Tak lama kemudian, sahabatmu membalas: "Hei! Tumben? Ada apa? Maaf, aku baru membalas. Tadi aku sedang membantu PR adikku."
"Halah! Itu akal-akalan dia supaya kamu tidak marah dan kecewa. Aslinya dia rebahan," ejek si sinis.
"Bisa jadi adiknya memang ada PR sulit sehingga harus dibantu. Jangan berpikir yang bukan-bukan," bantah si bijak.
"Apa yang kamu bisa harapkan dari temanmu itu? Dia pasti bosan membaca curhatanmu. Atau kabar buruknya dia bakal menyebarkan kondisimu. Dia akan menertawai kondisimu," seloroh si sinis.
Kamu pun akhirnya terpedaya omongan si sinis. Kemudian mengabaikan balasan pesan itu.
Sementara tekanan dari luar, setiap hari terus-terusan memaksamu agar beranjak dari masa lalu. Sayangnya, kamu tidak berdaya. Tersisa kepala di atas lumpur. Kira-kira mau digunakan untuk apa sisa-sisa hidupmu itu sebelum pergi selama-lamanya?
Saat depresi menguasaimu, kecemasan memukulimu tanpa ampun. Dia merasuk ke dalam suara si sinis. Membuatmu curiga dan waspada pada setiap orang yang kamu kenal maupun tidak kamu kenal.Â
Mereka seolah ancaman. Tempat baru, orang baru, tugas baru, dan hal-hal yang memungkinkanmu terpapar dunia luar serta terlihat berbagai pasang mata diibaratkan tombak runcing yang menusuk dada, perut, dan kepalamu. Â Dada sesak, jantung berdegup seperti habis berlari, perut mulas, kepala pening, tremor tangan dan kaki.
Kecemasan ini bukanlah cerita baru. Bahkan sejak anak-anak kamu sudah mengalaminya. Awalnya, kecemasan itu dari rasa takutmu kehilangan kerabat terdekat. Kamu takut melihat kematian merenggut orang yang kamu sayang. Tapi kemudian alasannya berubah, seiring waktu perundungan mulai terjadi di sekitarmu, lantas menimpamu. Hari-hari jadi selalu penuh dengan ancaman. Dunia terasa tidak aman.
Tetapi itu tidak lama berlangsung. Beruntung kamu bertemu lingkungan yang baik dan menyayangimu dengan tulus. Kecemasanmu berkurang jauh, bahkan menyusut dari sebesar kelapa menjadi sebesar bola golf. Dari bola golf menjadi sebesar kacang tanah. Lalu tidak lagi berbentuk.Â
Mungkin menjadi debu. Kamu sukses melawan perasaan cemasmu dan melakukan kegiatan yang berkebalikan dengan perasaan cemasmu itu. Akan tetapi, sejak lumpur aneh mengisap tubuhmu, kecemasan tidak lagi tertahankan olehmu.