"Aku pikir mengikuti kompetisi ini bagus. Aku yakin kamu bisa memenangkan perlombaan itu," kata si optimis.
"Tak ada salahnya mengikuti lomba itu. Anggap saja sebagai ajang mengasah kemampuanmu," sahut si bijak.
"Hei, coba ingat sudah berapa kali kamu kalah? Aduh, jika aku jadi kamu, aku tidak mau membuang-buang waktuku hanya untuk mengecek sesuatu yang sudah jelas hasilnya. Dengar, lebih baik lakukan hal-hal yang berguna, bahkan jika itu cuma menyikat gigi kucing daripada buang-buang tenaga, waktu, dan pikiran," omel si sinis.
Pada awalnya, kamu masih percaya pada ucapan si optimis dan si bijak. Mereka dua sahabat yang selalu mendorongmu berani mengambil langkah-langkah di luar bayanganmu. Mereka bagaikan pompa angin yang mengisi semangatmu. Mereka semacam harapan di tengah krisisnya hidupmu.
Tapi siapa sangka, di awal kebangkitanmu itu, sebaliknya justru tebakan si sinislah yang benar. Lalu si sinis datang dan berkata dengan sangat angkuh, "Kan, kubilang juga apa. Kamu bebal sih. Probabilitasmu di sana sangat nihil. Ayolah! Berpikir realistis. Kemampuanmu tak sebagus itu. Kamu jelas payah!"
Â
Sejak itu, hari-hari kamu makin muram. Matahari terik di luar jendela, tetapi dalam hatimu mendung dan kelabu. Esok tiba-tiba kamu menaruh harapan, besoknya harapan itu pupus ditelan malam.
Sampai detik itu terjadi, kamu belum membagikan perasaanmu pada siapa-siapa. Walaupun gelisah menggenangi pikiranmu dan kecemasan terus melumat jantung, kau bersikap baik-baik saja. Di depan semua orang, senyum palsu itu merekah. Kata-kata bijak dan optimis meluncur dari bibirmu. Orang-orang yakin kamu setenang itu.
"Ini lucu. Saat kehidupan kita sepenuhnya dirancang oleh para pemilik modal agar selalu cemas akan tuntutan keinginan-keinginan yang tidak perlu, kau bisa-bisanya masih kelihatan tenang di tengah kekurangan dan ketidakmampuanmu itu (maksudnya mengikuti trend mereka, dsb), apa rahasianya?" tanya kerabatmu suatu hari, bingung.
"Apa ya? Kurasa aku memang suka begini-begini saja. Memangnya mengikuti itu semua berguna?"
"Bagiku berguna. Aku harus kelihatan selalu relevan dalam lingkunganku, bahkan harus lebih. Bayangkan kalau ponsel yang kugunakan sudah jadul, pakaianku usang, dan masih memanfaatkan diskon-diskon tidak seberapa di marketplace, kira-kira bisakah aku dilirik mereka? Dianggap hidup dan sebanding?" balas temanmu berapi-api.Â
"Bagaimanapun, aku ingin sukses dilihat mereka. Dengan begitu, lingkaran pergaulanku makin meluas. Anak-anak konglomerat tidak malu menyapaku dan berteman denganku di medsos. Â Aku juga tak bergaul dengan orang itu-itu saja."
Kamu terdiam.