas dan hidungnya pun mancung. Namun, figur ini, begitu juga mulut dan dagunya, telah rusak akibat ulah orang.
Patung ini tampaknya jatuh dari teras tinggi yang tidak jauh dari situ. Teras yang saat ini sudah berupa reruntuhan ini memiliki ketinggian sekitar 18 kaki dan terbuat dari batu, di mana lempeng batuan besar berukuran panjang 5 kaki dengan lebar 4 kaki serta tebal 3 kaki menyusun bagian atas teras ini.Â
Tidak lama kemudian kami menemukan patung kedua dengan ukuran sama tidak jauh dari situ; tidak diragukan lagi bahwa patung-patung ini adalah penjaga pintu masuk candi-candi ini.
Kuto Bedah, Bekas Kota Raja Singasari
Setelah mengunjungi semua yang bisa diselidiki di sekitar Singasari, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Malang, sejauh 13 pal dari Lawang, dan pada malam hari kami mengunjungi reruntuhan Supit Urang, biasanya disebut Kotah Bedah (Bedah Kuta) atau benteng yang ditinggalkan. Situs ini digunakan sebagai perlindungan terakhir para pengungsi dari Majapahit.
 Dinding benteng ini terdiri dari batu bata dan bagian dasarnya dapat ditelusuri dengan mudah. Kami mengelilingi sisi-sisinya, dan sejauh yang dapat kami perkirakan, kelilingnya tidak kurang dari dua mil.Â
Benteng ini merupakan figur yang berbeda dari biasanya, letaknya kokoh dalam posisi di pertemuan antara dua sungai yang mengalir mengelilingi 3-4 dinding.Â
Kedalaman dari dinding ke sungai sekitar 50-100 kaki dan di beberapa tempat lebih dalam lagi. Sebuah parit yang dalam dialirkan dari sebuah sungai ke arah sungai yang lain, yang dapat dengan mudah diatur dengan menutup aliran dari sungai. Lebarnya sekitar 75 kaki dan kedalamannya tidak kurang dari 50 kaki.Â
Keadaan saat ini tidak diragukan lagi telah tertimbun, dan bahkan di beberapa bagiannya telah ditanami. Tampak beberapa tempat pemukiman dengan dinding dan sistim bercocok tanam yang baik, terutama tembakau.
Candi Kidal
Keesokan harinya kami melanjutkan untuk mengunjungi reruntuhan di Kidal dan Jagu, jaraknya sekitar 7 mil, yang terakhir hampir 4 mil dari Malang, menuju ke arah tenggara.Â
Di Kedal terdapat sisa-sisa sebuah candi yang sangat indah dari batu, tingginya sekitar 35 kaki. Bangunan itu disangga seekor singa di setiap pilar dari empat pilar yang ada dan juga pada tangga pintu masuk.Â
Di bagian tengah pada tempat yang lebih rendah, antara singa-singa itu, terdapat patung dalam bentuk relief di dinding. Hasil cetakan pahatan di dinding ini mempunyai gaya yang sama dengan yang ditemukan di Brambanan dan Boro Bodo, tetapi masih lebih indah. Bangunan ini dikelilingi dinding dan di bagian depan terdapat teras.Â
Kamar-kamarnya mempunyai bentuk yang sama dengan candi-candi di Jawa. Di atas pintu masuk terdapat kepala gorgon, dan kamarnya sendiri berupa lubang yang dalam.
Tidak ada patung Hindu atau jejak-jejak mitologi Hindu, kecuali singa-singa itu, dan patung-patung dalam relief yang telah disebutkan di atas. Semua ini ditampilkan lagi dalam bentuk yang sama, tetapi mempunyai perbedaan dalam perlengkapannya.Â
Di salah satu dari tiga sisinya terdapat ular naga besar melilit di atas kepala, ekornya dipegang di tangan kanan, dan tangan lainnya memegang kendi, dengan kepala ular mencapainya, yaitu di bagian kepala patung, dan pada bagian yang lain terdapat patung wanita yang bersandar pada kepala seekor ular naga.
Candi Jajaghu
COLLECTIE TROPENMUSEUM Tempel Jago Malang Oost-Java TMnr 10016221.jpg
Candi ini juga diselimuti lebatnya hutan. Di Jagu, kami menemukan reruntuhan dalam jarak beberapa yard masuk ke dalam hutan, tetapi bangunan ini tampaknya mempunyai ukuran lebih besar daripada candi-candi lainnya.
Dasar bangunan utama lebih besar daripada candi-candi lain yang pernah kami kunjungi di bagian barat pulau, dan di sana terdapat dua atau tiga teras bertingkat , tetapi atapnya dan bagian belakang bangunan telah hilang.Â
Di belakang reruntuhan dan pada titik yang sama telah roboh, dan terdapat sebuah patung Hindu yang rapuh. Bagian dasar patung ini masih utuh dan tergeletak di dekatnya.Â
Kepalanya telah dibawa ke Malang beberapa tahun lalu oleh orang-orang Belanda. Pada bagian belakang, kami menemukan sebuah prasasti dalam huruf Dewanagari, dan oleh orang Sepoy yang menemani kami menyatakan bahwa itu adalah tulisan Sanskrit. Karakter di tiap sisinya sangat berbeda, tetapi bagian yang ada di belakang kepala telah terhapus.
Bangunan ini mempunyai banyak ornamen yang merupakan hasil pahatan, dan berbagai rangkaian cerita pertempuran antara angkatan perang manusia dan angkatan perang raksasa. Patung-patung ini diukir dengan kasar dan tidak proporsional, tetapi secara umum kekayaan ini lebih berpengaruh daripada gaya ornamen Boro Bodo.Â
Di tempat ini berbagai prosesi dan sikap perilaku diceritakan dalam bagian-bagian yang berbeda, tetapi kami tidak dapat mengamati sosok lain atau objek pengorbanan lain yang sesuai di sepanjang hiasan dinding yang terdapat di sana. Kami banyak menemukan burung-burung dan binatang buas dalam berbagai diskripsi yang saling berhubungan.Â
Di salah satu bagian terdapat sebuah pohon palem di antara dua ekor domba yang saling berdekatan, dan di sisi lain terdapat seekor babi hutan yang bentuknya sampurna, terutama sebagai benda yang menyertai pengorbanan.
 Pada jarak yang tidak terlalu jauh dari bangunan utama, katakanlah seratus yard, berdiri reruntuhan yang kelihatannya mempunyai teras yang ditinggikan hingga sekitar 20 kaki. Di salah satu sisi kita harus mendaki dengan tangga batu yang bentuknya masih baik.
 Sebelum meninggalkan Malang, kami mengambil sket dari dua patung yang diambil dari depan dan juga patung seorang laki-laki aneh dengan rambut terikat. Di Malang, kami menerima dari Tumenggung sebuah kotak kayu segi empat berisi sebuah lingam emas. Tiga bulan sebelumnya, sebuah kotak di bawah tanah ditemukan oleh seorang petani ketika menggali batu untuk digunakan sebagai tungku. Lingam itu masih dalam keadaan utuh dengan dua batu kecil berwarna merah, seperti ruby. Salah satu hilang sebelum diberikan kepada saya, sedang batu yang lain akan kami pelajari.
Demikian catatan Raffles saat mengunjungi Malang pada Tahun 1815, semoga memberi gambaran yang jelas mengenai gambaran Kondisi Malang Raya pada saat itu.
 Sumber:
 The History of Java -- Sir Thomas Raffles
 Jawa Tempo Doeloe -- James R. Rush
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H