Segala pencapaian-pencapaian karibmu itu, wajah-wajah pemengaruh yang putih dan mulus seperti diamplas, hujatan-hujatan, kalimat kotor, Â dan penghakiman, serta berita-berita buruk itu membuat jantungmu berderap seperti dikejar anjing gila. Kamu bingung mengapa perasaanmu jadi aneh. Kecemasan itu datang di waktu-waktu yang tak bisa diprediksi.
Saat itulah masa lalu datang seperti seorang kawan lama yang ingin mengantarkan sebuah buku padamu. Buku yang paling dibenci Nora dalam novel Perpustakaan Tengah Malam karya Matt Haig. Sebuah buku penyesalan.
Di dalam buku itu sudah lengkap daftar penyesalan-penyesalanmu di masa lalu. Kesalahan-kesalahan (menurutnya) dalam menentukan keputusan hidup. Itu bahkan dirincikan beserta gambaran samar-samar seandainya kamu tak mengambil keputusan itu dan memilih jalan yang sebaliknya.
Maka sejak membaca buku itu, kamu tidak lagi hidup di waktu sekarang. Kamu resmi terjebak masa lalu. Saat itulah depresi makin kuat menjangkiti. Ia seumpama lumpur penghisap. Setengah tubuhmu sudah terkubur erat di dalam lumpur itu.Â
Lumpur yang dipenuhi pecahan kaca dan duri tajam. Setengah lagi tubuhmu di atas lumpur tak punya daya apa pun. Tidak ada tali, manusia, atau apa saja yang bisa membantumu keluar. Setiap kali kamu bergerak, tekanan itu makin dalam, dan kamu makin terperosok.
Kamu ingin berteriak meminta tolong. Tapi kamu yakin tidak ada orang yang bakal menolongmu di sini. Sesungguhnya sia-sia saja.
Satu-satunya yang bisa kamu lakukan adalah diam dan satu-satunya yang bisa kamu lihat adalah buku masa lalu yang halamannya berterbangan di sekitar kepalamu.
Maka detik sekarang yang tersisa padamu hanyalah gambaran kegagalan akibat kesalahan di masa lalu itu. Dan masa depan hanyalah bayangan kegelapan. Kamu makin yakin bahwa harapanmu sudah lenyap. Kematian satu-satunya jalan yang bisa mengobatimu dari luka.
Mustahil ada penolong, bahkan jika kamu menyerahkan sepenuhnya dirimu dalam lindungan kuasaNya. Percuma. Bodoh. Kamu merasa sudah terlalu lama diabaikan. Singkatnya, kamu terasing di hidupmu sendiri.
Suara-suara asing itu akhirnya muncul ke permukaan. Perkenalkan, dia bernama si optimis, si bijak, dan si sinis. Ketiganya sering datang di jam-jam kosongmu. Terutama saat kamu melamun, perdebatan mereka bakal tak henti-hentinya riuh di kepalamu.Â
Di awal-awal kedatangan mereka, sempat kamu berpikir ini hanyalah dialog batin yang masih berada dalam kendalimu. Alias mereka ini bukan halusinasi suara di gendang telinga, melainkan percakapan artifisial antara dirimu dengan dirimu sendiri. Â