Mohon tunggu...
Nifan NU_GL
Nifan NU_GL Mohon Tunggu... Sales - Santri NU GL

Berusaha mencari keadilan bagi semua pihak

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Bondowoso Gaduh, Ulah Siapa?

3 April 2022   21:41 Diperbarui: 9 April 2022   21:59 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://retizen.republika.co.id/

Perjalanan pemerintahan kabupaten Bondowoso dibawah kepemimpinan Salwa Arifin - Irwan Bachtiar betul-betul menghadapi ujian. Nyaris dalam tiga tahun  perjalanan pemerintahan terus dilanda prahara yang tak kunjung usai. Badai politik masih menghantui dan enggan berlalu.

Sebenarnya pada awal perjalanan sudah menunjukkan gairah positif. Performa wakil bupati yang lugas, cerdas dan mendominasi kegiatan pemerintah kabupaten cukup memberikan harapan bagi masyarakat. Awal yang baik tersebut kemudian menjadi luntur karena gesekan kepentingan politik yang terus menyeruak ke permukaan.

Puncaknya ketika bupati dengan kewenangannya memilih sekretaris daerah (sekda)  definitif hasil proses seleksi terbuka yang memakan waktu cukup lama. Di sinilah kemudian mulai muncul banyak masalah.

Sekda pilihan bupati nampaknya diluar kehendak mayoritas kalangan elit politik maupun kalangan birokrat. Hasil ihtiar bupati tidak sesuai dengan harapan dan mengecewakan banyak pihak.

Akibatnya, sekda praktis menjadi musuh bersama. Pasca dilantik , semua gerakan dan kebijakannya habis disorot. Kolaborasi atas dasar persamaan kepentingan  antara birokrat yang menjadi rival dalam persaingan rekrutmen sekda dan sejumlah elit menghasilkan gerakan yang mengarah pada deligitimasi kekuasaan.

Hampir semua kebijakan sekda ditarik ke ranah politik. Persoalan kecil menjadi besar karena terus digaungkan. Sejumlah media online milik beberapa tokoh politik dan lembaga swadaya masyarakat yang sejak awal berseberangan seolah tak pernah kehabisan topik untuk memperkeruh suasana.

Persamaan  kepentingan antara barisan sakit hati di lingkungan birokrasi  dan politisi kemudian melahirkan beberapa masalah. Terdapat indikasi kuat  bahwa  beberapa aparatur sipil negara (ASN) yang merasa kecewa kemudian melakukan pendekatan politik dan menjadi pemasok data penting secara tidak syah kepada sejumlah politisi yang kemudian dijadikan bahan untuk melakukan gerakan untuk menyerang pemerintah yang syah. 

Sadar atau tidak sejumlah gerakan yang dilakukan oleh ASN yang kecewa dinilai banyak pihak telah menyerang harkat dan wibawa bupati meskipun niat awalnya adalah menyerang sekda secara pribadi.

Semua persoalan muncul karena syahwat politik. Bahkan persoalan administratif yang sejatinya dapat diselesaikan secara sederhana seolah belum afdol  jika belum di blow up dan dijadikan komoditi politik. 

Semua berbicara atas nama rakyat. Rakyat disuguhi persoalan sepele seperti kesalahan nomor, mutasi promosi yang sudah jelas tata cara dan prosedurnya dan banyak lagi kasus sepele lainnya yang digoreng habis melalui tangan media.

Akhirnya jatuhlah Sekda definitif pilihan bupati dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur tentang Pemberhentian dari Jabatan Sekda . Karena keberatan, perkara pemberhentian kemudian bergulir ke ranah hukum/ Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Sekuel prahara politik terus berlanjut. Lebih jauh kemudian salah satu partai pengusung bupati -- wakil bupati  dalam kontestasi pilkada bahkan mengambil langkah untuk hengkang  dan bergabung dengan koalisi besar oposisi. Langkah strategis yang kemudian membuat pemerintah/ eksekutif semakin ringkih tak berdaya.

Sementara  segelintir partai mitra koalisi pendukung pemerintah nampak tak sanggup menjadi barrier dan penyeimbang dalam menghadapi serangan politik. Bupati jadi sasaran empuk untuk terus diserang dengan cara mencari celah. Penjabat sekda yang ditunjuk gubernurpun tampak tak bisa berbuat signifikan.

Birokrasi tetap terbelah bahkan kian terpolarisasi. Seluruh persoalan yang muncul ke permukaan dan menjadi amunisi politik tampak sangat detil dan lengkap lebih kurang karena peran ASN yang terperangkap dan tersandra oleh kepentingan politik. Siapakah para ASN yang membelot, bersikap partisan  dan tersandra dengan kepentingan politik? Tak usah disebutkan, kebanyakan orang pasti sudah paham.

Kita bahkan  masih ingat, tahun lalu pihak DPRD sempat mengangkat kasus mutasi promosi menjadi materi hak interpelasi. Begitu rajin dan piawainya para politisi sehingga peristiwa  biasa dinarasikan sebagai kasus yang sangat penting dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak sehingga berujung peristiwa politik berupa interpelasi.

Secara teori, tidak akan ada pemerintahan yang dapat berjalan efektif jika tidak mendapat dukungan politik yang memadai. Bagaimanapun bupati Salwa Arifin tidak akan bisa menjalankan roda pemerintahan dengan baik dibawah  kondisi yang tak harmonis karena pertarungan politik. 

Bayangkan saja, bagaimana mungkin bisa memerintah dengan baik jika pasangan/wakil bupatinya lansung atau tidak mengambil sikap oposan? Berdiri di dua kaki? 

Dalam salah satu kesempatan bahkan wakil bupati secara terang-terangan mendukung langkah interpelasi yang dilakukan oleh DPRD. Dalam beberapa peristiwa berikutnya sang wakil bupati bahkan menjadi garda terdepan dalam banyak kasus yang mengarah pada upaya mendeligitimasi bupati. 

Sebutlah soal penebangan kayu, soal laporan dugaan jual beli jabatan, mutasi - promosi  dan banyak peristiwa lainnya yang secara terang benderang menunjukkan sikap kontraproduktif. 

Padahal semua tuduhan itu semestinya harus dibuktikan dulu secara hukum. Dukungan terhadap bupati hanya sebatas lips servis dan retorika belaka karena kepentingan politik ditempatkan dalam posisi paling depan dan segala-galanya.

Konstlelasi politik di Bondowoso memang aneh, ada partai politik yang menarik diri dari koalisi pendukung eksekutif tapi tetap menempatkan kader sebagai bagian penting dalam birokrasi. Inkonsisten dan  ambigu, akibatnya  berpotensi menggunting dalam lipatan, dengan mudah menusuk dari belakang, menjadi duri dalam daging dan berpotensi membuat pemerintahan semakin hancur berantakan.

Bukti bahwa kepentingan politik masih erat memagut birokrasi adalah dua peristiwa penting yang terjadi dua tahun berturut-turut. Yakni Seleksi terbuka Jabatan eselon dua. 

Kembali masyarakat disuguhi oleh pertarungan kepentingan yang tidak elok. Karena tidak puas dengan hasilnya kembali berkembang narasi negatif terkait kinerja seluruh pihak yang terlibat. 

Jagad maya kembali ribut dan dipenuhi dengan tuduhan dan silang pendapat yang tidak terukur obyektifitasnya. Framing dan pembunuhan karakter kembali menjadi senjata utama.

Berikutnya ramai-ramai mengulas dugaan pelanggaran berdasarkan persepektifnya sendiri. Ramai-ramai melapor ke instansi vertikal tanpa konfirmasi ke pihak yang berkompeten. 

Akibatnya, semua menjadi repot, agenda kegiatan yang sudah matang dirancang menjadi berantakan karena terus berkutat dengan masalah. Lebih celaka lagi karena instansi pusat (baca KASN) yang semestinya menjadi juri yang adil justru "diduga"  ikut bermain. Faktanya memang banyak sekali pihak di Bondowoso yang mempunyai akses langsung ke asisten komisioner bahkan ke Komisioner.

Fakta yang bisa kita rasakan juga bahwa klarifikasi dan proses pencarian fakta terasa tidak berimbang. Bahkan merebak tuduhan bahwa oknum KASN turut bermain dan terseret dalam percaturan politik lokal di Bondowoso.

Riuhnya pemberitaan menjadi salah satu alasan KASN fokus dan menghabiskan energi untuk Bondowoso. Tanpa bisa memilah mana berita hoak dan mana berita yang akurasinya bisa dipertanggungjawabkan. 

KASN juga tidak punya kemampuan memilah mana media yang bonafit, mana media yang dapat dikatagorikan abal-abal dan berafiliasi dengan kepentingan politik. 

Bahkan fakta yang tidak terbantahkan bahwa setiap surat penting yang asalnya dari KASN yang berkatagori rahasia selalu jatuh ke tangan media terlebih dahulu dari pada Bupati selaku terlapor.

 Ada indikasi KASN memberikan karpet merah/lebih melayani kepentingan pihak yang berseberangan dengan pemerintah dan ikut mendorong terciptanya kegaduhan.

Bagaimana mungkin lembaga superior dan mempunyai kewenangan sangat besar seperti KASN tidak bisa bersikap profesional? Bagaimana mungkin pula KASN tidak mempunyai sensitifitas sehingga tidak bisa membedakan mana kepentingan politik mana yang murni urusan administratif?

Bagaimanapula dengan banyaknya persoalan yang sama di kabupaten/ kota lainnya? Indikasi pelanggaran sistem merit, seleksi terbuka yang juga tidak sepenuhnya dilakukan sesuai aturan, mutasi sebelum genap dua tahun  dan berbagai pelanggaran yang sebetulnya dengan mudah kita suguhkan sebagai fakta. Apakah tidak ada standar yang sama? Apakah KASN bertindak hanya atas dasar laporan saja? Jika tidak ada yang melapor berarti dianggap benar?

Sebenarnya tidak ada persoalan, jika masyarakat mengambil peran untuk ikut mengawasi, memberi masukan bahkan mengkritisi eksekutif. Namun harus dilakukan secara proporsional dan bertanggungjawab dengan menghindari justifikasi dan menghormati hak dan martabat orang lain.

Bukan perkara sulit pula untuk menelisik siapa saja yang selama ini ikut menikmati kue kekuasaan dengan berbagai efek dominonya. Adalah perkara simpel untuk menunjuk siapa elit politik yang selama ini ikut intervensi mengatur tugas eksekutif. Bukan soal rumit juga untuk menunjuk siapa gerangan birokrat yang ikut bermain dan tengah tersandera oleh kepentingan politik.

Terbaru adalah soal seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi pratama Sekretaris Daerah. Sepanjang perjalanan mulai dari seleksi administrasi sampai pada munculnya tiga nama terbaik tak luput dari sorotan. 

Dugaan kuat keterlibatan ASN yang menjadi pemasok data sekaligus analis terhadap keseluruhan proses seleksi kembali menyeruak. Laporan kembali dilayangkan ke berbagai instansi pusat setelah sebelumnya di blow up di banyak media untuk menciptakan opini negatif. 

Secara logika, tidak mungkin pihak luar dapat sebegitu detil meramu banyak persoalan jika tidak ada keterlibatan orang dalam (baca ASN). Akhirnya terciptalah narasi yang menyudutkan. 

Jika narasi yang dibangun mempunyai dasar argumentasi yang obyektif tentu tidak ada persoalan. Kebanyakan menjadi masalah karena narasi yang dibangun begitu subyektif kemudian menjustifikasi, memposisikan pihak lain dalam posisi bersalah secara mutlak dan dengan sengaja berbuat demi orientasi tertentu.

Lebih celaka lagi, pihak pemerintah yang syah tidak cukup piawai melakukan counter, meskipun sekadar menggunakan hak klarifikasi atau hak jawab. Akibatnya stigma negatif relatif melekat pada eksekutif beserta seluruh jajaran birokrat sebagai pelaksana. Dan nampaknya inilah yang diharapkan. Kegaduhan demi kegaduhan sengaja diciptakan untuk memperlemah posisi politik Bupati beserta jajarannya. 

Masihkah  ada yang menyangkal jika seluruh kegaduhan yang terjadi adalah imbas syahwat politik? Alih-alih mengharap simpati masyarakat dan mendapat insentif elektoral, yang ada malah situasi sosial yang justru merasa muak dengan polah para poitisi yang dengan terang benderang mengedepankan kepentingan politik dan kekuasaan dari pada kepentingan rakyat luas.

Kini masyarakat bisa menilai, jalannya pemerintahan yang terseok-seok, terjadinya perlambatan dalam banyak bidang dan masih kentalnya politisasi birokrasi terjadi atas ulah siapa. 

Sepanjang tiga tahun pemerintahan SABAR berjalan, urusan politik adalah segala galanya. Jika nafsu politik yang selalu berkorelasi positif dengan kekuasaan selalu didepan, kapan Bondowoso bisa bergerak maju? Kita pun bisa menilai, seandainya pemerintahan dinilai gagal, siapa biang keroknya. Pertanyaan besarnya, pihak manakah yang benar-benar berhikmad untuk kepentingan masyarakat Bondowoso?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun